Labuan Bajo, Ekorantt.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Wilayah V menemukan aktivitas pertambangan emas ilegal di Pulau Sebayur Besar, Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Ketua Satgas Koordinasi Supervisi KPK Wilayah V, Andi Dian Patra seperti dikutip dari Detik.com mengatakan, aktivitas penambangan dilakukan secara diam-diam pada malam hari.
Informasi itu diperoleh setelah adanya aduan yang kemudian ditindaklanjuti dengan investigasi lapangan.
Andi menyebut saat tim KPK tiba di lokasi yang diduga menjadi tempat penambangan, tampak alat berat dan pipa besar berserakan, sementara para pelaku sudah menghilang. Hasil tambang itu diduga dibawa melalui jalur laut menuju NTB.
Divisi Advokasi dan Kajian Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Elkelvin Wuran menegaskan, temuan ini mempertegas perlunya pembenahan tata kelola lingkungan di Manggarai Barat yang berkaitan erat dengan reformasi pengelolaan TNK.
“Selama beberapa tahun terakhir, kawasan konservasi itu didera persoalan mulai dari pengelolaan trekking, pemetaan zona, hingga pemanfaatan ruang yang dinilai tidak konsisten dengan prinsip konservasi,” kata Wuran.
Walhi NTT: Ada Kegagalan Sistem Perizinan
Wuran menyatakan, keberadaan tambang ilegal di Pulau Sebayur Besar menunjukkan gagalnya sistem perizinan yang seharusnya berbasis prinsip kehati-hatian.
“Apakah pernah diterbitkan izin eksplorasi atau operasi produksi di kawasan tersebut?” tanya Wuran.
Ia menegaskan, Sebayur Besar merupakan pulau kecil dalam lanskap konservasi Komodo sehingga setiap bentuk pemanfaatan ruang wajib melalui kajian ketat dan bersifat transparan.
Jika tidak ada izin, menurutnya, maka muncul pertanyaan mengenai bagaimana aktivitas itu bisa berlangsung tanpa pendeteksian dini dan tanpa tindakan penghentian sejak awal.
Fakta bahwa penambangan diduga berlangsung selama sepuluh tahun, dari 2010 hingga 2025, menunjukkan lemahnya pengawasan lintas instansi.
“Jika ada izin yang pernah diterbitkan, maka keabsahan, proses, dan pemegang izinnya harus diaudit, termasuk potensi penyalahgunaan kewenangan,” katanya.
Wuran menilai persoalan ini terkait erat dengan tata kelola TN Komodo yang sejak lama dibayangi ketidakkonsistenan kebijakan.
Perubahan batas zona pemanfaatan tanpa penjelasan memadai, ketidakjelasan buffer zone, hingga pemberian hak kelola kepada pihak tertentu yang dinilai bertentangan dengan kaidah konservasi, disebut menciptakan celah pengawasan.
Situasi ini dinilai kontras dengan promosi pemerintah atas Labuan Bajo sebagai destinasi “super premium”.
Wuran menyebut narasi pembangunan berkelanjutan tidak sejalan dengan lemahnya pengawasan lingkungan di titik-titik yang paling sensitif secara ekologis.
“Sebayur hanyalah salah satu contoh kecil dari persoalan besar yang mengendap di balik industri pariwisata skala besar,” ujarnya.
Ia juga menyinggung Pulau Padar, yang disebut mengalami tekanan akibat rencana pembangunan skala besar, termasuk ratusan vila oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).
Perusahaan itu memegang izin usaha sarana pariwisata alam (IUPSWA) dengan konsesi 274,13 hektare berdasarkan SK Menteri Kehutanan tahun 2014.
Perubahan zona konservasi Pulau Padar dua tahun sebelumnya memicu perhatian UNESCO dan kritik dari kelompok masyarakat sipil.
Dugaan Pembiaran dan Ancaman Ekologis
KPK telah menyampaikan temuan aktivitas tambang ilegal itu kepada KLHK, Kementerian ESDM, dan Bupati Manggarai Barat.
Pemerintah daerah dan instansi teknis dianggap berkewajiban menghentikan aktivitas penambangan, menegakkan hukum administratif maupun pidana, serta mengambil langkah pemulihan ekologis.
Namun hingga kini, menurut Wuran, belum ada tindakan konkret yang sepadan dengan tingkat ancaman ekologis.
Situasi tersebut memunculkan dugaan adanya pembiaran atau keterlibatan oknum, sebagaimana dikhawatirkan KPK terkait potensi praktik “backing” atau suap.
Wuran mengatakan, penggunaan merkuri dan sianida dalam penambangan emas membawa ancaman toksik bagi ekosistem perairan Sebayur–Komodo, terumbu karang yang menjadi daya tarik wisata, populasi komodo, biota laut, dan kesehatan masyarakat pesisir.
Kerusakan akibat bahan kimia pertambangan dapat berlangsung puluhan tahun jika tidak ditangani.
Kasus tambang ilegal di Sebayur Besar disebut sebagai peringatan keras atas rapuhnya tata kelola lingkungan di kawasan strategis Manggarai Barat dan TN Komodo.
Wuran menegaskan negara memiliki mandat hukum untuk melindungi pulau kecil dan kawasan konservasi.
Dalam konteks ini, kata Wuran, nilai ekologis pulau-pulau kecil di sekitar Komodo “jauh melampaui nilai ekonomi yang hendak diambil dari perut bumi”.
Ia menambahkan, temuan pada 27 November 2025 itu menguak persoalan mendasar, yakni lemahnya tata kelola kawasan konservasi, buruknya pengawasan sumber daya alam, serta ketidakteraturan perizinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pulau Sebayur Besar, jelas dia, merupakan bagian dari gugusan pulau kecil di sekitar Taman Nasional Komodo (TNK) yang memiliki fungsi ekologis penting.
“Letaknya yang berdekatan dengan habitat satwa endemik Komodo dan ruang hidup masyarakat Ata Modo membuat setiap gangguan di kawasan itu berpotensi mengancam ekosistem lebih luas,” tandas Wuran.













