Maumere, Ekorantt.com – Emanuel Baylon Roy (43) bersama dua rekan kerjanya, Leonardus Embu (56) dan Vinsensius (52) duduk di emperan kios sembako yang jaraknya sepelemparan batu dari gerbang Pelabuhan Lorens Say. Rekannya yang lain tertidur pulas di halte dekat pelabuhan. Siang itu, suhu udara pesisir Kota Maumere, Kabupaten Sikka panas, berkisar di angka 35 derajat celcius.
“Kami baru pulang dari Nakertrans, tanda tangan surat untuk dikirim ke Nakertrans Provinsi,” kata Emanuel, saat Ekora NTT menemui mereka pada Selasa, 12 Agustus 2025. Surat itu berisi pengaduan para buruh ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi NTT yang dikirim melalui Disnaker Sikka.
Emanuel, Leo, dan Vinsen merupakan mandor dari 180 “buruh darat” Tenaga Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan Lorens Say. Mereka terbagi dalam enam kelompok demi memudahkan koordinasi. Setiap kelompok beranggotakan 30 buruh.
Para buruh mangkal di kios-kios sembako hingga halte kecil dekat pelabuhan saban hari. Mereka menunggu giliran untuk melakukan bongkar muat barang di lokasi yang telah ditentukan sebelumnya.
“Kalau mobil kontainer datang, ada yang ikut untuk bongkar muat di toko. Kita bergilir dan sampai semua kelompok dapat jatah kerja,” kata Emanuel.

Dua Kelompok TKBM
Para buruh di pelabuhan diatur melalui Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, dan Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah nomor UM.008/41/2/DJPL-11, nomor 93/DJPPK/XII/2011, nomor 96/SKB/DEP.1/XII/2011 tentang Pembinaan dan Penataan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di Pelabuhan. Uniknya di Pelabuhan Lorens Say terdapat dua kelompok TKBM. Kelompok yang bekerja di dalam pelabuhan disebut buruh laut, sementara kelompok yang bekerja di luar pelabuhan disebut buruh darat.
Yosep Pito (64), mantan buruh di Pelabuhan Lorens Say yang memilih pensiun dua tahun lalu, menuturkan, hanya ada satu kelompok buruh di awal pembentukannya, yakni buruh pelabuhan. “Tidak ada yang bilang ada buruh laut dan buruh darat,” kata Yose, sapaan Yosep Pito.
Yose dan beberapa temannya bergabung menjadi buruh pelabuhan pada 1984. Pelni kala itu membuka lowongan kerja dengan persyaratan harus memiliki surat kelakuan baik dari lurah atau desa, camat, dan kepolisian. Masih segar dalam ingatannya, pengangkatan mereka menjadi buruh dibuat dalam acara resmi yang dihadiri bupati.
Munculnya penyebutan kelompok buruh laut dan buruh darat, Yose menduga, karena keberadaan Pelabuhan Lorens Say yang kala itu masih bernama Pelabuhan Sadang Bui belum bisa dilabuhi kapal berukuran besar. Karena itu, para buruh berbagi tugas. Ada kelompok yang masuk ke laut mengambil barang di kapal. Ada pula kelompok yang menunggu di daratan untuk menerima dan memuat barang ke truk-truk kontainer.
Pola kerja seperti ini berlangsung hingga era 90-an saat ada perluasan area pelabuhan. Sejak itu, buruh tidak lagi masuk ke dalam laut. Mereka langsung mengangkut barang dari kapal ke pelabuhan, demikian pun sebaliknya. Tugas buruh darat pun bergeser ke luar pelabuhan untuk membongkar barang dari kontainer ke truk kecil atau membongkar barang di toko dan gudang-gudang.
Kepala koperasi TKBM kelompok Buruh Laut, Leonardus Paulus M. Pau menceritakan hal yang sama soal munculnya dua kelompok buruh di Pelabuhan Lorens Say. Ia tidak mengetahui kenapa terjadi pemisahan secara organisasi pada kedua kelompok itu.
“Dulu hanya satu, perbedaan ada di pembagian tugas. Ketika dermaga dibangun kemudian terjadi pemisahan,” kata Paulus.
Buruh laut, Paulus melanjutkan, bernaung di bawah koperasi TKBM yang diawasi oleh Syahbandar, Nakertrans, dan Disperindag. Sedangkan, buruh darat berdiri sendiri, tanpa bernaung di bawah organisasi resmi berpayung hukum. Kelompok butuh darat pun tidak memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan yang memakai jasa mereka.
