Ruteng, Ekorantt.com – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Manggarai, Fortunatus Hamsah Manah mendorong orang muda untuk tidak menjadi penonton dan harus terlibat dalam praktik demokrasi.
Menurut Manah, demokrasi Indonesia tengah menghadapi ancaman regresi, sebagaimana disebutkan dalam kajian Thomas Power (2022) “Demokrasi Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi”, serta laporan LP3ES (2022) “Demokrasi Tanpa Demos” yang menyoroti lemahnya pelibatan masyarakat dalam praktik demokrasi.
Mirisnya, kata dia, kemunduran ini terjadi justru di tengah bonus demografi, ketika anak muda menjadi mayoritas.
“Sebagai generasi penerus, anak muda adalah pihak paling dirugikan dari demokrasi yang kehilangan rohnya,” terang Manah ketika memimpin apel memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97 di halaman Kantor Bawaslu Manggarai di Ruteng pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Ia berpendapat lembaga-lembaga yang lahir dari demokrasi kini justru sering melakukan praktik yang tidak demokratis.
Di parlemen, misalnya, proses pembuatan undang-undang kerap mengesampingkan partisipasi publik. Bahkan dalam forum resmi, ada anggota DPR yang dengan gamblang menyebut bahwa keputusan pengesahan undang-undang berada di tangan ketua umum partai, bukan di tangan rakyat yang mereka wakili.
“Lalu, apa arti ‘wakil rakyat’ jika suara rakyat tidak lagi menjadi sumber keputusan?” tanya Manah retoris.
Ia juga menyoroti tindakan represif pemerintah terhadap demonstrasi dan kritik publik, yang menimbulkan ketakutan baru di tengah masyarakat.
Sementara itu, di lembaga penegak hukum, maraknya kasus korupsi dan kolusi dengan pengusaha dan penguasa membuat hukum kehilangan wibawa di mata rakyat.
Dalam konteks itu, Manah memaparkan hasil survei CSIS (2022) yang menunjukkan penurunan dukungan anak muda terhadap demokrasi, dari 68,5 persen pada 2018 menjadi 63,8 persen pada 2022. Lebih mengkhawatirkan lagi, hanya 1,1 persen anak muda yang berminat bergabung dengan partai politik — satu-satunya kanal formal untuk melahirkan pemimpin negeri.
“Anak muda banyak, tapi perannya kecil. Mereka seperti buih di samudera, tampak banyak, namun tak punya arah arus yang menentukan,” katanya.
Ia menilai, kebuntuan partisipasi politik anak muda bersumber dari belum adanya kebijakan afirmasi dalam Undang-Undang Partai Politik maupun pemilu yang memberi ruang bagi generasi muda.
“Politik elektoral, telah menjadi arena yang mahal dan eksklusif, sehingga demokrasi seolah hanya milik mereka yang punya jejaring dan modal finansial,” tegasnya.
Dalam bagian reflektifnya, eks jurnalis Surat Kabar Fajar Bali ini menyinggung fenomena “demokrasi viral” di media sosial sebagai kanal alternatif partisipasi anak muda.
Dunia maya, menurut Manah, menjadi ruang baru untuk berdiskusi, mengkritik, dan memaksa negara merespons isu publik yang selama ini diabaikan.
“Media sosial seringkali menjadi alat koreksi cepat terhadap kebijakan yang lalai. Kasus yang awalnya tak direspons bisa menjadi prioritas penegak hukum setelah viral,” ungkapnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa terus bergantung pada yang viral. Ruang digital pun kini telah dikuasai oleh modal besar dan industri buzzer yang mempermainkan opini publik.
Sementara di sisi lain, ancaman pasal-pasal karet dan pembungkaman akun kritis membuat banyak anak muda takut bersuara.
“Setelah tersisih di demokrasi elektoral, kini anak muda juga terancam di demokrasi viral,” tegasnya dengan nada prihatin.
Manah menyerukan agar negara memberi ruang afirmasi politik bagi anak muda, seperti halnya kebijakan afirmasi bagi perempuan pada awal reformasi.
Ia menilai, tanpa keterlibatan aktif generasi muda, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi ritual prosedural tanpa substansi.
“Akan menjadi ironi besar bila di negeri demokrasi ketiga terbesar di dunia, justru anak muda, pemilik mayoritas suara menjadi kelompok rentan baru,” tutupnya.













