Maumere, Ekorantt.com – Persentase penduduk miskin Kabupaten Sikka, Provinsi NTT pada tahun 2025 sebesar 11,25 persen atau mengalami penurunan sebesar 0,64 persen poin dari tahun 2024.
Sedangkan jumlah agregat penduduk miskin di Kabupaten Sikka pada tahun 2025 sebesar 36,74 ribu orang, menurun 1,99 ribu orang dari tahun 2024.
Kepala Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sikka, Kristanto Setyo Utamo menyampaikan hal ini kepada Ekora NTT di Maumere pada Selasa, 9 September 2025.
Kristanto menjelaskan bahwa untuk mengukur tingkat kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut Garis Kemiskinan (GK).
Ia menyebutkan garis kemiskinan Kabupaten Sikka pada tahun 2025 tercatat sebesar Rp 447.472 per kapita per bulan. Dengan rata-rata satu rumah tangga terdapat 4,7 anggota keluarga, maka garis kemiskinan dalam rumah tangga kurang lebih Rp2.103.118 per bulan.
Menurutnya, persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
BPS mencatat, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten Sikka pada tahun 2025 sebesar 1,36 lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yakni sebesar 1,57.
Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada tahun 2025 mengalami peningkatan menjadi sebesar 0,34 setelah sebelumnya 0,31 pada tahun 2024.
Menurut Kristanto, ada hal yang menarik dari isu kemiskinan di Kabupaten Sikka, yang mana meskipun secara persentase maupun jumlah memang mengalami penurunan setiap tahun namun jika dilihat dari Indeks Keparahan justru bertambah. Hal ini artinya kesenjangan kemampuan antar penduduk miskin ini justru semakin jauh.
Karena itu, Kristanto bilang, menurunnya angka penduduk miskin ini tentu merupakan pencapaian keberhasilan pembangunan yang baik.
Ia mengatakan penurunan angka kemiskinan tahun 2025 juga disertai dengan penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan yang mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan.
Namun demikian, adanya peningkatan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan bahwa kesenjangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga semakin lebar setiap tahunnya.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang tepat sasar serta kerja kolaborasi semua stakeholder agar persoalan kemiskinan dapat ditangani dengan baik.
Terkait faktor penyebab terjadinya penurunan angka kemiskinan, Kristanto mengatakan hal tersebut perlu memerlukan kajian yang lebih dalam.
Namun yang pasti berbagai kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang telah direalisasikan tentu saja dapat berdampak terhadap penurunan itu.
“Mungkin yang perlu kita dorong adalah meskipun sudah berhasil menurunkan angka kemiskinan namun pemda perlu mengkaji lebih jauh pemanfaatan anggaran penanganan kemiskinan agar lebih tepat sasaran, efektif, dan efisien. Sehingga penurunan kemiskinan dapat lebih cepat,” tutup Kristanto.