Hujan deras mengguyur Maumere, Sabtu (9/2). Namun, keadaan alam yang tidak bersahabat tidak surutkan semangat tim Ekora NTT lacak jejak sejarah tentang cikal bakal pers di Kabupaten Sikka.
Pertanyaan yang menggantung di benak kami adalah apa surat kabar publik pertama di Kabupaten Sikka?
Pertama-pertama, kami melakukan ziarah ke makam Tokoh Pers Kabupaten Sikka, Ignatius da Cunha di Pekuburan Iligetang.
Di pusara tokoh pers itu, kami lafalkan doa mohon restu dari leluhur dan Tuhan terhadap geliat aktivitas jurnalistik di Kabupaten Sikka.
Doa kami, yang disatukan dalam ibadat sabda di Kantor Redaksi Surat Kabar Harian Ekora NTT beberapa jam sebelumnya, adalah agar pers di Kabupaten Sikka mengabdi kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan dengan mengembangkan pemberitaan yang bertolak dari perspektif rakyat kecil.
Di depan pusara tokoh pers, Pemimpin Redaksi Ekora NTT, Agustinus Nong lafalkan doa dalam bahasa daerah Sikka:
“Miu puku nulu bano wa’a. Tuke ler ami nibong nai tawa. Kamang surat dewan naruk EKORA NTT gera mudeng da’ang dadi tena riwu ngasung bisa ngai siang.”
Pelatihan jurnalistik, ibadat sabda, ziarah ke makam tokoh pers, diskusi publik bersama dengan anak muda dan pelaku pariwisata di Sikka-Lela, dan wawancara dengan tokoh pers Sikka adalah upaya kecil Ekora NTT memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang oleh rezim Orde Baru ditetapkan pada setiap tanggal 9 Februari.
Untuk memperingati momen yang sama, rekan-rekan jurnalis di Kabupaten Sikka yang tergabung dalam organisasi Aliansi Wartawan Sikka (AWAS) sudah melakukan banyak kegiatan yang berarti seperti bakti sosial dan diskusi publik bertajuk “Publik Bicara tentang Pers” di Kopi Mane Coffe & Resto.
Tentu saja kami mafhum soal kontroversi HPN yang oleh beberapa kalangan dituding sebagai produk Orde Baru.
Perdebatan boleh terus berlanjut, tetapi HPN tetap harus diberi isi: otokritik terhadap pers untuk tidak pernah boleh menjilat kekuasaan.
Selanjutnya, kami melakukan silaturahmi jurnalistik dengan tokoh pers di Kabupaten Sikka. Pilihan kami jatuh pada tokoh sepuh pers di Kabupaten Sikka, E.P. Da Gomez.
Tentu mendaulat Beliau sebagai tokoh pers rentan dinilai klaim sepihak Ekora NTT. Akan tetapi, tampaknya gelar itu tidak terlalu berlebihan mana kala mengingat rekam jejak Beliau dalam merintis pers di Kabupaten Sikka.
Dengan berpegang pada keyakinan, sejarah adalah begawan dan karena itu kita tak pernah boleh sekali-kali melupakannya, Ekora NTT putar memori publik pada suatu masa tempat nadi pers mulai berdenyut di Kabupaten Sikka.
Kami tiba di kediaman E.P. da Gomez di Kelurahan Nangalimang, Kecamatan Alok sekitar pukul 16.30 WITA. Sore itu, Nangalimang sendu dan mendung.
“Namanya DUTA,” demikian E.P. da Gomez memulai cerita.
DUTA adalah surat kabar lokal pertama di Kabupaten Sikka yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Karya Sosial (YKS).
DUTA menerjemahkan programYKS dalam bentuk koran berukuran kertas HVS dibagi dua. DUTA terbit pertama kali pada tanggal 15 April 1968 pada masa pemerintahan Bupati Lorens Say.
Dengan tebal 36 halaman, DUTA memuat rubrikTajuk, Politik, Ekonomi, Kebudayaan, dan Varia. DUTA dibaca oleh 500 langganan tetap. DUTA punya loper koran sendiri.
