Zapu, Kearifan Lokal Orang Ndora Flores Melawan Ketergantungan pada Beras

Siska sebenarnya tak peduli dengan omongan pemerintah terkait anggaran yang terbatas untuk pengembangan pangan lokal.

Mbay, Ekorantt.com Suatu pagi di Agustus lalu, Maria Weku, 71 tahun, menggelar belahan ubi kayu (manihot utilisima) ke terpal yang terbentang di atas tanah. Tangan Maria dengan gesit menyebarkan belahan ubi itu ke semua sudut terpal.

Sejam kemudian, ia datang lagi, membolak-balikkan belahan ubi agar semuanya mendapatkan pencahayaan matahari secara merata.

Sedangkan tetangga Maria, Kristina Kue, 79 tahun, tak punya halaman untuk menjemur ubi kayu. Ia melakukannya dengan cara berbeda.

Kristina menusuk sejumlah belahan ubi secara berjejer pada sebatang kayu panjang. Masing-masing ujung kayu digantung pada dua dahan pohon berbeda. Pengeringan dengan cara ini tetap mengandalkan sinar matahari.

Proses pengeringan ubi kayu yang dilakukan oleh Maria dan Kristina, warga Kampung Ndora, Desa Ulupulu 1, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, merupakan salah satu tahap dalam rangkaian proses zapu untuk menghasilkan uwi zapu (ubi gaplek). Zapu merupakan kearifan lokal warga setempat dalam mengolah ubi kayu menjadi gaplek.

Sebelum pengeringan, Maria menuturkan, ia terlebih dahulu mengupas dan mencuci ubi, lalu dibelah menjadi potongan-potongan sepanjang 3 sentimeter hingga 5 sentimeter.

“Kita simpan ubi di bakul atau sobha kalau dalam bahasa daerahnya, baru kita keringkan.”

Maria bilang, ubi yang telah dikeringkan itu kembali disimpan dalam wadah sobha, yang bagian dalamnya sudah dilapisi daun pisang.

Kristina sedang memasukan ubi kayu yang sudah dikeringkan ke dalam wadah yang dilapisi daun pisang untuk pembuatan zapu

“Kalau sudah simpan nanti bagian atas harus bungkus pakai daun pisang tebal supaya kedap udara,” kata Maria.

Wadah berisi ubi diletakkan di sudut rumah, di tempat yang agak dingin dan terhindar dari sinar matahari.

“Semua harus ditutup daun pisang supaya matang. Inilah yang dinamakan zapu,” tutur Maria.

Maria mengatakan, proses zapu memakan waktu dua hingga tiga hari. Hal itu bertujuan agar mendapatkan hasil maksimal. Tandanya, muncul jamur pada belahan ubi. Warna teksturnya berubah menjadi cokelat kehitam-hitaman.

“Kalau mau makan, tinggal kita ambil saja. Yang lain kita simpan untuk bekal saat musim lapar,” kata Maria.

Dari Beragam ke Seragam

Di tahun 1960-an, warga Kampung Ndora punya banyak pilihan pangan untuk dikonsumsi. Ada jagung, nasi dari beras, kacang-kacangan, dan berbagai olahan ubi, termasuk uwi zapu. Pangan-pangan ini berasal dari ladang dan hutan. Ada juga yang diambil dari sungai.

Kristina, kala itu masih remaja, hidup dalam tradisi yang mengandalkan aneka makanan lokal. Dalam sehari, hidangan di meja makan tak monoton. Ada banyak pilihan menu yang bisa dicicip.

Untuk sarapan pagi, Kristina dan keluarganya terbiasa menyantap ubi. Nasi dari padi untuk makan siang. Hidangan jagung disantap saat malam hari.

“Ini semua lebih sehat ketimbang makan nasi setiap hari,” tutur Kristina mengenang masa lalu sembari membandingkan pola konsumsi sekarang yang hanya bergantung pada nasi.

