Oleh: Hermina Welin Wulohering
Sore itu, di sebuah ruang belajar kecil di Maumere, seorang anak perempuan berusia lima tahun menunjukkan hasil gambarnya. Warnanya tidak rapi, garisnya melenceng, tetapi matanya berbinar. “Miss, look! Aku bisa gambar laut sama rainbow!” katanya dengan bangga.
Tak ada nilai angka di kertas itu, hanya stempel bergambar balon dengan tulisan “super”, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih penting: rasa percaya diri dan kebahagiaan karena ia melakukannya dengan hati.
Kisah sederhana seperti ini kerap mengingatkan saya bahwa pendidikan sejati bukan sekadar tentang kecerdasan akademik. Banyak dari kita, pendidik maupun orang tua, masih memaknai belajar sebagai jalan menuju nilai, peringkat, piala, atau sertifikat. Padahal anak-anak zaman sekarang tumbuh di dunia yang sangat berbeda dari masa kita dulu.
Mereka lahir di era serba cepat, dengan layar di tangan dan dunia di genggaman. Tantangannya bukan lagi sekadar menghafal, tetapi bagaimana menumbuhkan rasa ingin tahu, ketekunan, dan kebahagiaan dalam belajar.
Saat ini, akses informasi terbuka lebar. Anak-anak dapat belajar dari mana saja. Tanpa keluar rumah, mereka bisa duduk di sofa sambil mengakses YouTube, game edukatif, media sosial, hingga kelas daring. Namun kemudahan ini membawa tantangan baru: rentang perhatian yang semakin pendek, mudah bosan, dan tekanan sosial yang makin kuat.
Banyak anak kehilangan kegembiraan belajar karena sistem yang masih menekankan hasil. Kita mendengar kisah anak SD yang pulang malam karena aktivitas belajar yang berlapis-lapis, atau remaja yang merasa gagal hanya karena nilainya tidak sempurna. Ketika belajar dikaitkan dengan ketakutan dan beban, hasilnya bukan kecerdasan, melainkan kelelahan emosional.
Padahal, pendidikan saat ini menuntut lebih dari sekadar kemampuan akademik. Menurut kerangka keterampilan abad ke-21 dari Partnership for 21st Century Learning (P21) yang kini digunakan UNESCO, OECD, dan diadopsi Kemdikbud dalam Profil Pelajar Pancasila, empat kompetensi utama yang dibutuhkan generasi muda masa kini adalah creativity, critical thinking, communication, dan collaboration. Keempat kemampuan ini tidak tumbuh dari tekanan, melainkan dari lingkungan belajar yang positif dan bermakna.
Istilah joyful learning atau “belajar bahagia” yang digaungkan lima tahun terakhir melalui Merdeka Belajar bukan sekadar jargon. Ia berakar pada konsep psikologi motivasi intrinsik yang dikembangkan Edward Deci dan Richard Ryan.
Menurut mereka, manusia belajar paling efektif ketika merasa: 1) memiliki kendali atas prosesnya (autonomy), 2) mampu melihat kemajuan diri (competence), dan 3) terhubung secara positif dengan orang lain (relatedness).
Tiga hal ini sering hilang dalam sistem belajar tradisional. Anak disuruh diam, menyalin, lalu diuji dengan soal yang sama tanpa ruang berekspresi. Akibatnya, mereka belajar karena takut gagal, bukan karena ingin tahu. Sebaliknya, ketika anak dilibatkan, diajak bermain, berdialog, dan diberi kepercayaan, motivasi intrinsik muncul. Anak yang bahagia belajar bukan berarti tanpa disiplin; justru mereka lebih fokus dan bertanggung jawab karena prosesnya bermakna.
Di Rumah Belajar Lé Orin, kami mencoba menerapkan prinsip ini dalam skala kecil namun konsisten. Kelas kami berisi maksimal lima anak, dengan pendekatan tematik dan interaktif. Mereka belajar bahasa Inggris melalui lagu, permainan peran, aktivitas motorik, dan pengalaman langsung yang dekat dengan kehidupan mereka.
Misalnya, ketika belajar tentang shapes, anak-anak tidak hanya melihat gambar di buku. Mereka diajak berkeliling kelas dan halaman untuk menemukan benda-benda nyata berbentuk circle, square, triangle, atau rectangle, mulai dari jam dinding, jendela, potongan tangram, hingga roda kendaraan di halaman.
Aktivitas sederhana seperti ini membuat anak belajar melalui pengamatan langsung, bukan sekadar hafalan, sehingga konsep lebih mudah dipahami dan terasa menyenangkan. Mereka tidak hanya mengenal nama bentuk-bentuk itu, tetapi memahami konsepnya melalui eksplorasi dan penemuan mereka sendiri.