Terbit selama 7 tahun dari 1968 sampai 1975, DUTA sudah menulis 100 edisi koran. Edisi 1-36 DUTA diarsip secara apik oleh Pater Volsvik, SVD.
Bundelan arsip koran itu diperkirakan tersimpan di Perpustakaan Ledalero. Pada 1975, DUTA berhenti terbit.
Menyebut DUTA surat kabar pertama di Kabupaten Sikka problematis. Sebab, sebelum DUTA, Gereja Katolik sudah menerbitkan “Bintang Timur” dan “Kristus Ratu Itang” dalam bahasa daerah Sikka pada tahun 1925 dan berhenti terbit pada 1930.
Di Ende, diterbitkan “Bentara” yang berhenti terbit pada 1950.
DUTA memang beberapa tahun lebih cepat terbit dari pada DIAN, majalah mingguan besutan para misionaris Serikat Sabda Allah atau SVD yang terbit pada 1973. Akan tetapi, sebagai koran publik yang dikelola oleh putra Sikka, tidak berlebihan jika DUTA didaulat sebagai perintis pers di Kabupaten Sikka.
Menurut E.P. da Gomez, pada saat peluncuran DUTA, Bupati Lorens Say dan Kepala Dinas Kantor Penerangan, Sadipun memberi kata sambutan.
Bupati Lorens dan Kadis Sadipun mendorong para awak DUTA bekerja dengan baik membantu masyarakat memperoleh pengetahuan tentang banyak hal yang belum terungkap.
Pada masa awal penerbitan, DUTA dicetak dengan mesin stensel. Setelah Pemilu II pada tahun 1971, DUTA mendapatkan bantuan mesin cetak dari Menteri Perhubungan, Fransiskus Xaverius Seda.
Staf DUTA, Arnoldus da Cunha ditugaskan untuk mengambil mesin cetak itu di Jakarta. Hasil cetakan DUTA menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Selama mengampuh DUTA, E.P. da Gomez dan kawan-kawan mendapat banyak tantangan.
Suatu ketika, Bupati Lorens ajak para wartawan DUTA pesiar di area seputaran Waioti (kini arah ke Bandara Frans Seda Maumere).
Bupati bilang, tanah di sini sangat mahal dan strategis. Para awak DUTA tahu, itu adalah tanah bupati.
Bupati sempat tawarkan untuk membagikan tanah itu kepada para wartawan DUTA. Akan tetapi, semua wartawan DUTA menolak tawaran itu.
Para wartawan DUTA bekerja dalam kemiskinan. Liputan dilakukan dengan jalan kaki. Kalau ada rezeki, para wartawan dapat Rp200,00 hingga Rp300,00. Untuk nafkahi keluarga,mereka mencari pekerjaan lain.
“Saya sendiri tidak punya pekerjaan lain. Saya dapat nafkah dari surga,” gurau E.P. da Gomez.
Dalam struktur kepengurusan DUTA, E.P. da Gomez duduk di dewan redaksi sebagai sekretaris redaksi.
Pemimpin redaksi DUTA adalah Alm. Viator Parera. Ada pun anggota dewan redaksi DUTA adalah Alm. Ignatius da Cunha, Alm. Herman Yoseph, Alm. Ludgerus da Cunha, Alm. Hendrik Rotan, Alm. Stef Mane Parera, dan Oscar Mandalangi Pareira.
Anggota dewan redaksi DUTA sekaligus rangkap tugas sebagai wartawan yang melakukan peliputan di lapangan.
Kerja redaksi dibantu oleh Arnoldus da Cunha dan Tinus da Silva. Dengan demikian, awak DUTA yang masih hidup tinggal E.P. da Gomez, Oscar Mandalangi Pareira,Arnoldus da Cunha, dan Tinus da Silva
“Kami dalam umur yang energik. Tulisan kami keras. Pak Viator banyak kali dipanggil polisi karena tulis banyak kasus,” kenang E.P. da Gomez.
Para wartawan DUTA memiliki gaya menulis yang keras dan unik.
