Kupang, Ekorantt.com – Pemerintah Provinsi NTT bersama ICRAF Indonesia berhasil menyusun Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau atau Green Growth Plan (GGP).
Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau atau Green Growth Plan sebagai pedoman dalam menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian alam.
Kepala Bapperida Provinsi NTT, Alfonsus Thedorus mengatakan, NTT menghadapi tantangan serius akibat dampak perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan rendahnya nilai tambah sektor pertanian.
Ketergantungan pada sumber daya alam menuntut adanya pendekatan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.
Dokumen Rencana Induk dan Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau disusun melalui konsultasi multipihak, mencakup perencanaan tata guna lahan, praktik ramah lingkungan, peningkatan nilai produk, hingga penguatan pasar.
Proses perencanaan telah menghasilkan berbagai rumusan mulai dari visi hingga berbagai intervensi yang diperlukan dalam mewujudkan ekonomi hijau di masa yang akan datang, yang selanjutnya diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan formal Provinsi NTT, seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, dan rencana turunan lainnya.
Dokumen ini menjadi pedoman penting bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi hijau untuk mewujudkan NTT yang mandiri, maju, dan berkelanjutan.
“Ini sekaligus mendukung tercapainya Indonesia Emas 2045,” jelas Alfons di sela kegiatan Sosialisasi Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Peluncuran Sistem Informasi Perhutanan Sosial di Kupang pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Rencana induk ini, lanjutnya, diharapkan menjadi acuan tidak hanya di tingkat provinsi, tetapi juga kabupaten/kota, sehingga implementasi ekonomi hijau dapat berlangsung menyeluruh dan dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat.
Peluncuran Perhutanan Sosial dan Sipops
Salah satu intervensi strategis dalam GGP adalah penguatan akses masyarakat melalui perhutanan sosial. Potensi perhutanan sosial di NTT mencapai hampir 500 ribu hektar, namun realisasi izin baru sekitar 13 persen (65 ribu hektare).
Untuk memperkuat tata kelola dan partisipasi masyarakat, Pemprov NTT meluncurkan Sistem Informasi Perhutanan Sosial (Sipops).
Sistem ini akan menjadi wadah pengelolaan data, monitoring, dan transparansi dalam implementasi perhutanan sosial sehingga masyarakat memiliki akses yang lebih baik terhadap lahan, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Sipops-NTT merupakan platform informasi dan komunikasi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perhutanan sosial di NTT. Melalui sistem informasi ini, berbagai aktivitas implementasi perhutanan sosial dapat dijalankan dengan lebih efektif dan partisipatif.
Kepala Bidang Pengelolaan DAS dan Pemberdayaan Masyarakat DLHK Provinsi Nusa Tenggara Timur, Anindya Widaryati, berharap agar Sipops-NTT mampu mendukung proses pengambilan keputusan, mempercepat diseminasi pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola izin perhutanan sosial.
“Kehadiran sistem ini diharapkan membuat implementasi perhutanan sosial di NTT berjalan lebih efektif, partisipatif, dan bermanfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.
Direktur ICRAF Indonesia, Andree Ekadinata menyatakan, penyusunan rencana pertumbuhan ekonomi hijau, serta dukungan terhadap implementasi perhutanan sosial melalui pengembangan sistem informasi, diharapkan dapat meningkatkan pencapaian tujuan pembangunan yang memperhatikan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, responsif terhadap isu gender, dan berkontribusi pada terwujudnya NTT yang mandiri, maju, dan berkelanjutan, dalam rangka mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Ia berharap melalui dialog interaktif yang melibatkan pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, sektor swasta, hingga kelompok masyarakat desa hutan, lokakarya kali ini mendorong kolaborasi lintas pihak agar bersama-sama berperan aktif dalam mewujudkan implementasi ekonomi hijau di NTT.