Maumere, Ekorantt.com – Harapan Sebastianus Anggal pupus saat penyakit layu bakteri menyerang tanaman pisang di kebunnya di Kisol, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur pada Agustus 2019 lalu. Empat hektare kebun pisang yang dulu hijau berubah menjadi hamparan batang yang membusuk.
Sebastianus awalnya mengira pohon-pohon pisang hanya kekurangan air. Namun, saat batang dipotong, cairan merah menyeruak keluar, menyerupai darah segar.
“Kita potong di dalamnya macam darah semua di batang dan di buah,” tuturnya kepada Ekora NTT pada Senin, 3 November 2025.
Pengalaman serupa dialami Yakobus Boli, 68 tahun, petani asal Boganatar, Desa Kringa, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Ia mengaku kehilangan sekitar 50 batang pisang yang siap panen.
“Saya menangis pak, sekitar 50 batang pisang yang siap panen hancur semua,” kata Yakobus.
Penyakit layu bakteri melanda wilayahnya sejak April 2025. Yakobus baru mengetahui saat daun pisang menguning dan muncul cairan seperti darah dari bagian dalam buah.
Kondisi serupa dialami Arfin, 38 tahun, petani asal Nou, perbatasan Desa Raja Timur (Boawae) dan Desa Ulupulu 1 (Nangaroro), Kabupaten Nagekeo.
Sejak Agustus 2023, tanaman pisangnya menunjukkan gejala rusak pada daun dan buah.
“Isi buah pisang rusak, warna menjadi kehitaman. Saya tebang semua, tidak tahu berapa jumlahnya,” ujarnya.
Gejala awal muncul di beberapa pohon, kemudian menyebar ke rumpun lain. Jantung pisang mengecil dan kering, serta keluar cairan merah tua dari pelepah batang.
“Itu terlihat dari batang ujung. Ada cairan merah. Seumur saya baru kejadian ini,” kata Arfin.

Penyebaran Wabah Layu Bakteri
Penyakit layu bakteri atau Fusarium wilt mewabah di sejumlah wilayah di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit ini disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) yang membuat daun pisang menguning, batang melembek, dan akhirnya mati perlahan.
Di wilayah Manggarai Timur, para petani mulai merasakan dampak penyakit layu bakteri pada 2019. Wabah yang sama menyerang kebun pisang di Ngada, Nagekeo, dan Ende pada 2023. Selama tiga tahun terakhir, dari 2.453 hektare kebun pisang di Ngada yang terserang penyakit, 113,33 hektare di antaranya terjangkit wabah layu bakteri.
“Kecamatan yang paling parah dilanda penyakit pisang adalah Kecamatan Aimere, Inerie, Golewa Selatan, Jerebuu, Riung,” kata Kepala Bidang Sumber Daya Manusia dan Sarana Prasarana Dinas Pertanian Ngada, Herlinda Bate di Bajawa pada Jumat, 7 November 2025.
Sedangkan di wilayah Sikka, penyakit layu bakteri terdeteksi pada akhir 2023 di Desa Bloro. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar ke sejumlah wilayah hingga menyebabkan 738,97 hektare kebun pisang terkena dampak. Upaya pengendalian baru mencapai 3,31 hektare atau 2,87 persen.
Menukil data Sikka Dalam Angka 2024 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), selama 2020, produksi pisang di Sikka mencapai 823.132 kuintal, kemudian turun drastis menjadi 284.952 pada 2021.