“Aturan yang keluar itu tidak mengesampingkan mereka, karena berlaku di seluruh Indonesia. Di tempat lain hanya satu TKBM, kasus di Pelabuhan Lorens Say ini saja yang berbeda. Satu sebenarnya, karena ada tiga peran yang dilakukan mereka,” jelas Paul.
TKBM memiliki tiga tugas yakni stevedoring, cargodoring, dan striping in. Di Pelabuhan Lorens Say, kata Paul, stevedoring dan striping in menjadi tanggung jawab kerja buruh laut, sementara cargodoring untuk buruh darat.
Dua kelompok buruh ini dapat dilebur, tutur Paulus, karena keduanya bekerja dalam satu kesatuan. Wacana penyatuan pernah didiskusikan, namun tidak diterima oleh sebagian besar buruh laut.

Upah Rendah, Risiko Kerja Tinggi
Para buruh darat menuntut keadilan upah kepada pemerintah. Mereka tengah memperjuangkan hak atas upah yang layak dari perusahaan-perusahaan pemberi kerja.
Selama ini, upah yang berlaku yakni Rp325 ribu per kontainer seukuran 20 feet, sementara ukuran kontainer 40 feet dihargai Rp600 ribu. Tarif yang sama berlaku untuk buruh laut.
“Tarif upah kami, ditetapkan sejak 15 tahun yang lalu. Tidak pernah naik, padahal harga barang-barang kebutuhan kita semakin tinggi,” keluh Emanuel.
Yose membenarkan itu. Kesepakatan upah terjadi berdasarkan pertemuan bersama pihak penyelenggara pelabuhan, pemerintah, dan buruh pada 2010 lalu. Perusahaan yang memakai jasa mereka adalah PT Seran Permai, PT Meratus Line, PT Roxy Mena, dan PT Citra Niaga Logistik.
Setelah belasan tahun, kelompok buruh darat mengusulkan kenaikan upah pada 2023. Mereka berinisiatif melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan. Sayangnya, perusahaan tak menanggapi secara serius usulan tersebut.
Karena belum ada kejelasan, para buruh mengadu ke pemerintah pada akhir Juni 2025 lalu. Mereka meminta pemerintah mendesak perusahaan untuk menaikkan upah buruh.
“Kami juga ke DPRD Sikka hingga dilakukan rapat dengan pendapat bersama pemerintah dan perusahaan, Nakertrans Sikka, dan Nakertrans Provinsi,” kata Emanuel.
Kedua kelompok buruh ini memiliki penghasilan yang tidak sama karena perbedaan volume kerja. Porsi kerja dari buruh darah hanya separuh dari pekerjaan burut laut.
Dalam sebulan, mereka hanya bisa melakukan aktivitas bongkar muat sebanyak 50 hingga 60 kontainer. Jika dihitung, masing-masing buruh hanya memperoleh pendapatan kurang lebih Rp700 ribu per bulan.
“Kami tidak punya penghasilan yang jelas. Tergantung banyaknya kontainer yang masuk. Setengah UMP saja tidak sampai,” kata Vinsensius. Angka ini jauh di bawah standar upah minimum Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni Rp2.328.969.
Upah kerja yang rendah, Vinsensius melanjutkan, tak setimpal dengan beban kerja mereka. Bagaimana tidak, bongkar muat kontainer masih dilakukan secara manual dengan mengandalkan kekuatan fisik. Ditambah pula kelengkapan kerja yang tidak memadai. Butuh fisik yang kuat dan kehati-hatian agar barang tak jatuh dan rusak.
“Barang ringan kan gampang. Kalau barang berat seperti kulkas, semen, beton, dan barang pecah belah lain, itu benar-benar peras tenaga. Barang kalau rusak, kita yang tanggung. Kita tidak mau barang rusak, tapi itu bisa terjadi,” tutur Vinsensius.
Bila terjadi kerusakan barang saat bongkar muat, para buruh terpaksa menggantikannya dengan besaran dua atau tiga kali lipat upah per kontainer. Sebaliknya, saat terjadi kecelakaan kerja, seperti terluka berat, pengobatan ditanggung sendiri oleh buruh. Pasalnya, tidak ada ikatan kerja antara buruh dan perusahaan.
