Sebungkus Sarapan Pagi Fransiska

Fransiska dan keluarga tidak repot selalu ke pasar yang jauh untuk membeli kebutuhan dapur. Semuanya ada di kebun

Waibakul, Ekorantt.com – Hari masih teramat lengang. Sisa-sisa gelap masih membekas ketika Fransiska Koni Loda (14) dan kakaknya Virgolia Ladu Bana (17) membelah pagi, menggugurkan embun pada pucuk rumput dengan kaki telanjangnya.

Sepatu hitamnya dicantol pada jari telunjuk dan jari tengah, ditenteng sepanjang jalan agar selamat dari basah embun jalanan. Ujung rok birunya basah oleh karena menabrak ilalang yang menjuntai di jalannya. Mereka menuruni bukit kapur dengan lincah. Berdua saja.

Rumahnya di bukit. Sendiri. Tidak bertetangga. Rumah tetangganya berjejer di bawah bukit. Fransiska dan kakaknya menjadi dua makhluk yang setia membelah jalanan bukit, dengan lincah menjejakkan kaki pada batu yang tepat agar tidak tergelincir jika salah memijak pada batu kapur yang licin.

Nanti di bawah bukit mereka bergabung bersama rombongan anak sekolah lainnya. Berjalan kaki menyusuri jalan sempit di antara ilalang. Di pinggir jalan yang beraspal, Fransiska dan teman-temannya berjejer memakai kaos kaki dan sepatunya. Setiap hari.

“Rumah di Pogu Laba, ibu guru. Dekat saja dari sini,” katanya ketika ditanya alamatnya.

Ibu guru tercengang. Bagaimana bisa, bukit yang berada di balik bukit lainnya itu tidak jauh bagi Fransiska? Jika dalam kilometer, kemungkinan 1 kilometer jarak dari rumahnya ke bawah bukit dan 6 kilometer jarak dari bawah bukit ke sekolah.

Namun, Fransiska tidak pernah terlambat tiba di sekolah, sejak ia duduk di kelas VII, hingga kini menjadi siswa kelas IX.

Kegiatan belajar di SMP Negeri 1 Umbu Ratu Nggay Barat di mana Fransiska menempuh pendidikan dimulai pukul 07.30 Wita. Fransiska sudah tiba sebelum itu.

Ia meneguk air putih dari botol minum kecil bertulis my bottle. Sambil beristirahat sejenak, mengeringkan keringat di tubuhnya, Fransiska memeriksa bunga yang ditanamnya di taman kecil di depan kelas.

Setiap siswa harus membawa dan memelihara sendiri bunganya. Hal ini merupakan salah satu penerapan Gerakan Sekolah Sehat, terkait Sehat Lingkungan.

Sekolah di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur ini adalah salah satu sekolah yang menjadi binaan Gerakan Sekolah Sehat Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi NTT.

Gerakan Sekolah Sehat merupakan segala upaya yang dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus oleh semua pihak, mulai dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah, para mitra, satuan pendidikan, masyarakat pemangku kepentingan lainnya tentang pentingnya penerapan Sekolah Sehat dengan berfokus pada sehat bergizi, sehat fisik, sehat imunisasi, sehat jiwa dan sehat lingkungan di satuan pendidikan.

SMP Negeri 1 Umbu Ratu Nggay Barat terletak di utara Waibakul, Ibu Kota Kabupaten Sumba Tengah. Sekitar 15 kilometer dari pusat kota, di Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Desa Matawai Kajawi.

Sekolah ini menjadi sekolah terdekat bagi anak-anak yang berdomisili pada jarak yang cukup jauh dari sekolah. Termasuk Fransiska. Jarak rumah mereka bervariasi, dari 2 kilometer hingga 7 kilometer dari sekolah. Jarak tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersekolah.

Sebagian besar orang tua murid berprofesi sebagai petani dan peternak. Orangtua Fransiska bekerja sebagai petani kebun dan beternak kambing. Ayahnya menggarap kebun, menanaminya dengan jagung, ubi-ubian, dan sayur mayur.

“Kami punya kambing belasan ekor, Ibu Guru. Kalau naik kelas, kami jual kambing untuk beli sepatu baru kalau sepatu sudah rusak,” kata dia bercerita.

Fransiska dan keluarga tidak repot selalu ke pasar yang jauh untuk membeli kebutuhan dapur. Semuanya ada di kebun.

Orang tua dengan profesi petani mengutamakan ketersediaan makanan pokok seperti beras, jagung, ubi-ubian, dan sayuran. Sesekali membeli ikan, dan jika sudah saatnya memanen kacang hijau, mereka dapat mengonsumsi kolak. Susu adalah minuman yang jarang sekali disediakan orang tua untuk anak.

Setelah mendapat sosialisasi Gerakan Sekolah Sehat yang disampaikan kepada anak dan orang tua murid, Fransiska dan beberapa temannya mendatangi Ibu Guru.