Pemred Viator sering dipanggil menghadap pihak berwajib karena menulis banyak kasus dengan gaya tulisan yang keras.
Dari tulisan-tulisan itu, ia menyulapnya menjadi cerita pendek (Cerpen). Pada saat El Tari Memorial Cup pada tahun 1974, ia menulis sebuah Cerpen yang sangat bagus.
Sementara itu, Oscar Mandalangi Pareira suka menulis hal-hal yang unik.
Misalnya, siapa pengendara sepeda pertama di Maumere? Menurut liputan Oscar, pengendara sepeda pertama di Maumere adalah putra sulung Raja Sikka Ke-4, Raja Don Meak bernama Don T.P. Da Silva.
Para wartawan DUTA menulis berita dengan tulisan tangan. Tulisan itu kemudian dikoreksi oleh Pemred Viator sebelum naik cetak.
Selain tulisan para wartawan DUTA, DUTA juga mendapat sumbangan tulisan dari para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) di Ledalero. Frater Mariatma, SVD dan Pastor Bosco Beding, SVD menulis secara tetap di DUTA.
“Frater Mariatma kemudian menjadi Provinsial SVD di Bali, sedangkan Pastor Bosco ditabrak mati di Salemba, Jakarta,” katanya.
Pada akhir tahun 1970-an, tulisan-tulisan DUTA menjadi sangat keras.
Bupati Lorens Say memang punya banyak program kerja yang bagus. Akan tetapi, terdapat hal-hal kecil yang buruk. Hal-hal kecil itulah yang dikritik DUTA.
Misalnya, proyek pembangunan jembatan di dekat Pelabuhan. Bupati Lorens membangun jembatan itu dengan mengumpulkan uang dari toko-toko di Maumere.
DUTA mengkritik proyek tersebut bukan karena pembangunan jembatan itu buruk, melainkan karena bupati membangunnya dengan melakukan pungutan liar kepada masyarakat.
“Idenya membangun benar. Tapi, membangun dengan cara kumpulkan uang dari toko-toko itu tidak benar. Toko-toko ini bayar pajak kepada negara,” katanya.
Akibat pemberitaan DUTA yang keras, Bupati Lorens memanggil wartawan DUTA ke kantor bupati dan mengancam akan menempelengnya.
Bupati juga sempat melaporkan DUTA ke polisi. Akan tetapi, DUTA tidak pernah perduli dengan sikap bupati.
DUTA beranggapan, jika ada yang salah dengan pemberitaan, bupati bisa ajukan hak jawab.
Pada sekitar tahun 1973/1974, bupati suruh Pemred Viator dan Oscar Mandalangi keluar dari DUTA. Ignatius da Cunha ambil alih kepemimpinan. Setelah Ignatius pergi kursus teknik pemberdayaan masyarakat di Malang, E.P. da Gomez kelola DUTA sendiri.
“Saya kerja sendiri. Segala hal saya isi,” katanya.
Sampai pada akhirnya YKS tidak sanggup lagi membiayai penerbitan DUTA. Pada tahun 1975, DUTA berhenti terbit.
Menurut E.P. da Gomez, ada tiga alasan DUTA berhenti terbit, yakni pertama, personil terganggu, kedua, YKS tidak bisa membiayai, danketiga, tunggakan pelanggan yang besar.
“Setelah DUTA mati, YKS kemudian buka lagi perpustakaan. Kurang lebih ada 2000 buku. Kami buat proposal ke Jerman melalui Pater Provinsial. Pada saat gempa 1992, semua buku hancur,” katanya.
Itulah DUTA, koran cetak pertama di Kabupaten Sikka yang dikelola oleh putra-putra terbaik Nian Tana.
DUTA ajarkan jurnalisme advokasi yang sangat kritis terhadap kekuasaan. DUTA tidak menjadi Humas kekuasaan, melainkan mengkritiknya.
DUTA tidak menjilat kekuasaan, sekalipun peluang untuk melakukannya terbuka lebar. Dengan segala risiko terberat yang mesti ditanggung, termasuk mati muda pada usia belia: 7 tahun.