Borong, Ekorantt.com – Dalam beberapa tahun terakhir, petani pisang di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, hidup tidak bedaya.
Penyakit darah pisang yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia syzygii subsp.Celebesensis terus menyerang tanaman mereka tanpa henti. Penyakit ini dikenal mematikan karena menyebabkan daun layu, batang membusuk, dan buah yang tampak segar dari luar tetapi berwarna merah kecokelatan di dalamnya.
Bagi Sebastianus Anggal, petani asal Bondei, Kisol, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, wabah ini menjadi mimpi buruk berkepanjangan. Empat hektare kebun pisangnya musnah akibat serangan penyakit itu.
“Di tahun 2019 itu sekitar bulan Agustus mulai kena,” cerita Sebastianus kepada Ekora NTT pada Senin, 3 November 2025.
Awalnya ia mengira pohon-pohon pisangnya hanya kekurangan air. Namun ketika batang dan buah dipotong, tampak cairan berwarna merah seperti darah.
“Kita potong di dalamnya macam darah semua di batang dan di buah,” ucapnya.
Pohon-pohon yang layu dan mengering itu semula masih tampak sehat dari luar.
“Bila dilihat dari kulitnya, buah pisangnya tampak bagus seolah-olah baik-baik saja,” katanya.
“Pas kita potong ternyata penyakit. Di dalamnya sudah merah-merah.”
Akibatnya, hasil panen turun drastis. Dari biasanya 500 tandan setiap kali panen, pada 2020 Sebastianus hanya mampu memanen sekitar 50 tandan.
“Hitung-hitung waktu itu, dari 150 tandan, yang jadi hanya 50 tandan,” ujarnya.
Kondisi makin parah pada tahun 2021, yang sama sekali tidak panen. Semua pohon pisang di lahannya semakin kering hingga sekarang.
“Sekarang panen hanya satu dua (tandan) saja.”
Untuk mencegah penyebaran, Sebastianus terpaksa memusnahkan seluruh pohon pisangnya.
“Karena hujan, tunasnya muncul lagi. Sampai sekarang pun masih terjangkit penyakit itu,” ujarnya.
Ia bahkan mencoba berbagai cara, mulai dari menyiram akar dengan garam hingga memangkas jantung pisang, namun hasilnya nihil.
“Saya korban beli untuk uji coba waktu itu lima karung. Sampai sekarang tetap tidak bisa,” kata pria kelahiran 1966 itu.
Sebelum wabah melanda, Sebastianus rutin mengirim pisang ke Surabaya dua kali sebulan. Dari empat hektare lahan, ia bisa memanen hingga 1.000 tandan saat musim hujan.
“Biasanya satu kali panen paling kurang 500 tandan dari empat hektare. Kadang juga sampai 1.000 tandan bila musim hujan,” kata Sebastianus.
Dengan harga jual Rp25 ribu per tandan, usahanya sempat menjanjikan. Kini, hasil itu tinggal kenangan.
“Sekarang kalau ada lima tandan, yang jual hanya empat tandan. Satunya untuk kami makan,” ujar Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Manggarai Timur itu.
Sebastianus berharap pemerintah segera turun tangan, membantu petani menangani penyakit pada pisang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi pisang di Manggarai Timur sempat mencapai 384.703 kuintal pada 2022. Namun dua tahun berikutnya anjlok tajam, hanya 167.377 kuintal pada 2023 dan 156.861 kuintal pada 2024.

Dampak ke Pedagang
Wabah darah pisang tak hanya menghantam petani. Para pedagang pun ikut merasakan dampaknya.
Fabiana Lini, pedagang pisang di pinggir Jalan Trans Flores, kini harus mendatangkan pisang dari Kupang, Pulau Timor.
“Pisangnya dari Kupang. Mereka bawa sendiri, lalu kami beli,” kata Fabiana kepada Ekora NTT di lapak jualannya di Sita, Kecamatan Ranamese, Jumat, 31 Oktober 2025.
Sebelum 2023, Fabiana rutin membeli pisang dari Kisol, Kecamatan Kota Komba. Namun sejak wabah merebak, pasokan dari daerah itu terhenti.
“Saya merasa kaget pas buka. Pas kita kupas begini, isi di dalamnya seperti batu,” ujarnya mengenang pisang dari Kisol yang terserang penyakit.
Harga pisang dari Kupang pun lebih mahal. Jika dulu ia membeli setandan seharga Rp100 ribu, kini ia membeli per tiga sisir dengan harga Rp50 ribu.
“Mereka jual per tiga sisir pisang itu dengan harga 50 ribu,” katanya.
Dalam seminggu, Fabiana hanya mampu membeli 10 ikat pisang dan menjualnya kembali seharga Rp25 ribu hingga Rp30 ribu per tiga sisir. Penjualan pun menurun tajam, apalagi di musim hujan.
“Kalau hujan besar itu kita kalah sudah, Nana. Tidak ada yang lewat,” tutur wanita asal Kecamatan Elar Selatan itu.
Ia berharap wabah ini segera berakhir agar bisa kembali membeli pisang dari petani lokal.
“Kalau penyakit ini tidak lagi, kami bisa memesan lagi pisang dari Kisol,” tegasnya.


                                    