Mereka ingin membeli botol minum untuk membawa air putih ke sekolah. Awalnya mereka menggunakan botol bekas air mineral sebagai botol minum yang digunakan berulang kali.

Setelah mendapat informasi bahaya penggunaan ulang botol plastik sekali pakai, Fransiska dan teman-teman berinisiatif menabung uang jajan untuk membeli botol.

Suatu pagi yang murung tiba. Hari ini adalah jadwal sarapan pagi bersama. Para siswa duduk dengan rapi untuk memakan sarapan mereka. Namun, Fransiska tidak bersemangat. Ia tidak membawa bekal.

“Tadi pagi saya sudah sarapan di rumah, Ibu Guru. Hanya ada ubi rebus. Hari ini kami tidak makan nasi. Jadi, saya tidak bisa bawa bekal ke sekolah,” tuturnya.

Fransiska menyangka bahwa sarapan harus berupa nasi dan daging. Ibu gurunya menjelaskan pada Fransiska dan anak-anak yang lain bahwa sarapan tidak harus nasi dan daging.

Anak-anak dapat mengonsumsi ubi, pisang rebus, jagung sebagai sarapan. Sangat boleh menjadikan pangan lokal tersebut sebagai bekal dalam program sarapan bersama.

Pada program berikutnya, Fransiska membawa beberapa potong ubi, dan sebuah pisang rebus yang dipotong menjadi dua agar cukup pada wadahnya.

Uap mengembun pada tutupan bekal, pertanda Fransiska membungkus bekal ketika masih panas. Sejak saat itu, sarapan pagi Fransiska bervariasi. Terkadang nasi jagung, jika sedang musimnya, nasi Fransiska bercampur kacang merah.

Hari Jumat adalah hari senam dan ibadah bersama. Fransiska dan teman-temannya bersemangat melakukan senam dengan lagu Sekolah Sehat.

Sambil ikut berdendang, mereka menggerakkan badan sesuai gerakan yang telah diajarkan. Di hari Jumat terakhir dalam bulan, diadakan jalan sehat bersama komite, pemerintah kecamatan, pemerintah desa setempat, dan puskesmas terdekat. Pada hari yang sama, anak-anak akan mengonsumsi kolak, atau susu dan telur.

Orang tua berkontribusi menyumbangkan ubi-ubian dan pisang untuk program konsumsi pangan lokal sehat bergizi. Orang tua murid antusias menerima program GSS ini.

Jika musim panen ubi tiba, bahan kolak disumbangkan oleh orang tua. Bentuk dukungan lain orang tua berupa persiapan bekal dan tuntunan kepada anak untuk menerapkan pola hidup sehat dan bersih.

“Bapak bilang setiap sore harus timba air memang, pagi-pagi bisa langsung mandi, makan dan berangkat sekolah. Bapa bilang kalau tidak mandi nanti mengantuk di sekolah,” tutur Fransiska.

Kegiatan rutin Fransiska menjadi kewajiban yang tidak bisa dilewatkan. Setelah pulang sekolah dan makan siang, Fransiska beristirahat sebentar, membantu orang tuanya mengambil daun kaliandra untuk konsumsi kambing ternak, setelah itu Fransiska dan kakaknya menuruni bukit ke mata air untuk mandi sore dan mengambil air untuk masak dan mandi besok paginya.

“Sebelum Bapak ikut sosialisasi di sekolah, bapak tidak tegur kalau kami tidak timba air sore. Setelah ikut sosialisasi, semua bapak atur, dan harus kami lakukan. Harus makan pagi, harus sikat gigi, harus minum air putih banyak,” cerita Fransiska.

“Karena minum air banyak, sekarang BAB (buang air besar) lancar. Kalau tidak makan pagi, di sekolah belajar sambil lemas-lemas. Karena mandi pagi, di sekolah saya belajar tidak mengantuk,” lanjut Fransiska. Cerita-cerita bernada sama juga datang dari beberapa temannya.

Sekolah bekerja sama dengan puskesmas terdekat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seperti, sosialisasi kesehatan reproduksi, sosialisasi Pola Hidup Bersih dan Sehat, penyaluran tablet tambah darah seminggu sekali, dan imunisasi. Di awal tahun pelajaran ada sosialisasi anti bullying.

Sekolah ini bersyukur menjadi sekolah Binaan Gerakan Sekolah Sehat. Penerapan lima sehat berdampak pada anak. Tidak dapat dikatakan sudah sempurna, tetapi sudah ada warna baru yang berubah pada lembaga pendidikan ini, terutama perubahan pada peserta didik yang dituntun melalui gerakan lima sehat.


Jurnalis Warga: Adriana Rambu Oyi dan Roswita Rambu Lodang

spot_img
TERKINI
BACA JUGA