Kupang, Ekorantt.com – Akademisi dari Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona meminta pemerintah merevisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 25 Tahun 2025 yang mengatur tunjangan bagi pimpinan dan anggota DPRD NTT.
“Pemerintah dan DPRD NTT harus segera menyelesaikan masalah yang menjadi kontroversi di masyarakat yakni masalah tunjangan DPRD NTT karena saat ini masyarakat menantikan keputusan itu,” ujar Mikhael kepada Ekora NTT pada Selasa, 16 September 2025.
Revisi perlu dilakukan karena kondisi ruang fiskal pemerintah yang sempit untuk belanja modal bagi urusan publik.
“Saya kira harus segera diselesaikan oleh Gubernur dan DPRD. Sebab rakyat menanti kepastian tentang tuntutan mereka itu,” ujar Mikhael.
Menurutnya, kebijakan pemberian tunjangan kepada DPRD bukan persekongkolan yang murni terjadi di daerah antara eksekutif dan legislatif. Akar masalahnya adalah keputusan menteri keuangan dan keputusan menteri dalam negeri di era Jokowi yang memberi tunjangan kepada DPR RI lalu diikuti semua daerah termasuk DPRD NTT
“Sehingga saya melihat bahwa sumber masalahnya adalah di pusat. Di mana tunjangan didesain dan disahkan oleh negara melalui Menteri Keuangan dan Menteri dalam negeri,” jelas Mikhael.
“Tidaklah elok jika mempermasalahkan Gubernur dan DPRD Provinsi terkait tunjangan. Bahwa gubernur dan DPRD juga harus bertanggungjawab adalah benar, namun gubernur dan DPRD NTT hanyalah hilir dari masalah aturan yang menjadi hulu dari kontroversi ini,” tambahnya.
Menurut Mikhael, pihak pertama yang harus dikritik untuk mengubah aturan ini adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Sebab, aturan ini awalnya dibuat sebagai semacam alat barter politik antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri dengan DPR RI, untuk kepentingan lobi-lobi dan pengesahan anggaran.
“Jadi awalnya dari sana baru kemudian diteruskan ke pemerintah daerah. Sehingga akar dari masalah ini yang harusnya diselesaikan,” kata Mikhael.
Pemerintah dan DPRD, kata Mikhael, harus melihat rasa keadilan masyarakat yang sekarang sedang terusik karena persoalan ekonomi, daya beli melemah dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana.
“Saya percaya DPRD dan gubernur akan merevisi aturan tunjangan itu,” harapnya.
Walaupun Pergub itu dibuat untuk mengakomodir berbagai variabel, seperti masalah jarak tempuh karena NTT provinsi kepulauan yang beban biaya lebih tinggi namun aturan itu harus mempertimbangkan soal etika dan moral.
“Ketika provinsi seperti NTT ini kapasitas fiskalnya jauh lebih sempit, maka sudah sepantasnya belanja rutin termasuk untuk para pejabat harus dipertimbangkan secara matang dan berkeadilan,” ujarnya.
Rasionalisasi, kata Mikhael, dilakukan tidak hanya untuk DPR RI, tetapi juga DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bahkan untuk seluruh BUMN dan BUMND. Karena jika tidak, akan menimbulkan resistensi yang bisa meledak dalam bentuk protes yang meluas.