Atas inisiatif pribadi, Vinsensius bilang, sekitar 40-an buruh mendaftarkan diri dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebagai jaminan sosial saat kerja. Tapi premi per bulan seringkali macet karena kesulitan keuangan.
“Pemerintah bilang kami ini tidak punya dasar hukum, tidak punya perjanjian kerja, dan banyak alasan lain. Kami ada di sini bukan baru sekarang. Mereka tahu kami ada, mereka tahu ada perusahaan yang memakai jasa kami. Kok mereka hanya diam? Ketika kami menuntut hak kami, dibilang tidak punya dasar hukum,” protes Vinsensius.
Para buruh kecewa pada sikap pemerintah yang terkesan abai dengan keluh kesah mereka dan membiarkan “diperas tenaganya oleh perusahaan dengan upah yang tidak mencukupi.”
“Kami ini SDM rendah dan tidak tahu bagaimana mengurus secara hukum dan syarat-syarat lain itu. Kami hanya punya tenaga dan tahu kerja. Selebihnya kami berharap pemerintah bantu kami,” kata dia.
Dalam surat pengaduan ke Disnakertrans Provinsi NTT, buruh menuntut kenaikan tarif kontainer 20 feet menjadi Rp600 ribu. Akan ada penambahan 25 persen bila melebihi bobot itu. Untuk barang pecah belah, dipatok tarif dari Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per kontainer.
“Perhitungan ini kita sudah sesuaikan dengan kondisi jumlah kontainer dan perhitungan besaran upah yang sesuai dengan UMR,” kata Vinsensius.
Paulus menyampaikan tuntutan yang sama untuk buruh laut, namun belum ditanggapi pihak perusahaan. “Harga barang sekarang semuanya naik, UMP juga sudah naik, upah buruh juga mesti dinaikkan.”
Seorang buruh laut yang Ekora NTT temui tidak berkomentar banyak soal upah. “Pas tidak pas, kami pas-paskan saja,” kata dia.
Upah yang layak menjadi salah satu hak dasar pekerja yang diatur undang-undang. Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyebut, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja.”
‘Standar Norma dan Peraturan Nomor 14 tentang Hak Atas Pekerjaan yang Layak’ yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia pada tahun 2024 pada poin 101 menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kondisi kerja yang adil dan aman. Kondisi tersebut berkaitan dengan upah yang cukup untuk menghidupi pekerja dan keluarganya dengan bermartabat, jam kerja yang layak, waktu istirahat yang cukup, bebas dari diskriminasi, adanya jaminan sosial, serta kondisi kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja.”
Para buruh bisa saja memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Tapi hal itu urung dilakukan di tengah minimnya ketersediaan lapangan kerja.
BPS Sikka mencatat masih terdapat 4.205 orang yang menganggur pada 2025 dari total 180.099 orang yang masuk kategori angkatan kerja. Dari 175.894 orang yang bekerja, tidak semua mendapatkan upah yang layak. Bidang kerja pun masih didominasi usaha sendiri atau wirausaha dengan total 55.668 orang, dan terdapat kelompok pekerja keluarga yang tidak dibayar 28.836 orang, dan pekerja bebas sebanyak 9.377 orang.
“Kami buruh tolak standar upah yang mereka beri, misalkan kami protes dengan mogok, itu tidak bisa terjadi. Kita susah cari kerja, kerja yang ada dipertahankan walaupun upah belum setimpal,” kata Man.
“Kalau kita tidak mau, banyak orang yang mau gantikan kita. Orang semua mengeluh tidak ada lapangan kerja.”
***
Ekora NTT bertemu dengan pimpinan dua perusahaan jasa pengurusan transportasi di Pelabuhan Lorens Say untuk mengkonfirmasi tuntutan para buruh.
Manajer PT. Citra Niaga, Christian Njo kepada Ekora NTT, mengatakan pihaknya mendukung tuntutan kenaikan upah para buruh. Tapi, keputusan kenaikan upah harus mengacu pada kesepakatan para pihak.
Perusahaan yang ia pimpin, kata dia, kesulitan berdialog dengan buruh darat karena ketiadaan induk organisasi.
“Kenaikan upah buruh tentu akan berpengaruh ke upah kami kepada pelanggan kami, tapi kami mengikuti. Bisa menaikkan, tapi prosesnya seperti apa nanti,” kata Chris.
“Kami juga ingin para buruh sejahtera. Tapi jalurnya bagaimana. Kalau sudah ada keputusan dari pemerintah, kami ikuti. Kami tidak berhak menentukan, kami siap melaksanakan saja,” kata dia menambahkan.
