Jakarta, Ekorantt.com – Konferensi Tinggi Perubahan Iklim (COP-30) Amazonia yang berlangsung pada 10-21 November di Brazil sudah berakhir. Namun konferensi ini dinilai gagal menghasilkan keputusan yang memadai untuk menangani krisis iklim yang mengancam manusia dan bumi.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) menyoroti keputusan dalam Belem Political Package, yang mencakup peningkatan pendanaan adaptasi hingga 2035, peluncuran 59 indikator Global Goal on Adaptation, serta transisi energi yang mengabaikan tuntutan global untuk menghentikan industri fosil sebagai penyebab utama krisis iklim.
Sejak awal, Aruki mengingatkan agar COP-30 harus menghasilkan keputusan adaptasi sebagai hak asasi manusia, bukan sekadar proyek teknis.
Aruki mendesak pendanaan iklim berbasis hibah dan keadilan historis, penghentian solusi iklim palsu dan subsidi fosil, transisi energi berkeadilan berbasis hak, perlindungan ruang sipil dan pembela HAM lingkungan, serta pembangunan mekanisme nasional untuk akses dana kerusakan dan kehilangan akibat krisis iklim (loss and damage).
“Belem Political Package sebagai paket hasil COP-30 telah menyepakati hingga 2035 soal pelipatgandaan tiga lipat pendanaan iklim,” tegas Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, dalam rilis yang diterima Ekora NTT pada Rabu, 26 November 2025.
Namun, lanjut dia, belum ada ketegasan maupun mekanisme yang jelas, mengikat, terukur, dan transparan mengenai pihak-pihak yang akan mengalokasikan dana tersebut serta cara merealisasikannya.
Menurut Torry, pengabaian tersebut memperlihatkan bahwa COP-30 gagal mendesak negara-negara utara dan para pihak pencemar untuk bertanggung jawab atas hutang sejarah.
Padahal, peningkatan krisis iklim sedang terjadi akibat ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang berlangsung menyejarah dilakukan negara-negara utara, serta korporasi pencemar yang memperburuk sistem keseimbangan atmosfer bumi.
COP-30 juga menghasilkan kesepakatan mengenai 59 Indikator Global Goal on Adaptation (GGA). Dalam prosesnya, kata Torry, penyusunan GGA terdapat pelemahan pada aspek MoI (Means of Implementation). Penyediaan dan dukungan teknologi, hingga transformasi kapasitas berpotensi menjadi beban baru bagi negara-negara berkembang, baik secara implementasi maupun pelaporan.
Senada, Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Difa Shafira mengatakan, keputusan COP-30 mengenai JTWP (Just Transition Work Programme) menggunakan bahasa yang kuat dan tegas terkait hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal, perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, serta partisipasi yang bermakna.
Namun, menurut Difa, keputusan tersebut tidak disertai komitmen konkret untuk melakukan phase-out atau penghapusan bahan bakar fosil.
“Hilangnya rujukan eksplisit mengenai phase-out bahan bakar fosil dalam narasi energi justru menjadi bumerang terhadap upaya transisi energi global yang lebih ambisius,” jelas Difa.
Ia mengatakan, UNFCCC secara tegas mewajibkan akses dan partisipasi yang bermakna dalam perundingan iklim global.
Namun, proses negosiasi COP UNFCCC masih terbatas pada subjek-subjek yang memiliki platform untuk bersuara. Akibatnya, nelayan dan penyandang disabilitas kerap terabaikan, padahal dampak perubahan iklim dan keputusan mitigasinya juga menyentuh kelompok yang tidak memiliki platform tersebut.
Difa bilang, Deklarasi Rakyat untuk Keadilan Iklim 2025 menegaskan bahwa subjek seperti buruh, nelayan, petani, perempuan, masyarakat adat, kaum muda, dan masyarakat miskin kota harus diakui dan dilindungi haknya atas ruang hidup dan keadilan agraria, mendapatkan jaminan perlindungan sosial inklusif, serta memiliki partisipasi bermakna dalam kebijakan iklim untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan di tengah krisis iklim.”.
Urgensi RUU Keadilan Iklim
Aruki menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia, yang absen dan sangat pasif untuk menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia dan lebih banyak memfasilitasi aktor korporasi pencemar pada COP-30.
Delegasi resmi Indonesia disorot masyarakat internasional karena agenda komitmen iklim yang dibawa justru terang-terangan kontradiksi dengan suara rakyat Indonesia seperti perdagangan karbon, absennya dukungan pemerintah Indonesia pada penghentian industri fosil, serta proyek iklim di dalam negeri yang diliputi pelanggaran hak asasi manusia.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional, Uli Arta Siagian berkata, selama COP-30, Pemerintah Indonesia lebih sibuk memperdagangkan karbon ketimbang menunjukkan komitmennya untuk menurunkan emisi secara riil dan melindungi kelompok rentan dari dampak perubahan iklim.
“Perdagangan karbon, khususnya karbon hutan berpotensi menjadi ajang greenwashing dan green-grabbing,” kata Uli.
Menurutnya, realitas di lapangan juga menunjukkan bahwa proyek-proyek transisi energi di dalam negeri berjalan melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sarat kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
PSN memberikan kemudahan perizinan, percepatan pengadaan tanah, dan diskresi luar biasa yang membuka ruang sistematis bagi kriminalisasi warga, penggusuran paksa, perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, intimidasi aparat, serta impunitas bagi perusahaan.
Ketua Bidang Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin mengungkapkan, pihaknya mencatat 212 kasus kriminalisasi dalam proyek PSN energi selama 2022–2025. Konflik di Poco Leok Nusa Tenggara Timur, Weda Bay, Morowali, Rempang, Mandalika, hingga geotermal Mutubusa menunjukkan pola berulang.
“Keputusan tertutup, ketidaktransparanan, represi, dan hilangnya hak ekonomi–sosial masyarakat,” ungkap Zainal.
Selanjutnya, ia menegaskan, di NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, proyek-proyek smelter telah menimbulkan sedimentasi, pencemaran laut akibat tambang nikel, erosi dari penambangan pasir, hilangnya ruang hidup akibat proyek energi dan pariwisata, serta memperparah kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil
Alih-alih memperkuat ketahanan iklim, banyak proyek atas nama iklim, termasuk PSN justru menciptakan maladaptasi yang memperparah risiko bencana, memutus rantai penghidupan masyarakat, dan merusak ekosistem penyangga.
Di tingkat global, menurut Zainal, Pemerintah Indonesia seringkali berdiplomasi dengan klaim pembangunan hijau, transisi energi, hingga ambisi terhadap komitmen iklim. Padahal, di tingkat nasional, kebijakan mengenai iklim masih sektoral, dan belum sama sekali menjawab mengenai implementasi prinsip keadilan iklim.
“Setelah berakhirnya COP-30, Pemerintah Indonesia terikat mandat konstitusi untuk memastikan rakyat Indonesia selamat dari krisis iklim,” katanya.
Torry berkata, RUU Keadilan Iklim sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029.
RUU ini menjadi landasan utama untuk merespons persoalan krisis iklim secara lebih holistik, tidak hanya soal penurunan emisi tetapi menjamin perlindungan hak asasi manusia, mekanisme ganti rugi, dan tata kelola yang partisipatif dan akuntabel.
Ia pun mendesak agar Pemerintah Indonesia segera membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim, terutama agar subjek rentan meliputi masyarakat adat, ragam penyandang disabilitas, perempuan, orang muda, buruh dan pekerja informal, nelayan, masyarakat miskin kota, serta lansia menjadi subjek utama dalam seluruh agenda dan aksi iklim berkeadilan.













