Ruteng, Ekorantt.com – Jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur sebanyak 3.911 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 43 persen atau 1.682 orang belum pernah mengakses layanan kesehatan maupun rehabilitasi di fasilitas kesehatan.
Ketua panitia kegiatan rapat perdana program Building Effective Network (BEN) Lingkaran Koordinasi dan Lobby Disabilitas untuk Optimalisasi Kemandirian (Lingko Lodok), Sabinus Ngadu menjelaskan, sekitar 30 persen atau 1.173 orang dari mereka mengalami disabilitas berat yang memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari.
Kemudian sebanyak 60 orang penyandang disabilitas yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), sehingga menghambat akses terhadap layanan dasar.
“Sekitar 68 persen dari 793 anak penyandang disabilitas usia sekolah tidak bersekolah karena berbagai alasan,” kata Sabinus saat Rapat Perdana BEN Lingko Lodok yang berlangsung di Sekolah Luar Biasa Karya Murni Ruteng pada Senin, 3 November 2025.
Sabinus yang juga Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Manggarai itu berkata, sebanyak 15 persen anak dan remaja penyandang disabilitas tinggal di rumah tanpa jamban keluarga yang sehat, memperburuk kondisi sanitasi dan kesehatan.
“Anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas di Indonesia, terutama yang hidup dalam kemiskinan, menghadapi kerentanan berlapis akibat hambatan struktural seperti akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang inklusif, serta minimnya peluang pekerjaan formal,” terangnya.
Kepala Bappelitbangda Kabupaten Manggarai, Livens Turuk mengakui bahwa anak dan remaja penyandang disabilitas di Manggarai masih menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pelatihan keterampilan.
Perencanaan pembangunan daerah belum sepenuhnya mengintegrasikan perspektif disabilitas, kata Livens. Padahal diperlukan pendekatan inklusif untuk memastikan semua anak dan remaja disabilitas dapat mandiri dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Penyebabnya, kata dia, masyarakat saat belum memahami hak-hak penyandang disabilitas secara menyeluruh. Keluarga masih menganggap mereka bagian dari ‘aib keluarga’.
“Selain itu kurangnya pelatihan dan pemberdayaan ekonomi bagi remaja disabilitas,” ujar Livens.
Menurutnya, isu disabilitas belum terintegrasi dalam dokumen perencanaan daerah. Kemudian sinkronisasi lintas sektor masih belum optimal dalam implementasi.
Livens juga mengakui bahwa sebagian besar anak disabilitas belum terjangkau layanan pendidikan inklusif. Keterbatasan fasilitas, tenaga pendidik, dan dukungan keluarga menjadi kendala utama dalam aksesibilitas.
Dalam konsep inklusi dalam perencanaan daerah, Livens melanjutkan, perencanaan inklusif ini berarti setiap tahapan pembangunan harus mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
“Prinsip utamanya adalah non-diskriminasi, partisipasi aktif, aksesibilitas, dan kesetaraan kesempatan,” terangnya.
Organisasi penyandang disabilitas, ia mengatakan, “harus dilibatkan dalam proses musrenbang dan perencanaan daerah untuk memastikan suara mereka didengar.”
Menurutnya, perencanaan dan program yang inklusif disabilitas bukan hanya kewajiban moral, tetapi investasi sosial untuk membangun generasi muda Manggarai yang mandiri, produktif, dan setara.
“Dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi disabilitas, Kabupaten Manggarai dapat mewujudkan pembangunan yang benar-benar inklusif dan berkeadilan sosial,” tutup Livens.


                                    










