Jurnalisme Praktis Mahasiswa dan Akademisi di Tengah Era Post Truth

Oleh: Eto Kwuta*

Saat ini logika zaman terus berubah. Di dalamnya, digitalisasi tumbuh subur dan menjadi ruang universal untuk mendapatkan banyak kemudahan melalui internet. Jika Anda terlambat, maka Anda disebut jauh ketinggalan dalam berdigitalisasi atau mengakses informasi yang matang, bernilai menghibur, dipercaya, dan akurat.

Tentu saja, persoalan digitalisasi akan membawa kita menemukan literasi sebagai masalah paling menonjol saat ini. Di sini, muncul literasi digitalisasi yang mengencangkan penggunaan teknologi digital sambil mengubah sebuah model bisnis. Pertanyaannya, model bisnis macam apa yang dimaksud?

Pasalnya, bisnis tersebut ternyata menyediakan pendapatan baru dan peluang-peluang nilai yang menghasilkan uang; sebuah proses perpindahan ke bisnis digital yang menyertakan hukum pers dan kode etik jurnalistik di dalamnya sehingga dari situ hadirlah para pegiat pers atau disebut wartawan.

Sebagai wartawan atau pelaku pers, kode etik jurnalistik harus dikuasai untuk menghindari penyampaian informasi yang berdampak pada apa yang dinamakan dengan gagasan-gagasan post truth (Hartono, 2018:73).

Dengan kata lain, sederhananya post truth adalah sesuatu yang seolah-olah tampak benar, meski tidak benar sama sekali. Atau, menurut perempuan pertama yang menjadi mantan Direktur Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, Rosarita Niken Widiastuti, era pasca-kebenaran (post-truth) merupakan situasi di mana fakta yang objektif kalah berpengaruh dibanding emosi atau keyakinan seseorang.

Lebih jauh, kita sebaiknya memandang wartawan bukan karena profesinya begitu istimewa di bidang jurnalistik, tetapi bagaimana seorang wartawan sama dengan profesi lainnya seperti mahasiswa dan akademisi.

Pada tataran ini, mahasiswa dan akademisi sebenarnya jauh lebih tajam dalam memperjuangkan perang melawan gagasan-gagasan post truth. Untuk itu, apa yang mau dibuat sebagai locus baru membendung gagasan-gagasan post truth ini di tengah arus digitalisasi?

Dari Acta Diurna yang Rutin

Bicara soal jurnalisme atau jurnalistik tidak terlepas dari informasi atau kabar berita. Informasi atau kabar adalah salah satu kebutuhan manusia universal di seluruh dunia.

Informasi sendiri membawa manusia memahami sesuatu dari yang belum tahu menjadi tahu. Dalam perspektif umum, penyebaran informasi atau kabar menjadi wilayah dari jurnalistik.

Jika kita menengok sejarah, bicara jurnalistik atau penyebaran informasi tidak terlepas dari acta diurna pada masa Julius Caesar (100-44 SM). Pada masa Romawi Kuno Caesar sering memerintahkan awak istana mencari perkembangan informasi di luar istana (Herman, 23:2018).

Ketika sudah memeroleh informasi, maka diadakan rapat istana. Dari hasil rapat itu, isi pembicaraan dipindahkan ke dalam bentuk pengumuman dan dibawa awak istana sembari berkeliling dari kampung ke kampung untuk membaca pengumuman tersebut.

Dari sinilah, acra diurna lahir hingga dalam perjalanan dari masa ke masa dikenal dengan produk jurnalistik pertama dalam dunia pers atau juga dikenal sebagai media masa dengan kabar harian pertama dalam sejarah.

Awal revolusi industri, Rene Decartes, filsuf hebat ini mulai memperkenalkan filsafat ilmu dengan metode kesangsian, maka jurnalistik pun mulai dikenal sebagai ilmu baru di ranah sosial pada masa itu. Muncul nama-nama lain juga seperti Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel Swiss yang memperkenalkan cabang ilmu persuratkabaran, Zeitungkunde, tahun 1884.

Jurnalistik sebagai ilmu pun terus berkembang hingga abad ke-20 kepakaran atau profesi menjadi semakin menonjol. Jadi, ilmu dan teori jurnalisme tadi pun berkembang mengikuti zaman dan kemajuan IPTEK, kode etik dilahirkan, teknik pemberitaan diperluas.

Solusi Membendung Post Truth

Hemat penulis, hal terpenting hari ini adalah menjawab pertanyaan apa yang mau dibuat sebagai locus baru membendung gagasan-gagasan post truth dewasa ini di tengah arus digitalisasi yang tak bisa dihentikan.

Pertama, menghadapi era post truth dengan menelurkan tulisan-tulisan membendung fenomena sosial, budaya, politik, dan lainnya yang pincang. Di sini, peran mahasiswa dan akademisi harus mengedepankan riset dengan data-data kuat dalam tulisan yang dihasilkan. Mahasiswa sebagai penggerak perlu menulis di koran cetak atau media online yang bisa diakses oleh publik menjadi bacaan yang berguna.

Kedua, sebagai mahasiswa dan akademisi, usaha untuk menolak post truth sebaiknya dimulai dari kampus. Dalam komunitas kampus di mana saja, perlu dibentuk ruang diskusi yang memadai dan membuat majalah internal yang bermutu dan berkualitas. Di sisi lain, ada banyak peluang untuk meneruskan hasil disuksi ke berbagai media lokal maupun nasional.

Ketiga, menjadi mahasiswa dan akademisi berarti menjadi pelaku digital yang ketat. Di sini, mahasiswa bisa bekerja sama dengan dosen untuk membangun jurnal berbasis kampus yang secara khusus meneliti seputar kebohongan-kebohongan yang tersebar di tengah masyarakat. Dalam komposisi sebagai mahasiswa dan akademisi, kerja ini membutuhkan Kelompok Menulis Koran atau kelompok-kelompok lain yang bisa berspekulasi dengan arus digitalisasi yang terus berjalan maju.

Keempat, menelurkan karya berupa buku dan berbagai kerja media yang bisa membangun ekonomi kreatif dan kemandirian di tengah kampus atau lembaga pendidikan lainnya. Dalam proses menelurkan karya, mahasiswa bisa bekerja sama dengan para jurnalis atau wartawan juga media lokal di mana mereka bekerja dan bisa dipercayai untuk memberikan pemahaman jurnalistik yang memadai.

Dengan begitu, jurnalistik praktis tidak hanya menjadi konsumsi para jurnalis atau wartawan, tetapi bisa menjadi ruang kerja para mahasiswa dan akademisi di tingkat kampus. Barangkali, tidak hanya sebagai pewarta di tingkat kampus, melainkan sebagai musuh melawan post truth yang semakin hari menjadi racun di kalangan milenial dewasa ini.

*Penulis adalah editor di Surat Kabar Ekora NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA