Ruteng, Ekorantt.com – Yayasan Plan Internasional Indonesia bersama Pemerintah Kabupaten Manggarai melalui Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (BPPRID) mengadakan Pelatihan Kapasitas Pencegahan Pelecehan Seksual, Eksploitasi, dan Kekerasan (PSHEA) di Aula TP-PKK Manggarai, Selasa, 7 Oktober 2025.
Pelatihan ini menjadi bagian dari tindak lanjut Sosialisasi Proyek International Climate Initiative (IKI) yang berfokus pada isu perubahan iklim. Kegiatan ini menyoroti pentingnya menciptakan ruang aman dalam program pembangunan, terutama dalam menghadapi tantangan kekerasan seksual.
Peserta pelatihan terdiri dari perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga swadaya masyarakat, hingga jurnalis lokal.
Manajer IKI Project Plan Indonesia, Maulinna Utaminingsih mengatakan, pelatihan PSHEA bukan sekadar agenda programatik, melainkan komitmen bersama untuk menjamin keamanan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan.
“Pelatihan ini tentang nilai kemanusiaan yang kita junjung. Bagaimana kita menjaga batas, menghormati sesama, dan berani bersuara ketika ada yang tidak benar,” ujarnya.
Menurut Maulinna, budaya diam dan anggapan bahwa pelecehan atau kekerasan seksual adalah hal biasa masih menjadi tantangan di banyak tempat. Karena itu, peran aktif pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat diperlukan untuk mendorong perubahan budaya.
“Banyak orang belum tahu bagaimana merespons ketika ada kasus kekerasan atau ke mana harus melapor. Bahkan beberapa mitra kerja pun belum memahami mekanisme yang benar,” tuturnya.
Ia menyebut pelatihan ini sebagai langkah strategis agar semua pihak memiliki pemahaman yang sama dan dapat bertindak secara tepat.
Kekerasan seksual tak hanya meninggalkan trauma bagi korban, tetapi juga mengancam keberlangsungan program pembangunan dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pelaksana, kata Maulinna.
“Karena itu, pencegahan menjadi langkah utama yang harus diperkuat sejak dini,” tambahnya.
Sementara itu, Government Engagement and Safeguarding – PSHEA Specialist Plan Indonesia, Putri Mumpuni menjelaskan, PSHEA adalah sistem perlindungan internal yang diadopsi Plan untuk menjamin setiap mitra kerja memahami dan menerapkan prinsip perlindungan terhadap anak dan kelompok rentan.
“PSHEA adalah alat kebijakan yang kami gunakan untuk memastikan organisasi dan semua mitra bekerja dengan aman, menghormati martabat setiap orang, dan bebas dari pelecehan serta eksploitasi seksual,” jelas Putri.
Meskipun Plan Indonesia bukan lembaga penanganan kasus, organisasi ini memiliki peran penting dalam mencegah dan melaporkan dugaan kekerasan. Kasus-kasus yang muncul akan dirujuk ke lembaga layanan resmi, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), kepolisian, maupun organisasi pendamping berbasis komunitas.
Putri menambahkan, enam prinsip dasar pelanggaran seksual berdasarkan standar Inter-Agency Standing Committee (IASC), termasuk larangan aktivitas seksual dengan anak di bawah 18 tahun, larangan pertukaran uang atau layanan dengan imbalan seks, serta kewajiban seluruh personel untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
Ia mengajak peserta pelatihan untuk memahami berbagai bentuk kekerasan dalam konteks safeguarding, mulai dari kekerasan fisik, emosional, ekonomi, seksual, digital, hingga penelantaran.
Menurutnya, akar kekerasan kerap berasal dari ketimpangan relasi kuasa, kerentanan individu, lemahnya kapasitas kelembagaan, dan budaya permisif yang masih mengakar.
“Kekerasan dan pelanggaran seksual bukan hanya melukai korban, tapi juga menghancurkan nilai kemanusiaan yang menjadi dasar semua program sosial. Karena itu, menjaga keamanan dan martabat manusia adalah tanggung jawab bersama,” ujar Putri.