Maumere, Ekorantt.com – Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton yang dihubungi Ekora NTT, Kamis (14/2) mengatakan, hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Berdasarkan undang-undang ini, hanya isu nomor 1 yang penuhi kriteria. Dua isu lainnya tidak penuhi kriteria karena hanya berdampak pada penghasilan anggota DPRD Sikka dan tidak berdampak bagi masyarakat luas.
“Dengan demikian, hemat saya, karena itu adalah hak DPRD, maka silahkan saja DPRD menggunakan hak itu dan pemerintah punya kewajiban untuk memberi informasi yang diminta,” terang Darius.
“Untuk isu nomor 1 mungkin bisa memenuhi kriteria interpelasi, tetapi untuk nomor 2 dan nomor 3 perlu dilihat lagi karena itu hanya berdampak ke penghasilan DPRD, bukan berdampak ke masyarakat,” timpalnya.
Darius berharap, hak interpelasi sungguh dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Hak interpelasi tidak boleh diobral untuk hal-hal sepele yang mestinya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang intens antara bupati dan DPRD.
Sehubungan dengan penilaian publik bahwa interpelasi dilakukan bukan atas dasar argumen, tetapi sentimen seperti rasa sakit hati, malu, dan tidak nyaman, Darius mengatakan, “Nah, itu alasan yang tidak tepat dan tidak perlu. Sakit hati bukan alasan interpelasi menurut Undang-Undang tentang MD3,” katanya.
Esensi Demokrasi
Dosen Filsafat Politik STFK Ledalero, Pater Otto Gusti Nd. Madung yang dimintai tanggapannya, Kamis (14/2) menanggapi poin ketiga interpelasi, yaitu berbagai pernyataan kontroversial dan vulgar Bupati Sikka di media massa.
Menurutnya, esensi demokrasi adalah kontroversi atau konflik. Sebab, dalam tatanan demokratis, setiap pandangan dan kepentingan diberi ruang artikulasi.
Pandangan dan kepentingan itu tentu selalu plural. Akibatnya, kontroversi tak terhindarkan.
“Tapi, dalam politik perlu ada pengambilan keputusan. Dan proses itu sering didahului perdebatan yang melibatkan publik atau rakyat,” katanya.
Menurut Pater Otto, perdebatan atau kontroversi adalah jalan yang biasa dalam demokrasi untuk mencari kebenaran atau keputusan politis yang benar. Jadi, jika pernyataan bupati dinilai kontroversial, itu pratanda baik bagi demokrasi.
“Saya justru heran jika ada anggota DPRD yang melihat kontroversi sebagai hal yang negatif dan meminta bupati untuk menjaga keharmonisan relasi. Pertanyaannya, ini urus negara atau urus keluarga?” katanya.
Pater Otto berpendapat, kita patut curiga jika hubungan antara bupati dan DPRD terlalu harmonis sementara rakyat terus dirundung persoalan kemiskinan. Harmoni adalah pratanda eksekutif dan legislatif kompak menginjak rakyatnya.
Jebolan Sekolah Filsafat Munchen, Jerman ini berpendapat, di tengah berbagai persoalan yang mendera masyarakat kita, sudah seharusnya bupati dan DPRD berdebat mencari solusi terbaik untuk kesejahteraan rakyat.
Tentu perdebatan dan kontroversi harus bersifat substansial. Artinya, dalam perdebatan, eksekutif dan legislatif harus mendasarkan pandangannya pada data dan disampaikan kepada rakyat.
“Dan sejauh ini, saya melihat, bupati sudah membangun diskursus publik berbasis data. Contohnya, ketika dia menjelaskan urgensi pemotongan dana tunjangan rumah dan transportasi anggota DPRD, argumentasinya bagus. Tapi, sayangnya, tanggapan DPRD atas hal itu hingga kini belum menunjukkan kualitas yang setara,” katanya.