Tren penurunan berlanjut di tahun berikutnya yakni 150.673 kuintal dan kian turun menjadi 56.329 kuintal pada 2023. Kemudian naik menjadi 125.892 kuintal pada 2024.
Dosen Pertanian Unika Santu Paulus Ruteng, Rizki Adiputra Taopan menjelaskan, penyakit darah pisang atau Blood Disease Bacterium (BDB) pertama kali dilaporkan di Pulau Selayar pada awal 1900-an dan menyebar ke Pulau Jawa pada akhir 1980-an.
“Lendir inilah yang diasosiasikan seperti darah,” ujarnya.
Ia menambahkan, patogen Ralstonia syzygii subsp. celebesensis dapat bertahan di tanah selama satu tahun karena kemampuannya membentuk biofilm.
“Hal tersebut disebabkan karena kemampuannya dalam membentuk biofilm,” jelasnya.
Patogen ini dapat menular melalui air, peralatan pertanian, dan vektor serangga seperti Cercopidae, Hindola Fulva, dan H. Striata.
“Kemampuan bertahan di tanah yang tinggi dan persebaran yang luas menyebabkan patogen ini sulit ditangani,” tambahnya.
Rizki bilang, penyakit ini menyerang tanaman pisang dewasa dan sangat merugikan petani. Bahkan BDB telah menjadi faktor pembatas budi daya pisang di Sulawesi. Hal ini disebabkan karena kerugian dapat mencapai 50 persen.

Petani dan Pedagang Merugi
Sebastianus dan Yakobus merugi hingga ratusan juta akibat wabah layu bakteri. Pisang yang menjadi salah satu andalan ekonomi mereka bertahun-tahun tidak memberikan untung. Nyaris tak ada rupiah yang mereka dapatkan selama beberapa tahun belakangan.
Fabiana Lini, pedagang pisang di Jalan Trans Flores, terpaksa mendatangkan pasokan dari Kupang, Pulau Timor, karena pisang lokal semakin langka.
“Pisangnya dari Kupang. Mereka bawa sendiri, lalu kami beli,” katanya ditemui di lapak pisangnya di Sita, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Jumat, 31 Oktober 2025.
Sebelum wabah merebak, Fabiana rutin membeli pisang dari Kisol, Kecamatan Kota Komba. Namun kini, pasokan dari daerah tersebut terhenti total.
“Saya merasa kaget pas buka. Pas kita kupas begini, isi di dalamnya seperti batu,” ujarnya.
Kondisi itu membuat harga pisang melonjak tajam. Jika dulu ia membeli satu tandan seharga Rp100 ribu, kini hanya mendapat tiga sisir dengan harga yang sama.
“Mereka jual per tiga sisir pisang itu dengan harga 50 ribu. Kalau penyakit ini tidak lagi, kami bisa memesan lagi pisang dari Kisol,” kata Fabiana.
Pengalaman serupa dialami Boy, 22 tahun, pemuda asal Desa Nanganesa, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende. Usaha pisangnya terpaksa kandas lantaran pada 2022–2024 tanaman pisang di Pulau Flores, termasuk di Kabupaten Ende, diserang penyakit darah pisang.
Ia mendapatkan pasokan pisang dari Maumere, Kabupaten Sikka, dan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT, dengan harga Rp40 ribu–Rp50 ribu per tandan.
Sebelum wabah merebak, Boy rutin mengirim pisang ke Surabaya. Kini ia berjualan langsung di Pasar Mbongawani, Ende, menggunakan mobil pikap.
Keluhan serupa disampaikan Maria Kleofas Wea, 59 tahun, pedagang pisang di Pasar Bobou, Kota Bajawa. Ia mengaku kesulitan mendapatkan pasokan pisang dari petani selama hampir tiga tahun terakhir.
“Sulit sekali kami dapat pisang, kecuali kita beli dari Adonara, kebetulan ada langganan yang biasa antar ke sini,” ujarnya saat ditemui Ekora NTT, Jumat, 7 November 2025.

