Dugaan Penyalahgunaan Dana Pendidikan, Kepala Sekolah Yayasan Katolik di Ruteng Jadi Sorotan

Dugaan pemalsuan dokumen, kata dia, salah satunya adalah kuitansi yang dilengkapi tanda tangan para guru dan tenaga pendidik yang sengaja dipalsukan dengan cara di-scan.

Ruteng, Ekorantt.com Isu terkait dugaan penyimpangan Dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di Sekolah Dasar Katolik St. Yohanes Don Bosco Ruteng II, Kabupaten Manggarai, tengah menjadi sorotan.

Kepala sekolah, Maria Gaudensia Apong, disebut-sebut terlibat dalam persoalan pengelolaan dana SPP yang berasal dari iuran rutin orangtua murid di SDK Ruteng II.

“Diduga telah terjadi ketidakwajaran dalam pengelolaan dana yayasan (SPP) dalam jumlah yang cukup besar, yang melibatkan kepala sekolah dan dua orang bendahara sekolah,” ungkap salah satu guru yang enggan disebutkan namanya kepada Ekora NTT, Selasa, 12 Agustus 2025.

Kedua bendahara yang disebut dalam dugaan tersebut adalah DFD dan PRZC. Salah satunya diketahui merupakan anak kandung dari kepala sekolah.

“Selain SPP, dana BOS juga bernasib sama bila itu ditelusuri,” lanjut sumber itu.

Diduga, kepala sekolah bersama para bendahara telah menyampaikan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya kepada Yayasan Persekolahan Sukma Ruteng, lembaga yang menaungi sejumlah sekolah Katolik di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Beberapa dokumen dalam laporan disebut mengandung informasi yang tidak akurat.

“Mungkin terhadap laporan pertanggungjawaban penggunaan dana BOS juga terjadi hal yang demikian,” tuturnya.

Dugaan pemalsuan dokumen, kata dia, salah satunya adalah kuitansi yang dilengkapi tanda tangan para guru dan tenaga pendidik yang sengaja dipalsukan dengan cara di-scan.

Targetnya, uang tersebut seakan-akan sudah diterima oleh para guru dan tenaga pendidik. Tetapi faktanya, mereka tidak pernah menerima uang.

“Coba sandingkan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Yayasan dan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana BOS.  Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pendobelan penganggaran dan pembayaran yaitu dana Yayasan dan dana BOS,” tuturnya.

Ia menilai, Kepala SDK Ruteng II sangat tidak terbuka atau tidak transparan dalam melakukan pengelolaan keuangan, termasuk dalam penyusunan ataupun pembuatan rencana penggunaan dana dan program-program lainnya terkait penggunaan dana di sekolah.

Kepala sekolah lebih memilih kerja sendiri tanpa melibatkan teman-teman guru dan tenaga pendidik, seolah-olah dana tersebut adalah milik pribadinya.

“Tidak pernah ada kegiatan evaluasi tentang penggunaan tanah di internal sekolah untuk semua jenis dana yang ada di sekolah.  Lagi-lagi asumsinya adalah kepsek menganggap dana-dana ini adalah dana milik pribadinya,” ujarnya.

Para guru mengklaim sudah merasa bosan dengan situasi tersebut. Kepala sekolah dan bendahara saling melemparkan tanggung jawab.

Saya Masih Tunggu Audit

Kepala SDK Ruteng II, Maria Gaudensia Apong, kepada Ekora NTT, mengatakan, seluruh pengaduan guru sudah diterima pihak Yayasan, sembari menunggu hasil audit resmi untuk membuktikan kebenaran atas tuduhan-tuduhan itu.

“Untuk membuktikan kebenaran, saya masih menunggu audit dari pihak Yayasan Sukma Ruteng,” ujarnya.

Ia menentang tudingan guru-guru soal memanipulasi laporan. Pengelolaan administrasi dan laporan, katanya, dilakukan oleh satu bendahara resmi dan data pada sistem Dapodik. Pengelolaan dana SPP di yayasan pun dapat dijadikan bukti bahwa tata kelola keuangan berjalan sesuai prosedur.

Maria juga membantah bahwa anaknya merangkap sebagai bendahara. Peran anaknya hanya sebatas membantu, bukan memegang kendali keuangan.

“Dia bukan status bendahara. Karena Ibu DFD selalu izin karena sakit, makanya dibantu oleh dia,” pungkasnya.

DFD, saat berbicara dengan Ekora NTT, menjelaskan bahwa hanya mengelola dana SPP hingga November 2024 karena kondisi kesehatannya yang sering terganggu.

“Karena saya sering izin dilimpahkan ke anaknya,” tuturnya singkat.

Sejak Desember, pengelolaan pembayaran uang SPP sepenuhnya ditangani oleh PRZC. Bahkan, kepala sekolah disebut telah memberitahukan hal tersebut kepada para guru, agar siswa diarahkan membayar langsung kepada PRZC, yang merupakan anaknya.

Masuk ke semester II, kepala sekolah mengarahkannya untuk hanya mengurus administrasi, sedangkan penerimaan uangnya ke PRZC.

“Tapi anak-anak masih kecolongan membayar ke saya. Ketika mereka membayar saya catat namanya dan terima uangnya dan serahkan ke Ibu PRZC,” sebutnya.

Sialnya, pada saat memberikan uang, ia tidak meminta tanda tangan PRCZ sebagai tanda penyerahan uang.

Ia merasa bingung ketika membuat administrasi karena penggunaan uangnya hanya untuk penggajian para guru.

“Akhirnya saya konfirmasi ke anaknya masa hanya gaji saja. ‘kaka saya juga tidak tahu, saya juga bingung’,” katanya meniru ucapan PRCZ.

“Kemudian berusaha untuk konfirmasi lagi ke kepsek dan dia bilang buat saja,” tambahnya.

Ia menghendaki permintaan kepala sekolahnya sebagai sikap loyal terhadap atasan.

Ada Permasalahan Serius

Berdasarkan audit internal yang dilakukan oleh staf keuangan yayasan melalui pengecekan bundel laporan tahunan sekolah, ditemukan adanya permasalahan serius dalam pengelolaan dana. Demikian disampaikan Ketua Yapersukma Ruteng, Pastor Patrik Dharsam Guru.

Temuan ini diperkuat oleh laporan dan pengaduan dari sejumlah guru yang disampaikan langsung ke kantor yayasan. Berdasarkan hasil pengecekan, ditemukan selisih yang signifikan antara jumlah dana yang tercatat dalam laporan dan jumlah yang sebenarnya diterima oleh para guru.

“Yayasan berencana melakukan audit eksternal untuk memastikan kebenaran dan kelengkapan data,” kata Pastor Patrik kepada Ekora NTT pada Kamis, 14 Agustus 2025.

“Namun, meskipun auditor eksternal sedang memiliki kesibukan, data hasil audit internal yang bersumber dari laporan sekolah sudah menunjukkan indikasi yang sangat kuat adanya dugaan manipulasi, sebagaimana disampaikan oleh Bapak Elyas Palma selaku staf yayasan,” tambahnya.

Tetapi, kata Pastor Patrik, sikap Yayasan tegas, “jika pengelolaan dana SPP saja sudah bermasalah, maka tidak tertutup kemungkinan dana BOS pun mengalami permasalahan yang sama.” Terlebih, indikasi manipulasi juga disebutkan oleh para guru yang mengadu.

“Mengingat yayasan tidak mengelola langsung dana BOS, kami mendorong pihak terkait untuk menanyakan hal ini secara resmi kepada Dinas PPO (Pendidikan Pemuda dan Olahraga),” ujarnya.

Ia belum memastikan jumlah SPP SDK Ruteng II di tahun ajaran 2024/2025 lantaran masih menunggu tim auditor.

Saat ini, yayasan sedang berupaya membenahi sistem pengelolaan sekolah, termasuk memikirkan langkah-langkah peningkatan kesejahteraan guru.

Namun, Pastor Patrik menyadari bahwa temuan ini menjadi persoalan serius yang harus segera diselesaikan demi terciptanya tata kelola pendidikan yang bersih dan transparan.

Ia menerangkan sesuai mekanismenya, orangtua murid membayar SPP kepada sekolah, kemudian bendahara sekolah menyetorkan dana tersebut ke yayasan atas sepengetahuan kepala sekolah.

“Sebagai pemimpin, kepala sekolah berkewajiban mengetahui, mengawasi, dan memastikan seluruh proses ini berjalan sesuai aturan,” bebernya.

Akan tetapi, berdasarkan temuan audit internal dan pengaduan guru, terdapat penyimpangan, di mana dana SPP tidak disetorkan ke yayasan, melainkan disimpan dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan atau untuk kepentingan lain tanpa koordinasi dan persetujuan Yayasan.

“Inilah celah yang membuka peluang terjadinya manipulasi,” kata Pastor Patrik.

Berbeda dengan dana SPP, dana BOS diatur melalui petunjuk teknis (juknis) dari pemerintah dan menjadi tanggung jawab penuh kepala sekolah kepada pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas PPO. Yayasan tidak mengelola dana BOS dan tidak memiliki kewenangan dalam penggunaannya.

Sebagai pengelola sekolah swasta, ia bilang, mekanisme penyaluran dana BOS yang dikirim langsung oleh pemerintah ke sekolah tanpa melibatkan pemilik atau pengelola sekolah merupakan pola yang kurang sehat dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.

“Yayasan sama sekali tidak dilibatkan dalam penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) maupun pengambilan keputusan pemanfaatan dana,” tegasnya.

Padahal sebagian besar penggunaan dana BOS, termasuk pembelian aset dan operasional perbaikan bangunan memiliki keterkaitan langsung dengan aset milik Yayasan.

“Mengabaikan peran pemilik sekolah dalam pengelolaan dana yang menyentuh asetnya sendiri adalah kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakteraturan, mengurangi akuntabilitas, dan membuka celah terjadinya penyimpangan,” tutupnya.

Ekora NTT sudah mengonfirmasi  Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Manggarai, Wenslaus Sedan pada Jumat, 15 Agustus. Namun, ia belum memberikan respons.

TERKINI
BACA JUGA
spot_img
spot_img