Sehubungan dengan opini publik bahwa pertama, interpelasi diusulkan DPRD Sikka bukan atas dasar argumen, tetapi sentimen akibat rasa sakit hati, malu, dan tidak nyaman dengan kebijakan bupati yang mengganggu kepentingan mereka.
Kedua, tiga isu yang diangkat DPRD Sikka tidak penuhi kriteria interpelasi menurut Undang-Undang tentang MD3.
Pater Otto berpendapat, hal itu menegaskan dugaan masyarakat selama ini bahwa DPRD sedang memburu rente untuk jabatan berikutnya.
“Sebaiknya rakyat jeli dan kritis untuk menghukumnya dengan tidak memilih mereka lagi pada tanggal 17 April 2019 nanti. Bupati Sikka sudah pada jalur yang tepat saya kira,” katanya.
Akhirnya, Pater Otto menegaskan, interpelasi adalah hak DPR yang dijamin oleh konstitusi. Beliau berharap, dengan menggunakan hak interpelasi, DPRD Sikka dapat menjalankan fungsi kontrol secara lebih berkualitas.
Sementara itu, bupati telah menyatakan kepada publik, dia akan ladeni pertanyaan-pertanyaan anggota DPRD secara diskursif.
“Sebagai rakyat yang taat membayar pajak, saya berharap bahwa kedua lembaga ini sungguh berdebat secara demokratis untuk cari solusi memperbaiki kualitas hidup rakyat dan bukan mencari ringgit untuk kantong sendiri,” katanya.
Interpelasi Hal Biasa
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang, Dr. John Tuba Helan kepada Ekora NTT, Kamis (14/2) mengatakan, hak interpelasi adalah hak DPRD meminta keterangan mengenai kebijakan bupati yang penting dan strategis sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan.
Jika DPRD menganggap bahwa hal tersebut di atas merupakan kebijakan penting dan strategis, maka mereka bisa gunakan hak tersebut.
“Namun, terkait dengan penurunan uang transportasi dan sewa rumah menurut saya tidak tepat gunakan interpelasi karena standar biaya sudah ditentukan dengan peraturan pemerintah (PP) dan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan bupati (Perbup). Apalagi penurunan biaya tersebut tidak merugikan rakyat, bahkan menguntungkan,” katanya.
Dr. John mengatakan, jika DPRD menggunakan hak interpelasi, maka pemerintah mesti siap memberikan keterangan agar hubungan DPRD dan bupati tetap harmonis.
Menurutnya, hak interpelasi bukanlah sesuatu yang luar biasa, tetapi hal biasa dalam pemerintahan daerah untuk pengawasan.
Korupsi Kebijakan
Ketua Komunitas KAHE, sebuah komunitas kreatif anak-anak muda di Sikka yang bergerak di bidang sastra dan kesenian, Eka Putra Nggalu mengatakan, interpelasi hendaknya tidak menjadi pengadilan masal atas dasar motivasi ketidaknyamanan dan kecemasan masal DPRD Sikka atas beberapa kebijakan dan pernyataan bupati yang bersinggungan dengan sistem kerja lembaga legislatif yang dinilai kurang efisien secara anggaran.
Menurut Mahasiswa STFK Ledalero ini, kasus korupsi kebijakan dalam taraf tertentu lebih berbahaya dan berjangka panjang dari pada kasus korupsi uang.
Sebab, korupsi kebijakan menciptakan sistem ketidakadilan atau penghisapan selama kebijakan itu masih dijalankan.
“Saya tidak punya kapasitas untuk bilang sedang ada korupsi kebijakan yang hendak dibicarakan dalam pemanggilan bupati ini. Tapi, yang tercium memang itu. Semoga saja tanya jawabnya bisa berjalan transparan dan tetap menjaga rasionalitas,” pungkasnya.
Ergo (saya berpikir), interpelasi: argumen atau sentimen? Nalar publik akan menjadi hakimnya.