Oleh: Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A *
Latar Belakang: Budaya Lokal vs Hukum Universal
Tanggal 1 Oktober 1991 adalah hari pertama saya mengikuti kuliah Hukum Gereja Katolik pada Universitas Katolik Amerikadi Washington D.C, Amerika Serikat. Setelah berkenalan dengan teman kelas yang semuanya “orang barat”, salah satu teman, Rm. Kenedy, bertanya kepada saya, “John, apakah kamu tidak salah, datang belajar kami punya hukum Gereja di sini?
Saya terperangah dengan pertanyaan ini. Sebagai seorang imam yang berasal dari Flores yang memiliki tradisi kekatolikan yang kuat dan mengadopsi agama Katolik sebagai bagian dari identitas yang hakiki dan membanggakan, saya sempat shock dan mengalami semacam lost of orientation (hilang arah).
Dalam hati saya bertanya: Hukum Gereja mereka? Bukankah Gereja kita satu dan sama? Lantas jika itu hukum gereja mereka, bagaimana gereja kami jauh di Flores sana melihat hukum ini? Dengan gugup saya pun menjawab, “maybe” (mungkin).
Sejak itu, saya selalu terganggu dengan pertanyaan tersebut. Perlahan-lahan saya belajar, bahwa selain dasar biblis, adalah benar bahwa konteks dan pemikiran baratlah yang paling mendominasi tata aturan Gereja yang kemudian berlaku universal. Hal tersebut jelas pada aneka aturan dan tradisi, khususnya yang dirumuskan sebelum masa Konsili Vatikan II. Gugatan mengenai western centris masih menjadi perhatian scholars/para ahli dewasa ini.
Pertanyaan teman tadi hanya awal sebuah shock, sebab pada mata kuliah Sejarah Hukum Gereja, dosen saya Prof. Mc Manus justru melakukan kajian mengenai gerakan kepeloporan Mgr. Van Bekkum sebagai salah satu perintis pemikiran dan pelaku praksis inkulturasi dalam Gereja Katolik. Jauh datang dari pelosok Flores ke Amerika, saya kok belajar sesuatu dari kampung udik saya. Dosen tersebut kaget ketika mengetahui bahwa saya berasal dari Manggarai, dimana Mgr. Van Bekkum berkarya. Ia memuji sang uskup dan mengatakan ia belajar banyak dari Mgr. Van Bekkum.
Ia berpesan kepada saya untuk belajar dan membaca hukum Gereja (universal) dalam semangat hukum lokal Manggarai. Sejak itu, rasa bangga saya sebagai orang Manggarai bertumbuh menguat di negara super power itu. Itu pulalah titik awal yang membuka jalan bagi saya pada kajian akademis hukum agama Katolik dan budaya, bidang yang membawa saya sampai menjadi Guru Besar hari ini.
Menarik bahwa pengalaman saya pada awal studi Hukum Gereja Katolik yang menekankan keharusan perjumpaan dengan tradisi dan hukum lokal, tidak selalu dipahami baik oleh kalangan akademisi, praktisi maupun pemimpin agama.
Masih banyak pihak yang menganggap kebenaran dan pusat pengetahuan berkiblat pada pemikiran barat atau komunitas yang lebih maju. Dominasi dan superioritas Barat masih kerap dihidupi. Sentralisasi pengetahuan dan hukum masih sangat kuat sehingga small narations cenderung dimarginalkan.
Saya teringat akan pengalaman masa kecil saya. Tahun 1967 saya baru masuk Sekolah Dasar. Pada saat itu berlaku aturan bahwa bahasa resmi dan bahasa pengantar pembelajaran di sekolah adalah Bahasa Indonesia. Aturan ini sungguh menjadi masalah dan beban psikologis yang berat bagi saya yang datang dari lingkungan yang kuat berbahasa Manggarai.
Masih segar dalam ingatan saya, karena tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik, saya merasa tidak betah di sekolah. Bahkan perasaan demikian sangat kuat sehingga saya tidak mau dan tidak berani lagi datang ke sekolah seminggu lamanya. Di masa itu, anak yang tidak bisa berbahasa Indonesia dicap bodoh, udik, dan kampungan. Jadinya, saya semakin takut.
