Guru, Dari Penceramah Menjadi Fasilitator Etika

Guru, dengan pengalaman dan kebijaksanaannya, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai perspektif

Oleh Heribertus Kamang*

Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional. Hemat saya, ini bukan sekadar seremonial semata dan selalu dirayakan setiap tahun yang entah tujuannya apa, melainkan pengakuan terhadap profesi yang menjadi tiang pancang peradaban.

Namun, perayaan beberapa tahun ini terasa berbeda. Kita berada di tengah pusaran arus konflik sosial yang kian memanas. mulai dari polarisasi politik, isu lingkungan, hingga maraknya ujaran kebencian di ruang digital.

Scroll media sosial lima menit saja, kita langsung dibombardir dengan berita yang bikin pusing kepala. Anak muda ribut soal politik identitas, warganet saling serang gara-gara beda pendapat, serta hoaks. Belum lagi fenomena bullying yang makin nampak dan brutal, intoleransi yang tumbuh subur, dan polarisasi sosial yang memecah belah masyarakat kita.

Ini bukan sekadar fenomena sementara, tapi potret nyata dari krisis etika yang sedang kita hadapi bersama. Ruang kelas tidak sepenuhnya kebal dari gejolak ini. Siswa membawa serta gema konflik dari linimasa media sosial ke dalam diskusi sehari-hari hingga ruang kelasnya.

Isu-isu yang dulu masih tabu kini meledak dan terpampang nyata di hadapan mereka, seringkali tanpa filter atau konteks yang memadai. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan; mereka butuh kompas moral yang teruji. Mereka lahir dengan smartphone di tangan, tumbuh besar dengan algoritma yang terus-menerus menyodorkan konten yang memperkuat bias mereka sendiri.

Di dunia yang serba cepat dan instan ini, nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan dialog yang sehat seakan jadi barang langka yang jarang ditemui. Yang trending adalah konten provokatif, yang viral adalah konflik, yang disukai adalah polarisasi.

Di tengah riuhnya kebisingan ini, muncul pertanyaan krusial: siapa yang akan menuntun Generasi Z (Gen Z) melewati labirin etika dan moral? Jawabannya sederhana namun fundamental yakni guru. Jangan kaget. Di sinilah peran guru bertransformasi dari sekadar pengajar menjadi penanam nilai. Guru juga merangkap sebagai figur yang bisa mengajarkan seni berdialog, mendengarkan perspektif yang berbeda, dan yang terpenting, membedakan antara kebenaran yang diperdebatkan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Mereka adalah jembatan yang menghubungkan kurikulum pengetahuan dengan realitas sosial yang penuh jebakan. Yah, guru juga harus bisa segala hal.

Dari Penceramah Menjadi Fasilitator Etika

Pergulatan zaman modern telah membawa sebuah keniscayaan: institusi pendidikan, khususnya guru, tidak bisa lagi bersembunyi di balik peran tradisionalnya. Jika dulu guru dipandang sebagai penceramah tunggal, sang pemilik dan pentransfer mutlak ilmu pengetahuan, kini peran tersebut telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih esensial dan kompleks yakni fasilitator etika dan pembimbing kritis. Pergeseran ini bukanlah sekadar perubahan terminologi atau istilah semata, melainkan sebuah transformasi filosofis dalam proses pendidikan. Lalu apa yang harus dilakukan?

Pertama, melepaskan jubah penceramah. Dalam paradigma lama, tugas guru sering kali berakhir begitu materi kurikulum selesai disampaikan. Fokus utamanya adalah transfer ilmu pengetahuan (pengetahuan teknis, fakta, dan teori). Murid hanyalah bejana yang harus diisi. Namun, di era informasi yang hiper-aksesibel, di mana setiap orang dapat mencari “fakta” dengan sekali ketukan, nilai transfer ilmu secara murni telah menurun.

Pengetahuan mentah sudah tersedia di ujung jari. Memeluk peran fasilitator etika, artinya tantangan terbesar generasi kita hari ini bukanlah kekurangan informasi, melainkan kemampuan untuk memilah, menganalisis, dan menyikapi informasi tersebut secara etis. Mungkin kita tidak percaya bahwa sekolah dan guru kini menjadi benteng terakhir yang dapat memberikan kerangka kerja moral yang kokoh.

