Solidaritas dan Prudential Principle sebagai Pilar Keberlanjutan Koperasi

Tetapi solidaritas tanpa kehati-hatian bisa menjerumuskan koperasi pada keputusan emosional yang merugikan keuangan bersama.

Oleh: Yosefina Andia Dekrita*

Beberapa waktu lalu, sebuah koperasi simpan pinjam di daerah menjadi sorotan publik. Seorang anggota baru meluapkan kekecewaannya di media sosial setelah pengajuan pinjamannya ditolak. Protes itu viral, menimbulkan simpati warganet yang menilai koperasi tersebut tidak adil terhadap anggotanya.

Namun di balik hiruk-pikuk itu, sesungguhnya ada pelajaran penting tentang keseimbangan antara semangat solidaritas dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan koperasi.

Dua Sayap Koperasi yang Harus Seimbang

Solidaritas dan kehatia-hatian (prudential principle) ibarat dua sayap yang harus seimbang agar koperasi dapat terbang tinggi dan bertahan lama. Solidaritas mencerminkan semangat kebersamaan, saling menolong dan empati antarsesama anggota yang menjadi jiwa gerakan koperasi. Tetapi solidaritas tanpa kehati-hatian bisa menjerumuskan koperasi pada keputusan emosional yang merugikan keuangan bersama.

Sebaliknya kehati-hatian yang berlebihan tanpa rasa solidaritas akan menjauhkan koperasi dari nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, koperasi perlu menempatkan keduanya secara proporsional. Keputusan finansial harus tetap berbasis data dan kelayakan tetapi dijalankan dengan empati dan komunikasi yang baik.

Di situlah letak kedewasaan koperasi yakni mampu menjaga keseimbangan antara hati dan nalar; antara kepedulian sosial dan tanggung jawab ekonomi demi keberlanjutan lembaga dan kesejahteraan seluruh anggotanya.

Akar Masalah: Kekeliruan Memahami Makna Koperasi

Kasus seperti ini sering muncul karena perbedaan cara pandang antara anggota koperasi dengan manajemen/pengurus. Bagi anggota baru, koperasi dianggap lembaga yang harus segera membantu kebutuhan ekonomi tanpa banyak syarat. Sebaliknya, bagi manajemen/pengurus, pinjaman bukanlah hak otomatis, tetapi keputusan berdasarkan kelayakan finansial dan tanggung jawab keanggotaan.

Dalam praktik keuangan koperasi, dikenal asas mutual trust —kepercayaan timbal balik. Kepercayaan ini tidak bisa dibangun seketika, tetapi tumbuh dari proses; kedisiplinan menabung, keterlibatan aktif, dan kepatuhan terhadap aturan.

Koperasi yang sehat umumnya mensyaratkan masa keanggotaan tertentu dan penilaian kemampuan membayar sebelum memberikan pinjaman. Ketentuan itu bukan bentuk diskriminasi, melainkan perlindungan agar dana anggota lain tidak terancam.

Antara Rasa dan Rasio

Koperasi lahir dari solidaritas ekonomi: dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Namun solidaritas sejati bukan berarti menutup mata terhadap aspek manajemen risiko. Di sinilah kedewasaan koperasi diuji.

Bila setiap permintaan pinjaman dikabulkan tanpa pertimbangan kelayakan, koperasi bisa terjerumus dalam krisis likuiditas. Sebaliknya, jika pengurus terlalu kaku dan birokratis, nilai kekeluargaan koperasi akan pudar.

Dari perspektif manajemen keuangan, koperasi wajib menerapkan prinsip prudential financing—pembiayaan yang hati-hati dan terukur. Penilaian kelayakan (creditworthiness) perlu dilakukan dengan melihat karakter, kemampuan, dan komitmen anggota.

Mengabaikan prinsip ini demi menjaga citra “koperasi yang ramah” justru memperbesar risiko gagal bayar dan menggerus kepercayaan anggota. Dengan demikian, penolakan terhadap pinjaman anggota baru tidak otomatis mencerminkan ketidakadilan, melainkan penerapan disiplin finansial. Solidaritas yang sehat justru tumbuh dari aturan yang dijalankan secara konsisten dan bijaksana.

