Labuan Bajo, Ekorantt.com – Polemik penataan batas kawasan hutan Bowosie, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) belum menemukan titik terang. Reaksi penolakan warga masih bergulir. Pada 3 September 2021 lalu Bupati Mabar, Edistasius Endi mengirim surat kepada Menteri KLHK untuk meminta penjelasan terkait pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan RTK 108 Nggorang Bowosie.
Pada 16 September 2021, KLHK melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melalui surat bernomor S.722/PKTL/KUH/PLA.2/9/2021, memberikan surat jawaban.
KLHK menjelaskan bahwa pihaknya sudah melaksanakan inventarisasi dan verifikasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Kabupaten Mabar, tetapi tidak termasuk obyek IP4T di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo.
KLHK juga menyatakan sudah dilaksanakan inventarisasi dan verifikasi berdasarkan permohonan Bupati Manggarai Barat oleh Tim Inver PPTKH yang dibentuk berdasarkan keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur nomor: 6/KEP/HK/2018.
Tim ini diketuai Kepala Dinas LHK Provinsi NTT, Sekretaris adalah Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi NTT dengan anggota antara lain Kepala kantor pertanahan kabupaten Manggara Barat, Kepala BPKH wilayah XIV Kupang, Camat Komodo, dan Kepala Desa Gorontalo.
Lanjutkan Program IP4T
Menanggapi surat tersebut, warga Desa Gorontalo, Stef Herson mengaku keberatan atas penjelasan KLHK lantaran tidak menindaklanjuti program IP4T di desa itu. Mereka juga menolak program TORA. Sebab, program tersebut tidak pernah diketahui warga.
“Jadi kita tidak pernah mengusulkan TORA. Tetapi kita ada program IP4T kenapa ini tidak dilanjutkan,” ujar Herson saat ditemui Ekora NTT belum lama ini di Labuan Bajo.
Senada dengn Herson, Simon Sea menilai surat jawaban KLHK tidak memberikan informasi yang pasti. Pasalnya, beberapa point dalam surat itu tumpang tindih, bahkan membingungkan.
Misalnya terang Simon, dalam surat tersebut dinyatakan bahwa sudah ada usulan permohonan inventarisasi dan verifikasi oleh Bupati Manggarai Barat tetapi tidak termasuk obyek IP4T di Desa Gorontalo.
Namun lanjut dia, di point lain KLHK juga menyatakan sudah dilaksanakan inventarisasi dan verifikasi berdasarkan permohonan Bupati Manggarai Barat oleh Tim Inver PPTKH yang dibentuk berdasarkan keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur nomor: 6/KEP/HK/2018.
Dalam SK itu terang dia, Tim Inver PPTK diketuai Kepala Dinas LHK Provinsi NTT, Sekretaris adalah Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi NTT dengan anggota antara lain Kepala kantor pertanahan kabupaten Manggara Barat, Kepala BPKH wilayah XIV Kupang, Camat Komodo, dan Kepala Desa Gorontalo.
“Pertanyaan kami mengapa harus melibatkan Desa Gorontalo?. Bahkan program IP4T pernah dilaksanakan tahun 2015 tetapi sampai sekarang tidak di lanjutkan. Ini yang bagi kami informasi yang simpang siur. Tahun 2018 ada tetapi tidak lanjut,” ujarnya.
Simon berharap pemerintah harus memberikan jawaban dan informasi yang pasti kepada masyarakat dan melanjutkan program IP4T berdasarkan perpres nomor 88 tahun 2017.
“Sehingga tidak menimbulkan bom waktu di kemudian hari. Kami harap perlu ada penegasan dari pemerintah. Tidak boleh memberikan informasi yang abu-abu,” ucapnya.
Warga lainnya, Muhamad Rudi menjelaskan pada pasal 2 Perpres nomor 88 tahun 2017, presiden menegaskan bahwa pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan manfaatkan oleh sejumlah pihak.
“Pada pasal 6 para pihak itu bisa perorangan, instansi, badan sosial/keagamaan dan masyarakat hukum adat. Di sini jelas bahwa masyarakat sudah melakukan penguasaan lahan. Tetapi justru tidak diakomodir,” jelasnya.
Namun, Rudi menyayangkan perpres tersebut justru tidak dilanjutkan. KPH saat itu Mabar justru meminta masyarakat untuk mengusulkan program TORA.
“Kami saat itu bingung karena program itu sudah dilakukan tahun 2015. Kami bertanya kepada mereka apakah program itu tidak tumpang tindih. Mereka tidak jawab,” ujarnya.
Lantaran tak ada jawaban pasti, Rudi mengaku ia bersama beberapa warga berinsiatif untuk melakukan koordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi di Kupang. Saat itu, mereka meyerahkan berkas IP4T.
“Mereka saat itu menerima berkas IP4T dari kami. Dan sampai sekarang Dinas Kehutanan Provinsi NTT tidak memberi jawaban,” ujarnya.
Masuk BPOLBF
Di tegah ketidakpastian status lahan, Rudi mengaku Badan Pelaksana Otorita – Labuan Bajo Flores (BPOLBF) justru diisukan akan mengelola lahan tersebut seluas 400 hektare. Hal ini menimbulkan reaksi dan penolakan warga.
“Kami tidak setuju. Kenapa BPOLBF dengan mulusnya mengelola lahan itu. Sementara masyarakat yang sudah lama memanfaatkan lahan itu justru tidak diperhatikan,” ucapnya.
Ia menegaskan akan tetap mempertahankan lahan tersebut. Sebab, mereka sudah melewati proses panjang untuk memanfaatkan lahan tersebut.
“Kami menilai KLHK justru memanfaatkan perjuangan masyarakat untuk kepentingan BPOLBF. Maka kami minta Presiden Jokowi melalui instansi terkait segera memperjelas status keberadaan masyarakat Desa Gorontalo yang berada dalam kawasan hutan seluas 150 hektare,” pintanya.
Sandy Hayon