Kupang, Ekorantt.com – Kasus dugaan keracunan makanan massal yang terjadi di SMP Negeri 8 dan sejumlah sekolah lainnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa waktu lalu mendapat sorotan serius dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi NTT belum siap secara menyeluruh.
“Ini program belum terlalu siap dilaksanakan di NTT,” ujar anggota Fraksi PKB DPRD NTT, Marselinus Anggur Ngganggus di Kupang, Senin, 28 Juli 2025.
Menurut Marselinus, minimnya kesiapan terlihat dari jumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru mencapai 45 unit dari total kebutuhan sekitar 800 unit di seluruh provinsi. Rendahnya partisipasi pihak yang bermitra dalam pengelolaan dapur MBG juga menjadi tanda tanya.
Ia menyebut, sejumlah pelaku usaha mengeluhkan adanya pemotongan anggaran yang menyebabkan minat menjadi rendah.
“Ada pemotongan harga yang awalnya Rp15.000 turun mencapai Rp10 ribu hingga Rp9 ribu,” katanya.
Lebih lanjut, ia merinci bahwa dari dana Rp15.000 per paket makanan, sebesar Rp5.000 dialokasikan untuk biaya operasional dan dapur. Dari sisa Rp10.000 itu, masih terdapat potongan tambahan sebesar Rp500 hingga Rp1.000.
“Mungkin salah satu penyebab masih 45 SPPG di NTT karena ada potongan lain sebesar Rp500 – Rp1.000. Mungkin ini juga penyebab banyak ikutannya seperti dugaan nilai gizi dipertanyakan, jumlah tenaga kerja dipotong, dan lain-lain,” lanjut Marselinus.
Selain itu, ia menyoroti lemahnya fungsi pengawasan atau quality control dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) terhadap kualitas gizi makanan MBG.
Menurutnya, lemahnya pengawasan ini disampaikan langsung oleh pihak Balai POM dalam rapat bersama DPRD NTT.
“Jadi kuat dugaan makanan ini didistribusikan ke sekolah-sekolah tanpa quality control yang baik soal gizi ini,” kata Marselinus.
Anggota Fraksi PKB lainnya, Yohanes Rumat menegaskan, kasus ini seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pihak terkait, termasuk SPPG dan vendor penyedia makanan.
Fraksi PKB, kata Yohanes, mengecam keras jika dugaan keracunan disebabkan unsur kesengajaan. Namun bila murni akibat virus atau kelalaian penyedia, maka vendor harus bertanggung jawab penuh.
Menurutnya, tiga pihak utama yang harus bertanggung jawab atas insiden ini adalah Balai POM, Badan Gizi Nasional, dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
“Tanggung jawab ini melekat. Karena di juknis tiga komponen ini melekat dengan apa yang dilakukan oleh vendor,” ujarnya.
Yohanes juga menanggapi pernyataan Balai POM yang mengaku tidak memiliki anggaran untuk melakukan pengawasan. Ia menilai alasan itu tidak dapat dibenarkan.
“Balai POM sebagai institusi negara hadir untuk melindungi segenap warga negara,” ujarnya.
Meski demikian, Fraksi PKB tetap mendukung program MBG berjalan di NTT, asalkan dengan pengawasan dan kesiapan yang matang.
“Kalau sampai tidak jadi program ini dan harus ada makan korban maka harus ada yang dipenjarakan,” tegas Yohanes.
Ia mendesak semua pihak pelaksana untuk mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) secara ketat serta meminta Balai POM segera merilis hasil investigasi penyebab keracunan massal tersebut.
“Ini bukan masalah ratusan tetapi satu orang pun bermasalah. Jadi program ini harus siap baru berjalan,” tutupnya.