Keluarga Kristina sebagaimana orang Ndora kebanyakan, mengolah ubi menjadi beragam makanan khas seperti uwi zapu, uwi sobo, dan uwi tapa. Hal itu dilakukan “supaya tidak bosan makan ubi.”

Ubi zapu, misalnya, beraroma khas dan bisa meningkatkan nafsu makan. Keluarga Kristina sering menyantap uwi zapu dengan sayur lawar, dihidangkan bersama kopi di pagi hari.

Kristina bahkan membawa bekal ubi atau jagung saat ke sekolah. Teman-temannya pun demikian. Hal itu lumrah tempo dulu.

“Waktu saya masih di sekolah dasar, bekal yang saya bawa ubi, termasuk ubi zapu. Bawa jagung juga,” kenangnya.

Warna ubi kayu berubah dari putih menjadi kuning dan hitam setelah proses zapu

Pengalaman itu sudah menjadi nostalgia masa lalu, kata Kristina. Situasi berubah selama 20 tahun terakhir. Warga berangsur-angsur meninggalkan olahan pangan lokal.

“Sekarang sudah tidak lagi. Anak-anak dimanjakan dengan uang dan beli makanan kemasan di sekolah,” ujarnya lagi.

Ermelinda Ea, 42 tahun, seorang perempuan dari generasi yang lebih muda dari Kristina dan Maria, sudah jarang menyantap olahan pangan lokal. Nasi menjadi pangan utama, sedangkan yang lain hanya sebagai penunjang.

Olahan pangan lokal, Ermelinda melanjutkan, baru muncul kembali saat ada lomba tahunan seperti pada 17 Agustus di desa. Pemerintah biasa menggelar lomba memasak pangan lokal. Tersaji begitu banyak jenis pangan lokal. Tapi setelah itu, hilang lagi.

“Bagus juga ada lomba. Tapi setelah itu, kami makan nasi lagi. Padahal kalau ada kebijakan dari pemerintah, masyarakat bisa kembangkan lagi pangan lokal,” kata dia.

Kenapa Masih Konsumsi Pangan Lokal?

Awal 2023 lalu, harga beras di pasaran melonjak signifikan hingga Rp15 ribu per kilogram atau Rp700 ribu untuk sekarung beras 50 kilogram. Padahal sebelumnya, harga beras paling tinggi di angka Rp12 ribu per kilogram.

Lonjakan harga itu terjadi di seluruh wilayah Indonesia, hingga ke Kampung Ndora. Warga keteteran. Sudah di tengah situasi pandemi yang belum pulih, tiba-tiba harga beras naik tak karuan.

Tidak ada pilihan lain. Warga terpaksa membeli beras di tengah kesusahan ekonomi yang tak terkira.

Pemerintah kala itu sempat melakukan operasi pasar. Orang berebutan mendapatkan sembako dengan harga yang relatif murah. Tapi itu tak mengubah situasi. Harga beras tetap bertahan di kisaran angka Rp15 ribu per kilogram hingga sekarang.

“Kalau tidak beli beras, makan apa? Terpaksa beli supaya bisa hidup,” kata Siska Ete, 71 tahun, warga Ndora saat berbincang dengan Ekora NTT awal Oktober lalu.

Siska dan suaminya, Theodorus Lipe, 75 tahun, beruntung masih punya stok ubi kayu, ubi gandum, kacang hutan, dan kacang-kacangan di lumbung. Mereka tak kesulitan saat harga beras naik karena sumber karbohidrat masih didapatkan dari pangan-pangan lokal itu.

“Di pondok ada ubi zapu, ubi kering, dan kacang-kacangan,” kata Siska.

Ubi kayu hasil zapu sudah direbus dan siap dihidangkan

Siska masih mengonsumsi olahan pangan lokal karena bahannya ada di kebun sendiri, sebagaimana tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Dia makan apa yang ditanam. Tidak pusing-pusing untuk beli di pasar.

“Kalau beli pasti keluar uang. Lebih baik kita makan apa yang ada di kebun. Kan kalau ubi atau padi ladang, kita kenyang juga, seperti makan nasi,” tutur Siska.

