Prapaskah, Moral, dan Tobat

Oleh: Eto Kwuta*

Umat Kristen dan Katolik sudah memasuki masa Prapaskah pada Rabu Abu, 22 Februari 2023. Sadar atau tidak, kapitalisme masih mendominasi momen menyongsong Hari Raya Paskah dan hari raya keagamaan lainnya.

Di sekeliling, ada penjajahan ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat miskin otomatis terpenjara dan terjebak dalam kondisi kemiskinan struktural.

Ini pemandangan klasik. Di sejumlah daerah, masyarakat mempertaruhkan hidup dan mati untuk mendapatkan sepiring nasi dan segelas air. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan tidaklah cukup untuk mengubah eksistensi mereka sebagai citra Allah.

Lihatlah juga banyak orang yang berjuang mencari rezeki dengan berbagai cara; menjadi pekerja di tanah rantau, menjadi buruh pelabuhan, bekerja pada sektor-sektor tambang, bahkan ada yang memilih menjadi pengemis dan pemulung yang setia berkeliling di sepanjang jalan-jalan kota.

Ada peristiwa besar-kecil yang sama buruknya diderita oleh kebanyakan masyarakat kita. Contoh, harga beras tiba-tiba naik. Badan Pusat Statistik mencatat 147 kabupaten atau kota di Indonesia harus mengalami kenaikan harga beras pada minggu ketiga Februari 2023. Beberapa kabupaten yang mengalami kenaikan harga beras adalah Kabupaten Malinau Kalimantan Utara (Kaltara), Ende (NTT), Sumba Tengah (NTT), Probolinggo (Jatim), Malinau (Kaltara), Lombok Timur (NTB). Hal ini ditegaskan Deputi Bidang Statistik Produksi BPS RI, M Habibullah (Bdk. Tempo, 22 Februari 2023).

Realita ini menunjukkan bahwa negara masih menyembunyikan fakta dengan topeng hitam bertuliskan “mari kita memerangi kemiskinan untuk menjemput kesejahteraan”.

Di lain sisi, rakyat berhadapan dengan neokolonialisme yang sudah lama berakar di Indonesia. Dia bukan mengancam saja, melainkan menghancurkan, menindas, menguras habis seluruh kekayaan bumi.

Di sana ada utang. Di sini ada untung. Maklumlah, kuasa kapitalis masih menguasai semua sektor. Tidak sedikit di antara umat beriman yang memilih kembali ke akarnya dan menjalankan kualitas hidup yang biasa-biasa saja.

Padahal, Prapaskah sejatinya merupakan momentum berahmat untuk meluruskan jalan yang masih bengkok dan memulihkan kembali problem kemanusiaan akut serta nilai-nilai bersama yang terabaikan.

Pada masa ini juga kehidupan masyarakat masih diwarnai pertarungan kemanusiaan untuk bisa kembali menjadi manusia yang bermartabat setelah sekian lama berada dalam lingkaran kemerosotan nilai yang mengasingkan kemanusiaannya sendiri.

Kerinduan masyarakat miskin terhadap suatu kebijakan fiskal yang sebenarnya mendukung pembangunan diserong ke arah yang koruptif. Di situ, masyarakat yang sebenarnya menginginkan lebih dan menjadi lebih sebagai ukuran keadilan tidak mendapat tempat karena ada orang yang memanipulasi.

Jeritan dan suara rakyat miskin untuk keluar dari padang gurun pemerasan dan penindasan hanyalah suara lolongan anjing di waktu malam. Masyarakat miskin, baik yang terpelajar maupun yang kurang terpelajar merasa cemas, takut dan ragu menjalankan Prapaskah yang sarat dinamika kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hemat penulis, jika kejahatan terhadap kemanusiaan seperti korupsi dan tambang masih meliliti kemanusiaan masyarakat miskin dan dianggap biasa dalam kehidupan berbangsa akhir-akhir ini, pertarungan kemanusiaan oleh masyarakat menjadi warna khas Prapaskah dan Paskah nanti.

Masyarakat bertarung melawan para pemimpin dan elite politk yang salah menggunakan uang milik negara, menolak adanya tambang yang sarat akan kerusakan lingkungan dan menolak semua bentuk penyelewengan yang terjadi.

Karl Marx mengatakan bahwa sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang bebas dan budak, bangsawan dan rakyat biasa, tuan dan hamba, pemimpin perusahaan dan buruh atau penindas dan yang ditindas, mereka selalu bertentangan satu sama lain.

Pertarungan berlangsung secara terus-menerus baik secara terbuka maupun tersembunyi. Demikianlah yang terjadi dengan bangsa Indonesia, negara berkoalisi secara sembunyi untuk “membunuh” rakyat dengan aneka kekerasan struktural. Rakyat yang seyogianya merupakan pemegang kedaulatan tertinggi, berperan sebagai “penderita”. Di mana letak kedaulatan rakyat?

