Maumere, Ekorantt.com – Sebuah kolaborasi lintas pulau kembali menyuguhkan karya teater dengan tema mendalam. Komunitas KAHE Maumere bersama Komunitas AGHUMI Bali menghadirkan pementasan berjudul “Setali Cahaya: Pantai dan Perihal yang Tak Sempat Kita Bicarakan”, yang akan digelar di Aula Rumah Jabatan Bupati Sikka, Sabtu dan Minggu, 12–13 Juli 2025.
Pementasan ini menyentuh tema besar yang sarat makna, kolonialisme dan modernisme, dalam dua latar berbeda, Maumere dan Bali. Isu-isu tersebut masih relevan dan kerap menjadi diskursus di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga masyarakat umum, karena dampaknya yang masih terasa hingga kini.
Ketua Komunitas AGHUMI Bali, Wulan Dewi Saraswati menjelaskan, karya ini mulai digarap sejak 2023.
Ia mendapat inspirasi ketika terlibat dalam forum Temu Teater Monolog di Malang, Agustus 2023, yang mempertemukan 20 seniman dari berbagai daerah untuk mempresentasikan riset cagar budaya masing-masing.
“Pada saat itu, kami memang saling berbagi pengetahuan dan praktik kerja. Saya belum pernah bertemu Rio dan tidak tahu banyak tentang konteks Flores. Jadi yang kami kerjakan betul-betul adalah berbagi informasi dan berkolaborasi menciptakan karya ini,” ungkap Wulan.
Dalam forum tersebut, Wulan mengangkat riset tentang Pura Pencak Petali di Bali, yang kemudian menjadi titik mula dari penciptaan “Setali Cahaya.”
Sementara itu, Rio Nuwa dari Komunitas KAHE Maumere menyumbangkan risetnya tentang situs cagar budaya Liang Bua.
Untuk mendalami materi tersebut, Rio bahkan harus melakukan perjalanan ke Ruteng, Manggarai, dan menginap di museum Liang Bua demi merasakan langsung atmosfer lokasi.
“Risetnya memang untuk pertunjukan. Jadi pendekatannya adalah lebih kepada bagaimana menghidupkan cerita dalam konteks teater,” jelas Rio.
Setelah dipentaskan di Malang dan Ubud pada 2023 dan 2024, karya ini berkembang menjadi semakin kompleks. Proses diskusi yang terus berjalan mempertemukan dua wacana besar yang menjadi inti dari karya ini: kolonialisme dan modernisme.
“Waktu itu, kita bahas isu kolonialisme dan modernisme di Flores dan Bali. Kami menggunakan cerita eskavasi Pater Verhoeven, SVD, dan juga medium tarot untuk menggali narasi ini lebih dalam,” kata Wulan.
Karya ini juga menyinggung isu ekonomi dan pariwisata yang terus masuk dan berkembang di kedua wilayah. Wulan menilai bahwa dua sektor ini tak lepas dari jejak kolonialisme dan cara pandang Eropa terhadap modernisme.
Sebelum tampil di Bali dalam ajang Indonesia Bertutur (Intur), “Setali Cahaya” telah dipentaskan di Maumere pada 2024.
Kini, setelah melalui proses eksplorasi dan penyempurnaan, karya ini kembali dipentaskan di tempat yang sama dengan pendekatan yang lebih kolektif.
Pementasan kali ini melibatkan berbagai perspektif, baik dari sisi penulis, aktor, hingga tim produksi. “Setali Cahaya” bukan sekadar panggung sejarah, tapi juga ruang refleksi terhadap berbagai isu global: dari konflik, identitas, kapitalisme, hingga dampak pariwisata.
Rio menyampaikan harapannya agar pertunjukan ini memberi cara pandang baru terhadap berbagai isu yang diangkat.
“Kami ingin pertunjukannya lebih segar, tidak hanya soal membaca sejarah, tetapi juga membuka percakapan tentang masalah yang kita hadapi saat ini, perang, identitas, perebutan lahan, kapitalisme, dan pariwisata yang begitu kompleks,” ujar Rio.
Pementasan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kelola, lembaga yang aktif mendukung pengembangan seni pertunjukan di Indonesia.