Upaya Belum Maksimal
Pemerintah di sejumlah kabupaten di Pulau Flores telah mengambil langkah mengatasi wabah penyakit darah pisang, namun dinilai belum maksimal. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Fransiska Omi bilang, belum ada pestisida yang dapat mengendalikan penyakit tersebut.
Satu-satunya cara yang disarankan adalah melakukan pemusnahan atau eradikasi total terhadap tanaman pisang yang terinfeksi agar tidak menyebar ke wilayah lain.
“Namun eradikasi total membutuhkan waktu dan tenaga ekstra petani karena harus membongkar semua tanaman pisang sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Fransiska menambahkan, pihaknya telah memantau langsung penyebaran penyakit darah pisang di lokasi. Dilakukan pula sosialisasi pencegahan penularan penyakit layu bakteri, seperti sterilisasi alat panen dan pemotongan jantung pisang sebelum berbunga terakhir.
“Kita juga melakukan uji coba untuk eradikasi total atau pemusnahan tanaman pisang yang telah terkena penyakit layu bakteri,” kata dia.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Nagekeo juga mengimbau petani agar melakukan pengendalian secara mandiri dengan cara memusnahkan tanaman pisang yang menunjukkan gejala penyakit darah.
Upaya eradikasi, kata mereka, penting untuk menekan penyebaran penyakit melalui aktivitas manusia maupun penyerbuk serangga.
“Cara yang paling ampuh yaitu eradikasi sehingga penyakitnya bisa hilang. Petugas kami sudah advokasi dan memberikan pendampingan tindakan pengendalian (garda) bersama petani,” kata Kepala Dinas Pertanian Nagekeo, Oliva Monika, pada April 2024 lalu.
“Selanjutnya petani di lahan masing-masing melakukan pengendalian secara mandiri.”
Di Kabupaten Ngada, pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan melalui Instruksi Bupati Nomor 1 tahun 2023 tentang Upaya Pengendalian Penyakit Pisang. Upaya itu, mulai dari penyuluhan, sosialisasi, dan edukasi kepada petani tentang pengenalan gejala penyakit serta cara pengendaliannya, ujar Herlinda.
Selanjutnya, pengambilan sampel tanaman untuk identifikasi jenis penyakit, pembersihan dan pemusnahan tanaman yang terinfeksi berat agar tidak menjadi sumber penularan.
“Bahkan kita sampai saran pengurangan anakan tanaman pisang dan pendampingan kelompok tani untuk penerapan sanitasi kebun dan rotasi tanaman,” kata Herlinda.

Lemahnya Riset dan Koordinasi
Rizki menilai lemahnya riset dan koordinasi antar-instansi menjadi kendala utama dalam penanganan penyakit kayu bakteri. Karena itu, kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga riset harus dilakukan secara sistematis
Ia mendorong pemerintah untuk segera melakukan pengendalian hayati sebagai langkah strategis dalam mengatasi penyakit darah pisang yang kini kian mengancam petani Pulau Flores. Selain ramah lingkungan, pengendalian secara hayati juga relatif murah dan berkelanjutan.
“Perlu dilakukan riset terkait agen hayati yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri,” kata Rizki kepada Ekora NTT pada Rabu, 5 November 2025.
Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Flores (Unflor), Yustina M. S. W. Pu’u, memiliki pandangan yang sama. Menurut dia, riset penyakit pisang di Indonesia sudah cukup efektif, namun belum ada riset dasar maupun terapan untuk pengendalian penyakit darah pisang di Flores.
Yustina mengatakan, kampus lokal memiliki sumber daya yang memadai, yakni dosen-dosen agroteknologi dengan kompetensi keilmuan di bidang hama dan penyakit tumbuhan, agronomi, serta ilmu tanah. Mereka memiliki kemampuan untuk menangani penyakit darah pisang secara terpadu, mulai dari budi daya hingga penanganan patogen penyebab penyakit tersebut, kata Yustina.
“Dukungan anggaran juga tersedia optimal dari pemerintah melalui Kemendiktisaintek dengan berbagai skema hibah penelitian serta LPDP,” jelas Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Flores itu.
Menurut dia, belum ada koordinasi yang efektif antara pemerintah daerah, dinas pertanian, dan lembaga penelitian dalam menangani penyakit darah pisang. Koordinasi lintas lembaga, baik antara pusat maupun daerah, sering kali berjalan lambat dalam menangani wabah pertanian karena perbedaan prioritas daerah, tumpang tindih peraturan, keterbatasan sarana dan prasarana, sistem penganggaran berjenjang, serta lemahnya komunikasi dan diseminasi teknologi.
Yustina menganjurkan, agar perlu dibentuk mekanisme koordinasi darurat, penetapan otoritas yang jelas di tingkat daerah untuk mengambil tindakan cepat seperti karantina, serta penyederhanaan jalur transfer teknologi dari lembaga riset langsung ke Dinas Pertanian yang berhubungan langsung dengan petani.