Peran guru bukan lagi hanya mengajarkan apa yang benar dan salah (penceramah), melainkan memfasilitasi pemikiran tentang mengapa sesuatu itu benar atau salah, serta bagaimana moralitas harus diterapkan dalam situasi abu-abu di kehidupan nyata.

Sebagai fasilitator etika, guru bertugas menyediakan ruang diskusi: menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk membahas dilema etika yang kompleks, melatih siswa untuk melihat suatu masalah dari berbagai perspektif dan menyusun argumen moral yang koheren, mengajarkan cara membedah informasi, mengenali bias, dan mempertanyakan status quo, bukan sekadar menerima apa adanya.

Transformasi ini menegaskan bahwa pendidikan sejati tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas (kaya akan ilmu), tetapi juga individu yang berkarakter (mampu bertindak secara etis dan bertanggung jawab). Guru masa depan adalah arsitek karakter, bukan sekadar pustakawan ilmu.

Mereka memastikan bahwa di tengah hiruk pikuk dan kompleksitas konflik modern, setiap siswa lulus dengan kompas moral yang kuat, siap menjadi agen perubahan yang tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi juga tahu mengapa mereka harus melakukannya.

Jembatan di Tengah Jurang Polarisasi

Saat ini kita sedang menghadapi ujian besar yakni polarisasi sosial yang makin melebar. Isu SARA, politik identitas, sampai perdebatan remeh-temeh antar-tetangga pun bisa langsung memecah-belah. Siswa/siswi dengan segala kelebihannya berani berpendapat, rentan terjebak dalam ego pribadinya serta merasa pendapat sendiri yang paling benar.

Guru, dengan pengalaman dan kebijaksanaannya, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai perspektif. Mereka mengajarkan empati, bukan sekadar toleransi. Mereka memfasilitasi diskusi di kelas dengan aturan main yang adil: dengarkan dulu, pahami konteksnya, baru berpendapat. Sederhana, tapi powerful.

Seorang guru yang baik tidak akan memaksakan pandangannya, tapi akan mengajari muridnya cara berpikir bagaimana menganalisis informasi, mempertanyakan sumber, dan menghargai perbedaan. Inilah etika yang sebenarnya: kemampuan untuk hidup bersama dalam perbedaan tanpa harus saling membenci.

Lebih dari Sekadar Ucapan

Hari Guru Nasional tahun ini seharusnya jadi momen refleksi buat kita semua, baik itu masyarakat, dinas terkait serta para pemangku kepentingan dan para guru di seluruh negeri.

Jangan cuma sebatas ucapan “Selamat Hari Guru” di status media sosial, ataupun melakukan apel sebagai seremonial semata tapi mari kita ambil langkah konkret yang mendukung kebijakan pro-kesejahteraan guru, hargai profesi, dan libatkan mereka (guru) dalam pengambilan keputusan pendidikan.

Kemudian untuk para orang tua murid, jadilah partner, bukan rival dari guru, percayakan guru sebagai orang tua kedua. Dan untuk para siswa, pahami bahwa guru berjuang lebih dari yang kalian lihat, banyak hal yang dilakukan guru untuk siswanya tapi tak terlihat dan untuk para pembuat kebijakan, dengarkan suara guru, karena merekalah yang benar-benar tahu apa yang terjadi di lapangan.

Di tengah persoalan demikian, kita butuh lebih dari sekadar pendidikan akademis. Kita butuh pendidikan karakter, literasi digital, dan etika sosial yang kuat. Dan siapa yang paling berperan untuk memberikan itu? Ya, guru-guru di sekolah.

Mereka (guru) adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan dengan kebijaksanaan, informasi dengan pemahaman, dan perbedaan dengan persatuan. Untuk Generasi Z yang akan mewarisi negeri ini, guru adalah kompas yang memastikan mereka tidak tersesat di tengah badai.

Selamat Hari Guru Nasional 2025!

*Penulis adalah Alumni Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img