Dari proses seperti ini, kami melihat perubahan nyata: anak yang awalnya malu berbicara mulai berani bertanya atau mempresentasikan hasil karya di depan teman. Mereka belajar mengungkapkan pendapat tanpa takut salah, sebuah keterampilan yang akan berguna sepanjang hidup.
Namun menciptakan anak yang bahagia belajar tidak dapat dilakukan lembaga pendidikan seorang diri. Orang tua memegang peran besar dalam membentuk pola pikir anak terhadap belajar. Di banyak keluarga, keberhasilan anak masih diukur dari nilai rapor. Padahal penelitian menunjukkan bahwa pujian terhadap usaha jauh lebih efektif daripada pujian terhadap hasil.
Ketika orang tua berkata, “Kamu hebat karena terus mencoba,” bukan “Kamu hebat karena dapat 100,” anak belajar menghargai proses. Mereka belajar bahwa gagal bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan. Saya sering menyaksikan perubahan besar ketika orang tua mulai menyesuaikan pola komunikasi mereka di rumah. Anak-anak menjadi lebih terbuka, tidak takut bercerita, bahkan lebih mandiri menyelesaikan tugas.
Menurut UNICEF Indonesia (Annual Report 2022 dan Strategi Remaja 2024), kesehatan mental dan kesejahteraan remaja Indonesia masih menjadi perhatian serius. UNICEF menekankan bahwa dukungan keluarga, sekolah, dan komunitas yang ramah adalah faktor kunci dalam membangun well-being anak. Artinya, pendidikan tidak hanya urusan sekolah atau rumah; ia adalah tanggung jawab bersama.
Masyarakat yang peduli pada tumbuh kembang anak akan menciptakan ekosistem belajar yang sehat. Ruang belajar tidak selalu harus berada di kelas; kegiatan komunitas yang kreatif juga memperkaya pengalaman anak. Di Lé Orin, berbagai acara seperti Easter Party di taman, perayaan Chinese New Year, Halloween “Witch’s Treasure Hunt,” hingga Pajamas Party yang menghadirkan dokter gigi untuk edukasi kesehatan mulut, menjadi bagian dari proses belajar yang menyenangkan.
Melalui kegiatan seperti ini, anak-anak belajar bekerja sama, berkomunikasi, mengambil peran, dan berani mencoba hal baru. Mereka belajar tanpa merasa sedang “belajar.” Ketika tawa, rasa ingin tahu, dan percobaan kecil terjadi secara alami, anak-anak tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan sosial, dan kebahagiaan dalam belajar.
Dalam perjalanan saya mendampingi anak-anak dan remaja, saya menyadari bahwa tugas utama pendidik bukan mencetak anak yang seragam, melainkan menemukan cara agar setiap anak dapat bersinar dengan caranya sendiri. Ada anak yang cepat memahami angka, ada yang lebih kuat dalam imajinasi, ada yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Semuanya berharga jika kita berhenti membandingkan dan mulai menghargai keberagaman potensi.
Kita perlu mendidik dengan hati, yang berarti memberi ruang bagi anak untuk salah, menuntun mereka agar belajar dari kesalahan, hadir dengan sabar, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memberi dorongan kecil ketika mereka mulai kehilangan semangat. Pendidikan selalu bersentuhan dengan kemanusiaan, dan kemanusiaan selalu dimulai dari cinta.
Anak-anak yang bahagia belajar hari ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang percaya diri, adaptif, dan berani menghadapi perubahan. Mereka akan lebih siap hidup di dunia yang terus bergerak cepat karena telah belajar menikmati prosesnya, bukan takut terhadap hasilnya. Kita hidup di masa ketika pendidikan bukan lagi tentang mengisi kepala, tetapi menyalakan semangat.
Sudah saatnya kita para orang tua, pendidik, dan masyarakat bersatu dalam semangat yang sama: mendidik anak-anak Maumere, Flores, dan Nusa Tenggara Timur dengan hati, agar mereka tumbuh bukan hanya pintar, tetapi juga bahagia. Saya percaya, tugas kita bukan mencetak anak yang tahu segalanya, melainkan menuntun mereka agar tidak berhenti ingin tahu.
*Hermina Welin Wulohering adalah pendidik dan pendiri Rumah Belajar Lé Orin di Maumere. Ia berfokus mendorong pembelajaran yang bahagia, inklusif, dan bermakna bagi anak-anak dan remaja melalui kelas kecil, kegiatan tematik, dan program komunitas.