Demikianlah, di balik gemuruh pertarungan kemanusiaan demi memerangi segala bentuk penindasan, sebenarnya semua persoalan miris di negeri ini harus menggugat pemerintah bahwa realitas penjajahan ekonomi, sosial dan politik bukanlah  hal “biasa”, tetapi “luar biasa” untuk  disikapi.

Ini bagian dari kerja sama untuk meredam pertarungan kemanusiaan masyarakat. Jika realitas pertarungan ini tidak disadari oleh pemerintah, maka pemerintah menerima gerakan mobokrasi masyarakat kita yang terkadang berubah dan menjadi bodoh, mudah diprovokasi, tidak sadar dan sok pahlawan.

Pemulihan Moral

Oleh karena itu, Prapaskah seharusnya membuka mata semua orang untuk melihat perubahan. Pemimpin harus mengevaluasi semua janji-janji politik ketika mengadakan kampanye di hadapan masyarakat banyak. Apalagi saat ini, masyarakat Indonesia sedang bergerak menujuk 2024, pesta demokrasi besar yang ditunggu-tunggu.

Masyarakat merindukan pemerintahan adil, bersih, terbuka, jujur dan demokratis dan menginginkan pemimpin yang merangkul dari bawah.

Hemat saya, janji politik yang manis saat kampanye itu belum sepenuhnya direalisasikan dan menjamin adanya perubahan. Terbukti, kita masih disuguhi berita korupsi yang semakin merajalela, adanya pro-kontra tambang, infrastruktur yang tidak seimbang dengan mutu SDM, dan sebagainya. Tentu saja semuanya berakibat pada penderitaan rakyat.

Kita boleh menebak dan membayangkan penyebab mengapa Indonesia menjadi negara yang begitu rakus melakukan penyimpangan dalam banyak hal. Perang melawan korupsi bagai perang melawan geng kriminal yang terorganisir. Industri pertambangan yang selalu berdampak pada kerusakan lingkungan diterima begitu saja oleh pemerintah tanpa ada sosialisasi. Ini parah, kan?

Dalam setting penyimpangan itu, masyarakat menilai bahwa para pemimpin dan elite politik harus menjalankan pemulihan moral. Tujuannya, untuk mengubah kualitas hidup. Pemulihan moral menggambarkan sebuah dinamika perubahan moral, sosial, politik, dan kemanusiaan secara berkelanjutan di mana pemimpin dan elite politik dapat mengubah keterpurukan masyarakat dengan merealisasikan janji politik secara tegas, jelas dan pasti.

Pemulihan moral ini, jika diaplikasikan secara benar, dapat menjadi bukti bahwa pemerintah memiliki “perasaan tanggung jawab” (sense of responsibility) untuk mewujudkan terbentuknnya masyarakat yang adil, damai dan sejahtera.

Momentum Pertobatan

Seyogianya pemimpin dan elite politik kita dapat menjadikan Prapaskah sebagai momentum berahmat untuk membenah diri dan mengubah pemerintahan ke arah yang lebih bersih dan adil.

Selama ini, pemerintah belum mampu memisahkan dengan tegas antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum (bangsa, negara dan masyarakat). Inilah kenyataan di balik suburnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam masyarakat kita sekarang, sebenarnya kunci perubahan tatanan birokrasi yang jujur itu berada di tangan pemerintah sendiri. Perlu disadari bahwa rakyat menjadi miskin bukan karena kesalahan rakyat sendiri, melainkan lebih karena struktur kebijakan ekonomi dan politik yang sering kali menguntungkan pemerintah sendiri.

Konsekuensinya, rakyat selalu menjadi obyek yang diklaim sebagai pembangkang terhadap setiap kebijakan nagara dan represi negara pun muncul untuk menghapus pertarungan rakyat. Oleh karena itu, spirit perubahan Prapaskah harus benar-benar mengubah kondisi rakyat miskin ke arah kesejahteraan bersama. Cukup dengan mewujudnyatakan janji politik saat melakukan kampanye besar-besaran di hadapan masyarakat banyak.

Pengalaman selama ini, rakyat di negeri ini (secara khusus NTT) sudah dimanipulasi dan mereka hanya mengeluh dan takut bersuara dengan lantang. Rakyat terlalu bersabar dan menikmati keterpurukan dalam kerja keras mereka.

Maka, melalui momentum Prapaskah ini, semoga pemimpin dan elite politik kita mampu berbenah diri dan pintar membaca keterpurukan rakyat yang sudah sekian lama tumbuh subur di Indonesia.

Semoga Prapaskah kali ini menjadi awal perubahan ke arah yang lebih baik. Selamat menyongsong Paskah!*

*Editor di Surat Kabar Ekora NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA