Pemerintah Diminta Serius Tangani Persoalan Petani dan Nelayan Perempuan NTT

Direktur Aksi, Risma Umar mengaku prihatin atas situasi yang dihadapi perempuan petani dan nelayan NTT.

Kupang, Ekorantt.com – Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) dan Aliansi Kemanusian Indonesia (Aksi) mengadakan dialog multipihak di Sahid Hotel Timor Kupang, Rabu, 20 November 2024.

Dialog ini membahas perlindungan dan pengakuan hak dan akses perempuan untuk mengakhiri ketimpangan ekonomi dan gender di NTT.

Kegiatan menghadirkan pemerintah sebagai narasumber. Mereka antara lain; utusan DP3A, DLHK, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.

Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang mengatakan, pihaknya menuntut agar pemerintah melalui dinas terkait untuk dapat melihat persoalan yang dihadapi oleh petani dan nelayan perempuan NTT, sebagai persoalan struktural yang sifatnya sistemik.

“Karena persoalan yang ada juga merupakan imbas dari kebijakan yang tidak mewakili kepentingan perempuan di NTT,” kata Umbu.

Beragam Persoalan

Ia menilai, kebijakan pembangunan di Provinsi NTT yang digagas pemerintah belum berpihak kaum perempuan di NTT. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pembangunan yang digagas pemerintah mengancam kehidupan nelayan perempuan, petani perempuan dan penyintas pekerja migran di NTT.

Seperti kebijakan mengizinkan pembangunan PLTU Batu Bara di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Kebijakan tersebut merusak ekosistem laut dan menurunkan produktivitas rumput laut yang merupakan pekerjaan utama mereka.

Perempuan nelayan pesisir Pasir Panjang, Yasinta Adu juga menyampaikan keresahannya terkait penurunan hasil tangkapan nelayan menurun karena alat tangkap seperti perahu, serta pukat rusak akibat badai Seroja tahun 2021 lalu.

Selain itu, kebijakan pembangunan perhotelan mewah menambah masalah karena mereka tidak lagi dapat berjualan di daerah pesisir dan menutup akses perempuan terhadap wilayah pesisir.

Hal yang sama juga disampaikan Isna, nelayan perempuan asal Kota Kupang ini kebijakan pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan nelayan.

“Kami tidak butuh tanggul dan joging track terapi butuh pembatas untuk memastikan perahu kami aman pada saat badai,” ujarnya.

Penyintas pekerja migran, Mariance Kabu bercerita banyak hal terkait masalah dan kerentanan-kerentanan yang kerap dihadapi oleh perempuan ketika menjadi pekerja migran.

Mariance berharap apa dialami oleh pekerja migran tidak berulang mengingat tidak sedikit perempuan di NTT yang akhirnya memilih untuk menjadi pekerja migran karena minimnya pilihan serta peluang untuk bertahan hidup di tanah kelahiran.

Selain nelayan, petani yang terancam akibat pembangunan bendungan Kolhua dan masyarakat TDM korban Seroja yang direlokasi. Mereka mengalami kesulitan ekonomi. Sebab, mereka hanya diberikan akses tempat tinggal yang justru menjauhkan mereka dari lapangan kerja.

Direktur Aksi, Risma Umar mengaku prihatin atas situasi yang dihadapi perempuan petani dan nelayan NTT.

Menurut Risma, situasi ini bukan semata-mata masalah yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri, melainkan sebuah bentuk pemiskinan secara struktural akibat lemahnya sistem tata kekuasaan, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi sehingga menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi dan gender di NTT.

Dengan adanya dialog multipihak ini, kata dia, masyarakat dapat menilai keseriusan pemerintah melalui dinas terkait dalam melihat ketimpangan ekonomi dan gender yang dihadapi oleh perempuan petani dan nelayan di NTT.

Respons Pemerintah

Dalam dialog, kata Umbu, pemerintah menyebut kemiskinan yang dialami oleh perempuan NTT dikarenakan kelalaian masyarakat khususnya petani dan nelayan.

Selain itu masalah yang dihadapi  petani dan nelayan perempuan NTT disebabkan oleh budaya patriarki yang masih sangat mengekang. Budaya ini menempatkan perempuan pada posisi ke dua dalam masyarakat.

Risma juga merespons jawaban dari dinas terkait yang cenderung menyalahkan masyarakat dalam problem ketimpangan ekonomi dan gender di NTT.

Menurut dia, ini adalah bukti bahwa pemerintah belum begitu mampu melihat persoalan yang ada secara mendalam.

“Karena pada dasarnya pemerintah punya tanggung jawab penuh atas ketimpangan ekonomi dan gender, sebab rakyat menitipkan kedaulatannya kepada pemerintah untuk dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat,” ucapnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA