Maumere, Ekorantt.com – Minggu 3 November 2024 sekitar pukul 23.00 Wita. Sebagian warga Desa Klatanto di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Pulau Flores sudah lelap dalam tidur.
Petrus Muda, di rumahnya, merasa haus membuat kerongkongan kering. Ia mengambil segelas air putih melegakan kerongkongan.
Guntur dan kilat sambar menyambar. Petrus tak lekas kembali ke tempat tidur. Dia mengambil sebatang rokok putih membakar dan mengisapnya.
Rokok belum habis diisapnya, dentuman besar menimpa kamar mandi dan WC.
Sebongkah batu besar meluncur dari Gunung Lewotobi Laki-laki memorak-porandakan kamar mandi dan WC hingga rata dengan tanah.
Suara terjangan batu itu membangunkan istri dan anak-anak Petrus. Mereka hendak lari keluar dari kamar tidur. Petrus mencegah mereka tak boleh keluar.
“Itu (letusan) kejadian mungkin kurang 3 menit jam 12 (24.00 Wita),” kisah Petrus Muda tentang letusan Gunung Lewotobi Laki-laki, dihubungi Ekora NTT pada Selasa pagi, 5 November 2024.
Tak berselang lama, terjangan batu yang menerpa kamar mandi, meluncur batu kedua menerjang bangunan dapur.
“Batuan pijar. Saya lihat ke dapur menyala. Terus saya, istri dan anak, kami lari ke arah jalan aspal (Jalan Trans Flores, Maumere ke Larantuka) depan eks pabrik kopi. Saya teriak membangunkan orang-orang yang bisa dengar suara saya,” kata Petrus.
Situasi malam itu sangat mencekam. Kocar-kacir. Semua orang panik berlari menyelamatkan diri. Mereka menjauh mencari lokasi yang nyaman.
Petrus Muda minta tolong kepada Benya Kobun, warga setempat yang memiliki mobil supaya mengangkut warga menuju ke Boru.
Seorang anak muda (korban meninggal), Yohanes Witin lari ke luar rumah. Kakinya terkena pijaran batu sangat panas membuatnya tak berdaya.
Petrus Muda mengaku dirinya juga kebanyakan warga tak membayangkan atau tahu ada tanda-tanda alam akan datang letusan besar Gunung Lewotobi pada Minggu malam atau Senin dini hari.
Hanya guntur dan kilat terjadi silih berganti. Mungkin pada saat itulah terjadi letusan di gunung bersamaan hujan, guntur, dan kilat.
Desa Klatanlo, terdekat jaraknya sekitar 5 kilometer dari Gunung Lewotobi Laki-laki, paling besar terdampak letusan. Sebagian bangunan rumah warga rusak dan terbakar.
Total sembilan orang warga desa itu meninggal dunia. Satu rumah setengah tembok dihuni enam orang terdiri ayah, ibu, anak, anak mantu, dan cucu, ditimpa batu pijar dari gunung.
Batu pijar itu meledak mendorong rumah induk, sehingga sebagian korban tertimbun rumah dan batu dari gunung. Kejadian serupa menimpa Biara SSpS. Batu pijar jatuh menerjang bangunan tepat pada kamar tidur biarawati.
Sampai malam kedua pasca-musibah Minggu malam itu, 1.300-an jiwa dari 287 kepala keluarga asal Desa Klatanlo berada di pengungsian. Mereka tersebar di Boru, Bokang, Konga, Lewolaga dan sebagian ke Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur.
Pada siang hari, sebagian warga datang ke kampung melihat keadaan rumah mereka dan pada malam hari tidur di lokasi penampungan pengungsi.
Selain Desa Klatanlo, lima desa lain di Kecamatan Wulanggitang juga turut terdampak letusan yakni Pululera, Nawakote, Hokeng Jaya, Boru, dan Desa Boru Kedang. Sedangkan di Kecamatan Ile Bura terdampak pada Desa Dulipali, Nobo, Nurabelen dan Desa Riang Rita.
Penulis: Eginius Moa