Maumere, Ekorantt.com – Minggu siang, 31 Maret 2019. Mario Gee, Ticha Solapung, Theresia Nay dan beberapa orang kawan mereka tampak sibuk bergerak-gerik di bibir Pantai Krokowolon, Kewapante, Maumere.
Gerak-gerik itu tak seperti yang dilakukan kebanyakan orang ketika melakukan pelesiran ke pantai.
Mereka rupanya sedang melakukan aktivitas olah tubuh dan membentuk pola tertentu yang tentu saja akan membikin bingung orang-orang yang lewat sepintas kilas di situ.
“Kami sedang latihan teater. Kebetulan kali ini kami ingin merefleksikan laut dan kawasan pesisir,” ujar Fian N., salah seorang anggota kelompok itu.
Ekora NTT memerhatikan mereka secara lebih saksama.
Tampak salah seorang yang mengenakan selempang di kepalanya berperan sebagai pengarah dalam membentuk kelompok tersebut.
Dia memberi perintah untuk melakukan beberapa ragam gerakan dengan sejumlah improvisasi.
Ada yang maju mundur, ada yang berteriak, ada juga yang melakukan tiruan bentuk tubuh yang khas dengan orang-orang di laut, pantai ataupun pelabuhan.
Sementara seorang lainnya yang badannya paling besar mengambil gambar dan membantu sang instruktur.
Kelompok tersebut bernama Studio Teater KAHE (STK), sebuah forum/ruang berbagi pengetahuan dan praktik penciptaan teater yang diinisiasi oleh Komunitas KAHE di Maumere.
Hari itu, mereka memang sedang melakukan latihan penciptaan teater dalam sebuah program yang diberi nama Workshop Improvisasi STK.
Ekora NTT kemudian menjumpai orang yang badannya paling besar tadi.
Namanya Dede Aton dan merupakan Ketua Komunitas KAHE itu sendiri.
Dia bilang, workshop tersebut telah berjalan selama dua hari dan kegiatan di Pantai Krokowolon tersebut merupakan momen terakhir sekaligus jadi presentasi pertunjukkan.
“Workshop ini fokus pada proses improvisasi. Para peserta melakukan improvisasi berdasarkan temuan-temuan selama observasi di kampung Wuring. Setelah improvisasi, para peserta dibagi ke dalam dua kelompok untuk berlatih menentukan kode-kode dan membuat komposisi singkat. Komposisi tersebut dipresentasikan dan ditonton oleh para peserta workshop yang lain,” ujar Dede.
Ia juga menjelaskan bahwa penciptaan medan kesenian itu merupakan bagian dari kegelisahan mereka terhadap kawasan pesisir Flores, terutama Maumere.
Kegelisahan itu tampak pada makin sesaknya lokasi pinggir pantai akibat pembangunan, entah dari pihak pemerintah maupun swasta, juga gejala rusaknya tatanan ekologis akibat ulah orang-perseorangan.
Makanya, STK mencoba untuk merespons itu lewat medan kesenian.
Lantas, yang datang untuk memberikan workshop adalah seniman dari Teater Garasi Yogyakarta bernama MN Qomarudin, sosok yang memakai ikat kepala tadi.
Selama tiga hari, MN Qomarudin memberikan materi-materi seputar dunia seni pertunjukan kepada para anggota STK.
Ketika Ekora NTT jumpai, dia katakan bahwa itu merupakan bagian dari metode pertunjukan sebagai salah satu model eksplorasi bagi para seniman muda.
“Metode ini hanya salah satu cara. Semuanya tergantung pada kenyamanan orang-orang yang bergiat,” demikian pungkas dia.
Menariknya, bagian dari metode itu melibatkan para peserta untuk turun langsung ke lapangan guna melakukan riset.
Dengan demikian, mereka bisa melihat lebih dekat serentak mengalami situasi yang terjadi.
Mereka, misalnya, datang ke kampung nelayan Wuring, pelabuhan Maumere juga di Pantai Krokowolon.
Hasil dari kegiatan ini akan dipentaskan oleh Studio Teater KAHE pada akhir Mei nanti.