Waubakul, Ekorantt.com – Keberhasilan masyarakat Desa Waimanu, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam merawat dan melestarikan hutan tidak terlepas dari peran serta pemangku dan masyarakat adat setempat.
Mereka taat terhadap hukum adat sekaligus menjalankan ritual-ritual yang berkaitan dengan keseimbangan ekosistem lingkungan. Tentu hal ini didukung oleh perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap alam.
“Kita taat pada larangan penebangan pohon, tapi juga ritual adat kita buat,” kata Ketua masyarakat adat Desa Waimanu, Umbu Ngailu Beku kepada Ekora NTT pada Senin, 13 Oktober 2025 lalu di kediamannya di Kampung Galu Kajouro.
Salah satu ritual yang dilakukan adalah Paongu Uran, yang dalam bahasa setempat berarti panggil hujan. Ritual tersebut dilakukan masyarakat untuk memastikan keberlangsungan kehidupan di sekitar hutan dan menjaga keseimbangan alam.
Umbu mengatakan, upaya melestarikan hutan didorong oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi pasca-adanya Undang-undang dan peraturan pemerintah terkait perlindungan hutan. Masyarakat kini sangat taat dan takut merambah atau merusak hutan.
“Setelah dinaungi oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah tentang perlindungan hutan, masyarakat sangat taat dan takut untuk merambah atau merusak hutan,” ujar Umbu.
Penetapan taman nasional dan kawasan hutan keluarga di desa ini telah membuat hutan yang membentang dari Desa Manurara hingga Taman Nasional Tanadaru semakin lebat dan terlindungi. Namun, kesuksesan ini tidak hanya didorong oleh kepatuhan terhadap aturan hukum.
Menurut Umbu, ritual adat yang dilaksanakan secara teratur juga sangat berperan.
Ritual Paongu Uran
Umbu menjelaskan, ketika warga merasa suhu udara semakin panas, terutama pada musim kemarau yang rawan kebakaran, maka sebagai tokoh adat, dia akan memanggil kepala suku dari empat kesukuan yang ada di Desa Waimanu. Mereka akan membuat kesepakatan waktu untuk melaksanakan ritual Paongu Uran.
Ritual ini bertujuan untuk memanggil hujan agar rumput dan semak yang ada tetap bertahan hidup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, ada jenis rumput tertentu yang setelah terkena hujan satu atau dua kali, langsung tumbuh tunas baru.
Umbu menjelaskan, ritual Paongu Uran biasanya dilakukan di mata air Matayangu dan Matotu, dan bisa dilaksanakan beberapa kali dalam setahun.
Ia mengatakan, apabila suhu udara semakin panas dan belum ada tanda-tanda hujan, maka ritual tersebut akan dilakukan.
“Setelah ritual dibuat, pasti curah hujan langsung turun,” tambah Umbu, sembari menyebut mata air akan muncul kembali setelah ritual tersebut dilaksanakan.
Upacara Paongu Uran hanya dapat dilakukan oleh kepala suku setelah bersepakat kapan ritual akan dilaksanakan dan menyiapkan perlengkapan yang diperlukan, seperti periuk tana, sirih dan pinang, ayam dua ekor, beras, nasi, serta kawadha (emas murni yang digaruh di atas kapas). Setelah semua perlengkapan tersedia, rombongan akan turun ke mata air untuk melaksanakan ritual tersebut.
“Dipastikan bahwa tidak berselang lama, setelah ritual ini dibuat, hujan akan segera turun disertai guntur dan kilat,” tutur Umbu.
Selain itu, sehari sebelum ritual, semua ternak peliharaan seperti sapi, babi, kerbau, kuda, dan kambing akan dipindahkan jauh dari jalur yang akan dilalui rombongan. Jika ada ternak yang tertinggal di jalur ritual, maka ternak tersebut akan dibunuh dan dibawa pulang untuk dimakan bersama seluruh warga.
Bahkan, jika rombongan ritual bertemu dengan orang yang tidak terlibat, maka pakaian orang tersebut akan dilucuti, hanya menyisakan pakaian dalam. Pakaian tersebut akan disimpan di rumah ketua adat dan baru bisa diambil setelah dua hari.
Dalam pelaksanaannya, tetua adat melafalkan doa yang berisi permohonan agar hujan segera turun, memberikan air bagi tumbuh-tumbuhan agar hidup dengan baik.

Ritual Lain
Selain ritual Paongu Uran, masyarakat adat Waimanu juga memiliki sejumlah ritual lain. Salah satunya yakni Paranong, ritual mengusir hama seperti tikus, warang, dan belalang.
Bupu Galu Moni, tokoh adat dari Kampung Praidita, turut menambahkan, pada tahun 1980-an, ritual Paranong dilaksanakan karena serangan hama belalang yang melanda hampir seluruh wilayah Sumba. Ritual ini melibatkan seluruh suku di desa dan dilakukan dengan sangat sakral.
Namun, menurut Bupu, ritual ini kini jarang dilaksanakan, terutama karena pengaruh perkembangan agama yang membuat praktik adat semakin sulit dilaksanakan.
“Kalau toh dibuat, tetapi tidak dilakukan di sungai lagi, cukup dari rumah saja,” kata Bupu.

Kelestarian Hutan
Berkat perlindungan terhadap hutan, baik melalui peraturan pemerintah maupun ritual adat, hutan di Desa Waimanu kini semakin lebat dan terjaga keasliannya. Termasuk hutan keluarga, yang kini tumbuh subur karena warga hanya boleh menebang pohon untuk membangun rumah dari kawasan hutan keluarga.
“Dulu kami menggunakan tali rotan, kahe kara, nonukolang, dan nonu panetang untuk bangun rumah, tetapi kini diganti dengan paku. Sehingga sekarang, tali rotan itu berlimpah di hutan karena tidak lagi diambil warga,” jelas Umbu.
Ketersediaan air, baik air tanah maupun aliran air yang mengalir di sungai, pun kini semakin melimpah. Bahkan, di hampir semua lahan sawah tadah hujan, muka air tanah tidak lagi dalam, dan hanya perlu menggali sekitar 4-5 meter untuk menemukan air tanah.
Kelestarian hutan dan air ini adalah hasil dari sinergi antara hukum negara dan kearifan lokal yang dijaga oleh masyarakat adat Desa Waimanu.
Ritual adat yang dilakukan dengan penuh penghormatan kepada alam menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan hidup generasi mendatang.