Ruteng, Ekorantt.com – Peluh lelah Harifin (38) dalam merawat Bawang Merah perlahan terhapus senyum.
Wajah cerianya enggan bersembunyi lagi. Ia gembira karena tidak lama lagi petani asal Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, itu bakal memanen Bawang Merah.
Rimbunan daun Bawang Merah yang menghijau di atas hamparan lahan miliknya seolah menawarkan balasan setimpal atas kerja kerasnya selama satu musim tanam belakangan ini.
Apalagi Bawang Merah tampak “riuh” dan tumbuh begitu apik memenuhi petak sawahnya. Hatinya pun berbunga-bunga. Dalam benaknya, pundi-pundi rupiah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Saya senang sekali. Apalagi saat sekarang musim panen tiba,” kata pria yang biasa dipanggil Haris itu ketika berbincang dengan Ekora NTT, Sabtu, 16 September 2023.
Saban hari, Haris menghabiskan waktu di lahan miliknya seluas setengah hektare. Dia terus memastikan Bawang Merah yang ditanamnya bertumbuh subur dan bebas dari serangan hama.
Saat bertani memang bukan perkara mudah bagi Haris. Tak hanya soal hama, tetapi ketika berhadapan dengan sinar mentari yang terus menyengat kulit. Ditambah lagi cuaca Kecamatan Reo yang panas, tentu melengkapi cerita kesulitan menjadi petani di wilayah itu.
Itu sebabnya pada waktu tertentu, ia harus berteduh di bawah pondok berukuran dua kali satu meter sembari meneguk kopi yang telah disediakan istrinya, Hikmah.
Haris sendiri menggeluti dunia pertanian sejak Sekolah Dasar (SD). Baginya, bertani merupakan pekerjaan yang mulia dan bermartabat, karena langsung bersentuhan dengan tanah.
Pria kelahiran 1986 ini percaya bahwa dengan menyentuh tanah ketika menjalani profesi ini, sesungguhnya ia sedang merawat hidup banyak orang dan yang paling penting adalah merawat bumi.
“Saya bertani sejak SD. Dan, saya belajar banyak dari Bapak saya,” jelas Haris.
Haris bilang, masa budi daya Bawang Merah sangatlah cepat. Dalam setahun ia menanamnya sebanyak dua kali dengan usia bawang yang hanya butuh waktu 70 hari.
“Tidak lama, kami langsung panen,” akunya.
Sekali panen, kata ayah dari tiga anak itu, dirinya bisa mendapatkan Rp60 juta jika menjualnya dengan harga Rp15 ribu per kilogram. Artinya, jika dua kali panen dalam setahun, Haris meraup keuntungan sebesar ratusan juta rupiah.
Namun, keadaan sekarang justru berbeda dengan sebelumnya. Harga sekarang mencekik para petani bawang karena hanya dibeli Rp10 ribu per kilogram.
“Ya, begitulah sekarang. Sementara bibit ini penangkar dari Dinas Pertanian. Kemarin saya menanam 900 kilogram,” sebutnya.
Setiap usaha tentu saja ada tantangan, tak terkecuali Haris. Ia mengaku cemas jika hujan yang berkepanjangan, karena bisa menyebabkan biji bawang busuk.
Beruntungnya, beberapa bulan terakhir musim hujan tak tiba. Namun, Haris berpikir bahwa tanamannya juga membutuhkan air meskipun tidak menyiramnya secara terus-menerus.
“Saya sudah siapkan air bor untuk siram kalau musim kering,” ucapnya.
“Siramnya hanya tiga kali sehari,” sambung Haris.
Walaupun keuntungannya cukup besar, ia juga mengeluarkan banyak biaya untuk perawatan tanaman dengan perkiraan mencapai Rp10 juta.
Jumlah tersebut, ujar dia, untuk membiayai pekerja harian dan bahan bakar mesin penggarap.
“Ya, harian orang untuk cabut rumput. Kalau pupuk saya sendiri yang siram,” pungkasnya.