Siska, yang sudah mulai berusia sepuh, meyakini mengonsumsi pangan lokal bisa bikin hidup sehat. Itulah yang ia rasakan.

“Saya jarang sakit. Kalau sakit pasti pilek atau batuk-batuk saja,” ujarnya.

Hal ini sejalan dengan riset Dina Omayani Dewi dan Mewa Ariani dari Badan Riset Nasional (BRIN). Dalam jurnal berjudul ‘Pengembangan Pangan Lokal Mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan’, mereka berdua menjelaskan, pangan lokal tak kalah nutrisinya dibandingkan dengan beras atau gandum.

Umbi-umbian, misalnya, salah satu hasil pertanian yang sangat berperan dalam keragaman gizi dan menu makanan masyarakat karena banyak mengandung vitamin, mineral, dan serat. Umbi-umbian menjaga gula darah dan mencegah penyakit jantung.

“Hal inilah yang menyebabkan pangan lokal berupa umbi-umbian menjadi bagian penting dari diet seimbang sehingga perlu dimasukkan secara teratur ke dalam menu harian,” jelas Dina dan Mewa dalam jurnal itu.

Kendati demikian, dari sisi sosial budaya, seperti yang dijelaskan Dina dan Mewa, masyarakat kerap mengasosiasikan makanan tertentu dengan status sosial dan ekonomi. Mengonsumsi pangan lokal, seperti ubi, dianggap berstatus ekonomi rendah alias miskin.

‘Melawan Arus’

Kini, hanya segelintir warga yang usianya di atas 50 tahun, masih rutin mengonsumsi olahan pangan lokal di Kampung Ndora. Mereka semacam melawan arus di kala pola konsumsi sebagian besar orang telah bergeser ke beras selama dua dekade terakhir.

Ekora NTT mencatat bahwa orang Ndora, sebagai masyarakat Kabupaten Nagekeo, rata-rata mengonsumsi beras di 2022 sebanyak 81,28 kilogram per kapita per tahun, 81,23 kilogram di 2023, dan 79,40 kilogram di 2024. Sementara konsumsi beras di Provinsi NTT sebesar 85,46 kilogram per kapita per tahun pada 2022, sebanyak 85,29 kilogram di 2023, dan 83,37 kilogram di 2024.

Dari sisi pengeluaran, orang Nagekeo lebih banyak membeli padi dalam sebulan, dibandingkan dengan pangan-pangan lain seperti umbi-umbian, ikan, dan kacang-kacangan.

Di 2022, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Nagekeo, seseorang mengeluarkan uang Rp89.933 untuk membeli padi, dan itu menjadi pengeluaran yang terbesar dalam kelompok makanan. Angka ini meningkat menjadi Rp113.762 pada 2023 dan Rp124.063 pada 2024.

Mama Siska bersama suaminya menunjukkan beberapa bibit pangan lokal yang masih terus dijaga hingga saat ini

Selain pergeseran pola konsumsi, anggaran untuk pengembangan pangan lokal sangat terbatas dibandingkan dengan anggaran untuk infrastruktur penunjang swasembada beras.

Di sisi utara Kampung Ndora, pemerintah membangun Waduk Lambo dengan nilai kontrak sebesar Rp1,62 triliun. Pembangunan yang dimulai pada 2021 dan target rampung pada 2026 ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Kementerian Pekerjaan Umum pada 4 Juni 2025 lalu, menjelaskan, bendungan ini berkapasitas tampung sebesar 52,89 juta meter kubik. Nantinya, Waduk Lambo akan mengairi Daerah Irigasi (DI) Mbay seluas 6.240 hektare, yang terdiri dari DI Mbay Kanan seluas 3.835 hektare dan DI Mbay Kiri seluas 454 hektare, serta potensi pembangunan di DI Mbay Kiri seluas 1.951 hektare.

Pembangunan Waduk Lambo, kata Siska, hanya untuk kepentingan swasembada beras. Sementara pangan lokal kian tergerus.

