Oleh: Erlyn Lasar*
Pada sesi orientasi putra kami yang akan masuk TKK bulan lalu, guru dan direktur sekolah kompak menyampaikan pesan sederhana yang menarik perhatian saya. Mereka katakan, “we believe that screen time is never beneficial.”
Kalimat itu tidak diucapkan dengan nada menghakimi, melainkan dengan penjelasan tenang mengenai alternatif kegiatan yang lebih baik bagi perkembangan anak. Mereka menjelaskan aktivitas bermain, ritme harian, hingga cara komunikasi orang tua yang membantu anak tumbuh tanpa ketergantungan pada layar.
Saya baru benar-benar memahami bahwa pesan itu tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari ekosistem besar yang sedang dibangun pemerintah Australia, dan mulai hari ini (10/12/2025) telah diberlakukan secara nasional, kebijakan yang melarang remaja memiliki media sosial. Namun yang paling menarik bagi saya bukan larangannya, melainkan cara negara mempersiapkan masyarakat untuk larangan itu.
Australia tidak mengumumkan kebijakan ini secara tiba-tiba. Mereka mensosialisasikannya jauh sebelum berlaku, membuka ruang diskusi publik, melibatkan ahli perkembangan anak, dan memberi waktu bagi sekolah untuk menyesuaikan kurikulumnya. Sehingga ketika hari pemberlakuan tiba, tidak ada yang kaget, tidak ada drama publik. Sebab semua pihak sudah memahami arah besar kebijakan.
Ini memberikan pelajaran penting. Bahkan negara maju pun tidak ragu menghentikan paparan digital dini bagi generasi muda mereka, karena mereka memahami bahwa kesehatan mental, kapasitas fokus, dan karakter remaja adalah aset nasional.
Kebijakan publik bukan sekadar dokumen. Ia adalah pernyataan sikap negara tentang apa yang ingin dilindungi.
Yang membuat kebijakan Australia ini menarik adalah pendekatannya yang sangat pedagogis. Negara tidak memulai dari larangan, tetapi dari edukasi. Mereka membangun pemahaman sebelum regulasi.
Mereka menjelaskan risiko digital bukan dengan bahasa ketakutan, tetapi dengan bahasa perkembangan anak. Antara lain bagaimana layar memengaruhi pola tidur, keterampilan sosial dan kemampuan regulasi diri pada anak dan remaja.
Di sekolah dasar dan TKK, guru dilatih untuk menyampaikan isu ini secara ramah bukan represif. Orang tua diajak berdiskusi, bukan disalahkan. Anak-anak dikenalkan pada alternatif kegiatan, bukan dipaksa menjauhi gawai tanpa penjelasan. Dan ketika kebijakan akhirnya diterapkan, masyarakat sudah sampai pada titik pemahaman bersama. Inilah esensi dari kebijakan yang humanis pedagogis yakni tegas terhadap prinsip, namun lembut dalam pendekatan.
Indonesia bukan negara tanpa persoalan serupa. Kita menghadapi paparan digital yang bahkan lebih intens, terutama setelah pandemi. Anak-anak semakin akrab dengan layar pada usia yang sangat dini, sementara guru dan orangtua sering kali tidak memiliki panduan yang jelas.
Di NTT, persoalan ini semakin kompleks karena keterbatasan akses informasi, variabilitas kualitas sekolah dan minimnya ruang diskusi tentang literasi digital keluarga.
Kita cenderung lebih sering bergerak setelah masalah muncul, bukannya sebelum. Kita sering lebih mengandalkan larangan tanpa edukasi. Dan kita juga sering menyerahkan isu ini sepenuhnya pada keluarga, seolah negara dan sekolah tidak memiliki peran.
Pengalaman saya menyaksikan bagaimana Australia mengelola isu ini memberi pesan bahwa sesungguhnya negara justru harus hadir. Sebab tidak cukup hanya dengan menasihati.
Tidak cukup menyerahkan semuanya pada orang tua. Negara harus mengambil posisi moral, memberi batasan yang jelas dan menyediakan pendampingan.
Kebijakan mengenai media sosial remaja bukan soal membatasi kebebasan, tetapi soal menjaga periode perkembangan paling rapuh dalam hidup seorang anak. Di titik ini, negara Australia memberi teladan. Mereka berani mengambil keputusan yang tidak populer demi perlindungan generasi muda.
Karena kebijakan yang mereka ambil ini berskala nasional, dampaknya ternyata sangat signifikan. Sekolah-sekolah bergerak serentak memperbarui kurikulum dan kebijakan penggunaan perangkat. Orang tua pun proaktif menyiapkan anak, bukan karena takut hukuman tetapi karena paham konteks kebijakan.
Masyarakat pun dengan sendirinya membentuk ekspektasi baru tentang apa yang lebih aman bagi remaja. Otomatis platform digital pun dipaksa untuk beradaptasi. Dengan kebijakan ini, mereka tidak bisa lagi menutup mata terhadap pengguna di bawah umur.
Dari perspektif pendidikan, ini mengubah lanskap pengasuhan digital secara struktural. Anak-anak tidak lagi menghadapi media sosial sebagai norma sosial baru tetapi memahami bahwa ada alas an mengapa negara melindungi mereka dari paparan dini.
Melihat ini, saya tersadar bahwa argumen yang mengatakan bahwa biarkan orang tua saja yang mengatur pola screen time anak tidak lagi cukup. Tanpa payung kebijakan, tekanan sosial untuk mengikuti arus digital terlalu besar.
Untuk itu negara harus menciptakan batas kolektif agar keluarga tidak berjalan sendiri.
Di titik ini, saya juga menyadari sesuatu yang lebih fundamental tentang arah pendidikan moral dan karakter anak. Bahwa negara tidak boleh netral terhadap hal-hal yang memengaruhi masa depan generasi muda. Ada isu-isu yang tampak sederhana, seperti screen time dan media sosial, tetapi berdampak luar biasa pada perkembangan otak, mental dan karakter anak.
Australia mengajarkan bahwa keberpihakan negara bukan berarti otoritarisme. Justru sebaliknya, ketika negara tegas terhadap prinsip perlindungan, negara membantu masyarakat bernafas lebih lega.
Orang tua tidak perlu bersaing dengan sistem digital yang overpowering. Guru juga tidak perlu berjuang sendirian.
Kurikulum di sekolah tidak berjalan dalam ruang hampa. Karena ada batasannya. Ada kebijakan nasionalnya. Negara hadir dalam hal ini, bukan untuk membatasi kehidupan anak, tetapi untuk mengarahkan ekosistem yang lebih sehat bagi tumbuh-kembang mereka.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa kita harus serta merta meniru kebijakan Australia begitu saja. Konteks sosial dan akses digital Indonesia jelas jauh berbeda dengan Australia.
Namun kita dapat belajar dari cara mereka membangun kebijakan. Bagaimana mereka melakukannya lewat pendidikan publik, dialog, penjelasan yang masuk akal, dan keberanian mengambil posisi moral.
Di NTT maupun Indonesia secara umum, kita perlu memahami bahwa isu paparan digital dini bukan persoalan kecil. Ini adalah persoalan pendidikan karakter, kesehatan mental dan masa depan bangsa.
Dan negara, melalui sekolah, kurikulum, dan kebijakan publik harus berani hadir dengan tegas sekaligus humanis. Karena melindungi anak-anak dan remaja bukan sekedar urusan keluarga, melainkan urusan negara.
*Penulis adalah mahasiswa di Melbourne