Syukurlah, teman-teman saya seperti Pak Willy A. Hangguman, dkk setiap hari datang mengajak saya untuk ke sekolah. Dengan cara yang sangat alamiah, Pak Willy, dkk menciptakan suasana dan lingkungan sekolah yang membuat saya mau dan berani datang ke sekolah. Andaikan waktu itu, teman-teman saya tidak menciptakan lingkungan yang kondusif di sekolah, maka hampir pasti peristiwa hari ini tidak akan terjadi.
Peristiwa masa kecil ini nampaknya bukan sekadar menjadi pengalaman saya saja, tetapi juga dirasakan banyak anak. Ada banyak stigma negatif dan tak berimbang terhadap sesuatu yang lokal.
Pengalaman saya sebenarnya mencerminkan politik dan kebijakan bahasa nasional yang dominatif dan sentralistik. Kebijakan ini dapat merugikan anak didik yang berasal dari lingkungan yang kental dengan bahasa daerahnya.
Saya mencatat beberapa teman SD saya yang mengalami drop out (DO) hanya karena mereka mengalami kesulitan untuk mengembangkan pola pikir sesuai struktur Bahasa Indonesia atau karena mereka memiliki pola pikir yang sangat kuat dipengaruhi struktur bahasa Manggarai. Sangat disayangkan.
Kritikan sentralisasi dan dominasi wacana negara yang meminggirkan kebudayaan lokal telah menjadi perhatian serius para ahli. Ada banyak kebijakan nasional, regional, dan bahkan mondial yang dapat menggerus dan meminggirkan kebudayaan lokal.
Saya sendiri, ketika kuliah Master/S2 dalam bidang Applied Languistic, menyoroti kebijakan bahasa nasional yang berpotensi menjadi language genocide terhadap bahasa daerah di Indonesia. Kita seharusnya sepakat bahwa budaya lokal dari komunitas kecil sekalipun, tidaklah boleh dipandang sebelah mata. Setiap usaha untuk menyingkirkannya tidak dibenarkan.
Sebaliknya, saya juga melihat aspek lain dari peristiwa sewaktu saya SD. Saya belajar dari pengalaman masa kecil itu, bahwa jika seseorang hanya mengenal budayanya sendiri dan hidup di ruang sempitnya tanpa perjumpaan dialektis dengan unsur lain (nasional, global, grand narration), ia juga akan menjadi katak di dalam tempurung. Jika saya tidak belajar Bahasa Indonesia dan tidak belajar Bahasa Inggris maupun pengetahuan lainnya, saya tidak akan seperti saat ini. Maka, dapatlah saya mengatakan bahwa lingkungan kultural yang memberi rasa nyaman bisa saja justru akan membatasi, menghambat, dan memenjarakan seseorang, sejauh dia tidak membuka diri bagi dunia, pemikiran, dan praktis yang lebih terbuka.
Bagi saya, pengalaman masa kecil ini menarik untuk dijadikan potret yang menggambarkan keterikatan yang berlebihan pada budaya atau adat tertentu, sampai terpenjara di dalamnya juga sama sekali tidak baik. Ia dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk maju ke dunia yang lebih luas di luar lingkungan budayanya.
Realitas ini membawa saya pada suatu argumentasi dasar bahwa berbagai hukum, pengetahuan, keyakinan, dan filosofi yang ada di kehidupan kita harus diperjumpakan secara kritis, dialektis, dialogis sekaligus mutualis satu sama lain demi membangun kehidupan yang lebih baik.
Tesis dasar inilah yang menjadi spirit pengembangan kajian akademis saya selama berkarir sebagai dosen hingga meraih gelar Guru Besar. Secara khusus, saya memberi perhatian pada tema perkawinan yang menjadi isu krusial dan problematis dalam perjumpaan antara hukum agama (Katolik), hukum adat (Manggarai) dan hukum negara (Indonesia). Bersambung…
*Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Religi dan Budaya, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Redaksi membagi tulisan ini dalam tiga bagian dan ini adalah bagian pertama.