Di sisi lain, Manajer PT Roci Nema Logistik, Syahruddin agak keberatan dengan tuntutan kenaikan upah buruh. Hal ini tentu saja akan berdampak pada penentuan tarif kepada pelanggan.
“Tentu juga akan berdampak ke harga yang ditetapkan pelanggan kami ke konsumen,” ujar dia.

Kesejahteraan Keluarga Terdampak
Sisilia Sipi (45), istri Vinsensius, sibuk melayani pembeli di kios sembako miliknya di Kelurahan Kabor, Kota Maumere, pertengahan Agustus lalu. Usaha itu menjadi salah satu sandaran hidup keluarga. Upah Vinsensius tak cukup menopang kebutuhan mereka berdua dan putra semata wayang.
“Apa yang bisa diharapkan dari upah kecil seperti itu? Anak kami pergi ke Kupang untuk praktik SMK-nya saja kami harus pinjam,” kata Sisilia. Anak mereka kini menjalankan praktik kerja lapangan di Kupang, ibukota Provinsi NTT.
Dulu, Sisilia menuturkan, upah suaminya masih terbilang cukup untuk menafkahi keluarga. Bahkan, sebagiannya ditabung untuk buka usaha kios dan bangun rumah.
Situasi sekarang sudah jauh berbeda. Harga barang kebutuhan pokok melonjak dari tahun ke tahun. Belum lagi, biaya pendidikan anak yang mesti diperhatikan secara sungguh-sungguh.
“Ini menyangkut masa depan anak. Sekarang saja pinjaman di mana-mana. Kadang harus sembunyi dari koperasi harian karena uang untuk bayar utang belum ada,” cerita Vinsensius.
Koperasi harian menawarkan pinjaman cepat tanpa administrasi yang jelimet. Di balik itu, koperasi harian yang merupakan sebutan lazim untuk Lembaga Keuangan Mikro menawarkan pinjaman dengan bunga hingga 20 persen. Bunga yang tinggi otomatis menyulitkan nasabah untuk mengembalikannya, termasuk Vinsensius.
Para buruh yang lain mengaku punya pinjaman di beberapa koperasi harian. Utang menumpuk. Tak jarang mereka harus bersembunyi dari para petugas koperasi. Bahkan berhutang di tempat baru untuk menutupi utang lama.
“Kita perjuangkan upah ini karena kita tidak hanya memikirkan hidup hari ini, tapi ke depannya, anak-anak bagaimana,” kata Vinsensius.
Cerita yang sama datang dari Markus Kale (60). Ia tinggal di Tomu, Kecamatan Koting yang jauhnya sekitar 25 kilometer dari Pelabuhan Lorens Say. Ia mesti menghabiskan Rp14 ribu setiap hari untuk membayar angkutan umum saat pergi dan pulang kerja. Apa daya, upah yang kian tak menentu membuat ia kesulitan.
Ia pun mencari tambahan penghasilan sebagai pengiris moke, minuman tradisional beralkohol di Maumere. “Selain kerja buruh, saya iris moke (tuak) pagi dan sore saat pulang kerja, cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” tutur Markus.
“Kalau sebagai buruh penghasilan tidak naik, bisa kesulitan untuk penuhi kebutuhan kami,” dia menambahkan.
Markus hidup bersama istri dan salah satu anaknya. Ia memiliki tiga anak. Dua yang lainnya sudah bekerja di luar daerah.
“Mereka hanya tamat SMA. Saya hanya mampu sampai di situ. Mereka mau kuliah, saya juga mau mereka kuliah. Tapi uang tidak ada,” tuturnya.
Ketiga anak Markus sudah menyelesaikan jenjang SMA. Harapannya, mereka bisa melanjutkan sekolah hingga ke jenjang universitas. Tapi harapan itu pupus. Hak anak untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi tidak terpenuhi. Dua anaknya mencari pekerjaan di luar daerah. Satunya lagi bekerja di Bandara El Tari.
“Kalau mereka masih sekolah dengan keadaan upah yang begini, bisa putus sekolah,” kata Markus.
Pemerintah Mesti Fasilitasi Tuntutan Buruh
Para buruh berharap pemerintah segera memfasilitasi tuntutan kenaikan upah. Menurut mereka, pemerintah mesti menghadirkan langkah solutif, jangan membiarkan persoalan berlarut-larut.