Komunikasi dan Edukasi: Kunci Utama Keberlanjutan

Banyak persoalan koperasi bermula dari komunikasi yang kurang terbuka. Anggota baru sering kali tidak memahami bahwa pinjaman adalah fasilitas berbasis tanggung jawab, bukan hak yang diberikan tanpa proses. Di sinilah peran edukasi menjadi penting.

Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, pernah mengatakan: “koperasi bukan alat mencari keuntungan, melainkan alat pendidikan bagi rakyat untuk belajar bertanggung jawab.” Pandangan ini menegaskan bahwa koperasi juga adalah lembaga pendidikan ekonomi.

Oleh karena itu, pengurus perlu aktif mengedukasi anggota tentang hak dan kewajiban, termasuk prosedur pinjaman dan risiko yang menyertainya. Anggota baru dengan catatan kredit buruk di tempat lain sebaiknya tidak langsung dilayani, tetapi diberi edukasi dan diarahkan untuk membangun disiplin menabung dan rekam jejak yang baik. Edukasi semacam ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa menjadi anggota koperasi berarti ikut menjaga keberlanjutan lembaga.

Selain edukasi, transparansi komunikasi juga sangat dibutuhkan. Setiap keputusan penolakan pinjaman sebaiknya dijelaskan secara terbuka: apakah karena faktor administrasi, masa keanggotaan, atau risiko keuangan. Penjelasan yang jujur dan empatik jauh lebih efektif meredam konflik daripada membiarkan rumor tumbuh di ruang publik.

Membangun Kepercayaan Bersama

Koperasi yang sehat bukanlah yang mengabulkan semua permintaan anggota, melainkan yang berani menegakkan prudential principle demi menjaga kepentingan bersama. Solidaritas dan kehati-hatian bukan dua hal yang saling bertentangan; keduanya ibarat dua sayap yang harus seimbang agar koperasi bisa terbang lebih tinggi.

Untuk memulihkan dan memperkuat kepercayaan maka koperasi dapat memperkuat kembali (reinforcement) beberapa hal berikut: Pertama, perkuat sistem analisis kredit internal. Gunakan metode penilaian yang sederhana tetapi terukur agar keputusan pinjaman dapat dijelaskan secara objektif.

Kedua, tingkatkan literasi keuangan anggota. Selenggarakan pelatihan rutin agar anggota memahami pentingnya manajemen risiko dan tanggung jawab terhadap dana bersama. Ketiga, bangun komunikasi digital yang bijak. Kelola narasi koperasi di media sosial secara positif dan edukatif agar tidak menimbulkan persepsi keliru tentang filosofi dan operasional koperasi.

Keempat, pertegas nilai koperasi. Koperasi bukan lembaga amal, melainkan lembaga ekonomi rakyat yang berdiri di atas tanggung jawab dan kebersamaan. Kelima, buka kanal pengaduan internal. Sediakan saluran resmi bagi anggota untuk menyampaikan keluhan tanpa harus mengekspresikannya di ruang publik. Langkah-langkah tersebut adalah wujud nyata upaya membangun budaya transparansi dan saling percaya  sebagai fondasi  yang menopang koperasi agar tetap relevan dan tahan terhadap guncangan zaman.

Koperasi yang Dewasa

Koperasi berdiri di atas prinsip “dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.” Namun prinsip ini tidak boleh dimaknai secara bebas tanpa tanggung jawab.

Menolong anggota tidak selalu berarti memberikan pinjaman tetapi bisa dalam bentuk pendampingan, pembinaan, atau pendidikan keuangan. Oleh karena itu, dalam kasus anggota baru yang ditolak pinjamannya, keputusan tersebut seharusnya dipahami sebagai bentuk kedewasaan kelembagaan, bukan penolakan solidaritas.

Koperasi yang dewasa tahu kapan harus memberi, dan kapan harus menahan diri demi menjaga keberlanjutan bersama. Hanya dengan keseimbangan antara hati dan nalar, koperasi dapat tumbuh sebagai rumah ekonomi rakyat yang berkeadilan, berintegritas, dan berkepribadian Indonesia.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Nusa Nipa

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img