“Nanti setelah itu, kami dicap miskin karena makan ubi, atau makan jagung.”

Edukasi dan Keberpihakan

Akademisi Sekolah Tinggi Pertanian Flores, Umbu A. Hamakonda mengatakan pentingnya edukasi dan promosi yang berkelanjutan tentang nilai gizi sampai ke tingkat bawah oleh pemerintah. Termasuk menggandeng media dalam mempromosikan kandungan gizi pangan lokal.

“Karena banyak masyarakat masih menganggap nilai gizi pangan lokal itu sedikit, padahal beberapa pangan lokal nilai gizinya setara dengan beras,” ujarnya.

Menurut Umbu, edukasi bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan seperti sekolah atau kelompok ibu-ibu yang ada di desa.

Untuk mendukung pelestarian pangan, ia mendesak pemerintah menyiapkan regulasi yang berpihak pada pengembangan dan pelestarian pangan lokal.

“Contoh paling sederhana dimulai dari kantor-kantor yang selama ini, kalau ada kegiatan menyiapkan kue, kalau bisa ini diganti dengan pangan lokal seperti ubi,” jelasnya.

Selain itu, dukungan terhadap masyarakat juga perlu dilakukan seperti pemberian insentif kepada masyarakat yang masih fokus melestarikan pangan lokal.

Dalam konteks NTT, khususnya Flores, perlu ada integrasi budaya, kata Umbu, di mana, adat budaya harus tetap mempertahankan pangan lokal. Pangan lokal harus selalu ada dalam setiap hajatan budaya. Jangan sampai pergeseran pola konsumsi ke beras membuat pangan lokal hilang.

Untuk itu, Umbu mendorong pemerintah untuk mengembangkan kapasitas masyarakat dalam mengelola pangan lokal, sehingga ada produk turunan seperti kripik atau tepung.

Ia menekankan pentingnya keberpihakan kebijakan sekaligus anggaran dalam pengembangan pangan lokal. Dengan begitu, pangan lokal menjadi sederajat dengan beras.  

Keterbatasan Anggaran?

Kepala Dinas Pangan Daerah Kabupaten Nagekeo, Yosefina Hudmin mengklaim pemerintah berupaya menghidupkan kembali pangan lokal melalui kerja sama dengan kelompok perempuan yang ada di desa seperti kelompok perempuan dasawisma dan penggerak PPK.

“Budidaya ini kita fokus pada pangan lokal kita yang sudah terancam punah seperti sorgum, jali-jali, dan jawawut,” ujar Yosefina.

Untuk Kabupaten Nagekeo, pangan lokal terbanyak berada di wilayah Boawae dan sebagian wilayah Ndora. Sayangnya, proses budidaya belum maksimal akibat keterbatasan anggaran. Pengembangan pangan lokal juga masih terbatas, di mana satu kelompok hanya bisa mengembangkan setengah hingga satu hektar.

Diakuinya, sejumlah pangan lokal terancam punah akibat pergeseran pola konsumsi yakni beras. Selain itu, pengolahan pangan lokal masih dengan cara manual dan tradisional sehingga masyarakat beralih ke beras.

“Pola pengelolaan pangan lokal ini kan, masih tradisional dan manual, misalnya jali-jali, mau bersihkan harus manual, jika dibandingkan dengan beras yang digiling,” jelasnya.

Siska sebenarnya tak peduli dengan omongan pemerintah terkait anggaran yang terbatas untuk pengembangan pangan lokal. Namun selama ini, ia bilang, pemerintah hanya memperhatikan pangan padi dengan segala macam infrastrukturnya. Sementara pangan lokal jarang diperhatikan.

“Kami mau apa yang kami makan, ada ubi, jagung, kacang, bisa dinikmati juga oleh generasi muda. Jangan anggap yang kami makan itu kolot. Lihat kami, sehat saja,” kata Siska dengan nada sindir.

Liputan ini merupakan bagian dari Beasiswa “Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025” yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img