Maumere, Ekorantt.com – Pagi itu, Yoseph Sudarso, 48 tahun, tampak sibuk di lahan yang terletak di belakang dan di samping rumahnya di Desa Seusina, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan menggunakan gembor, alat penyiram tanaman sederhana, Yos mulai menyiram deretan sayuran yang tumbuh hijau di sekitar rumahnya. Aktivitas itu menjadi rutinitas yang ia jalani saban pagi.
Yos sadar betul tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, ia juga menemukan ketenangan dan kebahagiaan tersendiri di balik rutinitas itu.
Yos bilang, berkebun bukan sekadar mencari tambahan penghasilan, melainkan juga menjadi sumber ketenangan batin. Pekerjaan sederhana ini dijalaninya bukan karena tuntutan, tetapi karena kecintaannya terhadap alam dan proses menanam itu sendiri.
Ia tekun menanam sayur sekitar enam bulan terakhir. Adapun jenis sayuran yang ditanam yaitu kangkung, bayam, sawi, dan terung.
Kini, halaman rumah Yos tampak hijau dan subur. Selain bisa memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari, hasil kebunnya juga menjadi simbol kebahagiaan sederhana yang ia temukan di balik rutinitas hidup di desa.
Meski terlihat sederhana, perjuangan Yos tidaklah mudah. Lahan di sekitar rumahnya semula berupa tanah lempung yang kurang subur dan dipenuhi batu-batu, sehingga sulit untuk ditanami. Namun, ia tidak menyerah dan terus mencari cara agar tetap bisa berkebun.
“Memang itu juga bagus tapi ada konturnya kalau di sekitar rumah memang sudah rusak lebih banyak batunya. Jadi mau tidak mau saya harus ayak dulu, saya ayak habis saya ambil lagi humus bambu tanah yang ada di sekitar rumpun bambu,” jelas Yos kepada Ekora NTT di kediamannya pada pertengahan September lalu.
Upaya ini membuahkan hasil. Yos mengaku, rutin menyiram sayur setiap pagi dan sore hari. Untuk memenuhi kebutuhan air, ia membeli air seharga Rp130 ribu per fiber yang dapat digunakan selama lima hari, baik untuk keperluan rumah tangga maupun penyiraman tanaman.

Di Desa Seusina, sebagian besar warga mengandalkan sumur bor untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, pada musim kemarau, mendapatkan air menjadi hal yang sangat sulit.
Masyarakat terpaksa membeli air tangki atau fiber. Kondisi ini pula yang membuat sejumlah warga enggan bertani karena tingginya biaya dan sulitnya akses air, kata Yos.
“Awalnya saya tertarik bertani karena saya lihat, banyak petani di sini sebenarnya punya niat untuk berkebun, tetapi akhirnya enggan berkebun karena kondisi yang tidak mendukung, terutama cuaca dan ketersediaan air,” imbuh dia.
Yos mengaku cukup tertantang. Ia ingin membuktikan bahwa bertani masih bisa dilakukan meskipun dengan segala keterbatasan.
Ia berusaha agar bertani tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan, tetapi juga membantu keluarga memenuhi kebutuhan air bersih.
Saat ini, kebun milik Yos memiliki 10 bedeng sayur. Produksi sayur mayur dari lahan ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan bisa dibagikan ke tetangga sekitar. Meski belum pernah menjual hasil kebun ke pasar, beberapa tetangga membeli langsung darinya.
“Sekarang kami sudah tidak beli sayur lagi. Yang beli pun hanya tetangga-tetangga sekitar,” ujarnya.
Yos membudidayakan sayuran dengan cara ramah lingkungan dan hemat biaya. Ia memanfaatkan limbah rumah tangga, seperti sisa sayuran dan air cucian beras, sebagai pupuk alami.
Untuk memperbaiki kualitas tanah, Yos menggunakan kompos dari kotoran hewan, terutama kotoran kambing yang menurutnya paling baik bagi pertumbuhan tanaman.
Yos sangat menikmati prosesnya. Ia tidak berpikir tentang keuntungannya, tapi bertani tentu saja sangat asyik baginya.
“Kalau kita kerja asal-asalan, kita bisa tekor di biaya air saja. Tapi kalau dikerjakan serius, sejauh ini sangat membantu kami, baik untuk makan maupun air,” sambung Yos.
Ke depan, Yos berencana menanam cabai dan tomat. Diakuinya, rencana tersebut masih terkendala biaya, terutama untuk membuka lahan baru dan kebutuhan air tambahan. Meski begitu, ia tetap optimistis.
Hasil dari kebun bukan hanya berupa uang, tetapi juga ketersediaan pangan bagi keluarga dan ketenangan hidup, kata Yos.
“Prinsip saya sederhana, kalau kita bisa makan dan bisa berbagi dengan tetangga, itu sudah cukup. Jadi pasar kita itu ya lingkungan tempat tinggal kita,” tutup dia.
Jurnalis Warga: Novi Maranatha













