Ende, Ekorantt.com – Siang itu terik matahari sedikit redup tak menyengat. Beberapa anak kecil tampak menenteng karung di tangan berisikan ubi Nuabosi.
Ubi-ubi itu baru dipanen orangtua mereka yang pada saat bersamaan hendak pulang ke kampung di Plei, Dusun Potu, Desa Ndetundora 1.
Mereka adalah orang-orang Nuabosi. Dan ubi Nuabosi, kita tahu, merupakan ikon makanan khas Kabupaten Ende juga NTT.
Namun, yang menarik dari ubi Nuabosi adalah ” Uwi Terigu”, salah satu varietas ubi yang jika dimakan rasanya lezat dan lembut, bahkan melebihi roti.
Kepada Ekora NTT, Sabtu ( 29/6/2019), Ardian Rengga, salah seorang petani, bercerita banyak hal perkara pahit getir ataupun susah senangnya berkebun ubi.
Menurut Ardian, beberapa petani kian resah karena banyak rekan-rekannya yang beralih dari mengelolah lahan ubi ke tanaman perdagangan, seperti cengkih dan kakao.
Sementara itu, Amandus Titus, petani lainnya, mengatakan bahwa usia tanam yang lama serta pengendalian harga di pasaran juga menjadi faktor penting pelestarian ubi Nuabosi.
“Kami baru bisa panen kalau sudah 1 tahun, Pak. Paling cepat 10 bulan,” ungkap Amandus.
Namun, yang menarik dari bincang-bincang bersama para petani tadi ialah celetukan anak Amandus yang bernama Gey. “Bapak, jaga kebun ubi kita!” seru dia. Rupanya Gey mendengar percakapan sedari tadi.
Tentu saja naluri anak petani desa ini sepertinya mengisyaratkan berbagai pihak, termasuk Pemda Ende melalui Dinas Pertanian dan Disperindag untuk berintegrasi menjaga agar kepunahan ubi Nuabosi tidak terjadi.
Sementara itu, pemerhati sosial Kabupaten Ende, Sipri Reda, yang ditemui Ekora NTT di kediamannya, menyatakan prihatin atas kelangkaan ubi Nuabosi dan mengharapkan respons serius dari pemerintah, terutama dalam mendorong petani di Ndetundora-Nuabosi untuk terus menanam ubi.
“Yang penting itu menjaga mutu di pasar. Kita harap pemerintah mencari strategi pemasaran agar perilaku oknum yang mencampur ubi nuabosi dengan ubi varietas lain untuk dijual tidak terjadi lagi,” pendapatnya.
Kita banyak dengar keluhan pembeli kalau di pasar ada campur dengan ubi lain dan ini sangat merugikan. Itu mestinya dipantau dan cara pandang pedagang juga harus diberi pencerahan, demikian tambahnya.
Sipri Reda juga berharap Dinas PMD Kabupaten Ende mendorong pemerintah desa untuk mengambil alih sistem pemasaran Ubi Nuabosi melalui Badan Usaha Milik Desa/ BUMDES agar mampu mengontrol penjualan dan produksi sehingga petani tidak dirugikan.
Pantauan Ekora NTT sendiri di Pasar Mbongawani Ende, ubi Nuabosi yang dijual secara eceran per ikat dengan isi 8-10 buah dibanderol dengan harga 40 ribu rupiah. Sementara ubi jenis lain, harganya sekitar 20 ribu rupiah per ikat.