“Kami butuh kepastian dari pemerintah, karena hanya lewat mereka persoalan kami bisa diatasi. Kami ini SDM rendah. Pemerintah tolong bantu kami untuk organisasi,” kata Vinsensius.
Kadis Nakertrans Sikka, Valerianus Samador, enggan berkomentar banyak soal kisruh tuntutan upah dari buruh darat TKBM. “Kami sementara berproses,” kata dia pada 11 Agustus 2025 lalu.
Disnakertrans Kabupaten Sikka berperan sebagai mediator dalam persoalan ini. Sementara penanganan kasus menjadi ranah kerja Disnakertrans Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kadis Nakertrans NTT, Sylvia R. Pekujawang menyebut tantangan utama dalam memenuhi tuntutan para buruh adalah ketiadaan kontrak kerja antara perusahaan pemberi kerja dan para buruh.
“Jadi sifatnya mereka itu pekerja lepas saja. Dan kasus seperti ini, bukan hanya terjadi di Maumere. Ini kelemahan yang terjadi hampir pada semua daerah di NTT,” ujar Sylvia.
Menurut Sylvia, pemerintah akan mendalami persoalan ini setelah menerima pengaduan dari para buruh, lalu melakukan klarifikasi kepada perusahaan pemberi kerja.
Pemerintah, Sylvia menambahkan, akan memastikan sejauh mana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam norma kerja. Apabila ada indikasi persoalan, ia akan mengutus penyidik yang akan memastikan persoalan di lapangan. Kemudian, secara teknis akan diterbitkan nota pemeriksaan. Menurut dia, nota pemeriksaan bersifat mengikat antara pekerja dan pemberi kerja.
Sylvia juga mengupayakan “intervensi secara kemanusiaan, guna menghasilkan solusi perjanjian bersama.”
“Yang paling bisa kami lakukan adalah urusan hati, soal kemanusiaan, bahwa para buruh sudah kerja sekian tahun, dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Jadi paling elok menangani kasus ini adalah ketemu jalan tengah, kita buatkan perjanjian bersama,” ujar dia.
Soal ketiadaan perjanjian kerja, Undang-undang nomor 13 tahun 2003 Pasal 50 menyebutkan “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pemberi kerja.” Perjanjian tersebut bersifat tertulis maupun lisan.
Akademisi dari Universitas Nusa Nipa, Hendrikus Pedro menyayangkan ketiadaan kontrak kerja antara perusahaan dan para buruh. Menurutnya, perjanjian kerja sangat penting dalam urusan ketenagakerjaan.
“Hal-hal mendasar seperti perjanjian kerja harus dibuat, sehingga mereka punya keamanan, kenyamanan, dan jaminan kerja mereka terlindungi. Kita harapkan pemerintah memfasilitasi itu,” kata Hendrikus.
Ia menekankan pentingnya perjanjian kerja antara perusahaan dan para buruh agar hak-hak mereka terjamin. Hendrikus juga mendorong pemerintah untuk segera memfasilitasi terbentuknya kelompok buruh. Di hadapan tantangan para buruh terkait SDM, ia menganjurkan agar pemerintah daerah mengambil peran lebih.
“Selain itu, kampus juga bisa diberi wadah, bagian dari pengabdian kami kepada masyarakat. Kami dari kampus juga bisa membantu mereka dalam hal pengkajian dan pembentukan organisasi,” kata dia.
Ia berharap pemerintah segera menuntaskan persoalan tuntutan upah dari para buruh demi kesejahteraan mereka, serta memberikan kepastian kepada mereka dalam bekerja.
Pada 4 September 2025, pemerintah, perusahaan dan para buruh berdialog dan menghasilkan sejumlah keputusan, termasuk berkaitan dengan ongkos bongkar muat barang.
Ongkos bongkar barang dari sebelumnya Rp325 ribu naik menjadi Rp450 ribu per kontainer. Sementara bongkar barang kategori khusus seperti gas elpiji dari Rp400 ribu naik menjadi Rp700 ribu per kontainer, sedangkan tarif bongkar semen dari Rp22.500 per ton menjadi Rp25.000 per ton. Tarif baru akan berlaku mulai 15 Oktober 2025 mendatang.
“Meskipun tuntutan kita tidak terpenuhi semuanya, akan tetapi kenaikan ini sudah jadi pertanda baik. Pemerintah mau turut membantu meningkatkan kesejahteraan kami para buruh,” kata Vinsesius.