Pengantar
Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yosef Nae Soi resmi memimpin NTT setelah dilantik presiden Jokowi di Istana Presiden, Jakarta pada 5 September 2018 lalu.
Pada Minggu awal kepemimpinan Victory-Joss, begitu jenama politik keduanya, ada tiga topik utama yang menyodok perhatian publik.
Pertama, tambang. Kedua, perdagangan orang. Dan ketiga, pariwisata.
Soal tambang, keduanya sepakat untuk melakukan moratorium. Tim khusus akan meneliti soal kelayakan aktivitas penambangan.
Alasannya, tambang tidak boleh mengganggu keindahan alam NTT. Demikian pula dengan kasus perdagangan orang, keduanya punya pendirian yang tegas.
Tolak perdagangan orang! Bahkan Gubernur Laiskodat mengimbau aparat kepolisianuntuk bertindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Salah satu sektor yang pantas dan layak dikembangkan di NTT adalah pariwisata.
Hal ini hangat dan menjadi komitmen keduanya. Bagaimana pariwisata itu dikembangkan oleh Victory-Joss?
“Potensi keindahan alam kita bisa masuk level dunia. Lalu mengapa kita harus rusakkan dengan tambang? Kita jangan buat bopeng daerah kita ini”
Yosef Nae Soi dengan penuh ketegasan menyampaikan hal ini dalam lawatan perdananya sebagai wakil gubernur NTT ke Maumere pada 8 September 2019 lalu.
Tanpa tedeng aling-aling, Yosef tegaskan, tolak tambang. Itu tidak bisa ditolerir. Bahkan tidak segan-segan untuk mencabut izin tambang yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya.
Ya, menurut Wagub Yosef, pilihan kita adalah pariwisata. Pariwisata NTT levelnya dunia. Bukan ecek-ecek.
Karena itu, dirinya bersama gubernur Laiskodat serius mengembangkan sektor yang satu ini.
Omongan Wagub Yosef ini sebetulnya mempertegas pidato perdana gubernur Laiskodat dalam rapat paripurna istimewa DPRD NTT 10 September 2018 lalu.
Ada lima program andalan yang ia sampaikan pagi itu. Pariwisata. Kesejahteraan rakyat. Sumber daya manusia. Infrastruktur. Dan reformasi birokrasi.
Para wakil rakyat dan undangan menyimaknya dengan serius. Setiap hentakan penegasan Gubernur Laiskodat, disambut tepuk tangan seisi ruang sidang.
Gubernur Laiskodat mengatakan, pariwisata jadi penggerak bagi sektor pembangunan yang lain.
Bicara pariwisata berarti kita bicara semua sektor. Ini menjadi komitmen politik. Untuk itu, butuh keputusan politik.
Salah satunya melalui peraturan daerah (Perda). Misalnya; Perda tentang persampahan beserta sanksinya.
Bagi Gubernur Laiskodat, penting juga dipahami bahwa sebagai pemilik, kitalah yang menguasai dan menikmati keindahan pariwisata NTT.
Kita mundur ke belakang. Victory-Joss sudah tertarik pada pariwisata sejak safari politik semasa kampanye dulu.
Ketertarikan itu berwujud janji politik. Mengalir dari mulut Victory-Joss.
Di banyak tempat. Dalam banyak kesempatan. Jejak masih tersimpan. Karena media telah merekamnya. Beberapa janji itu disampaikan di sini.
Seputar-ntt.com misalnya; merekam kampanye politik Laiskodat kala bertandang ke desa Praimadita di kabupaten Sumba Timur 12 Mei 2018.
Baginya, pariwisata harus memberikan efek kekaguman. Kagum melihat alam, manusia dan budaya NTT.
“Pariwisata itu harus harus mampu membuat wisatawan terkagum-kagum sambil berteriak Oh My God,” kata Laiskodat.
“Kalau wisatawan sudah terpesona sambil berteriak Oh My God maka dia akan kembali berkunjung dan dia akan menceritakan kepada keluarga dan kenalan mereka bahwa ada tempat wisata yang indah di NTT yang harus dikunjungi,” tambahnya seperti yang diwartakan Seputar-ntt.com.
Tidak hanya efek kagum. Pariwisata harus menjadi penggerak utama pembangunan NTT.
Pariwisata harus bisa menggerakkan sektor lain. Dengan kata lain, pariwisata menjadi nada dasar pembangunan.
Oleh karena itu, pola pikir masyarakat pun harus dibangun dalam rangka mendukung pariwisata.
Lalu, bagaimana pariwisata itu dipandang?
Dilansir dari tribunnews.com, pariwisata tidak sekadar dipandang soal bangun hotel. Yang terpenting adalah kita harus bangun budaya dulu.
Ide ini ditawarkan Victory-Joss dalam diskusi publik bertajuk Quo vadis NTT di Aula UKAW Kupang, 12 Juni 2018 lalu.
Tidak hanya itu. Pariwisata erat kaitannya dengan peradaban. Bagi Victory-Joss, membangun pariwisata berarti membangun peradaban.
Tujuannya, kualitas masyarakat yang lebih baik. Dan itu berarti masyarakat menjadi subyek pembangunan.
Salah satu model yang ditawarkan adalah desa atau kampung pariwisata.
“Mari kita mengubah desa-desa dan kampung-kampung menjadi desa dan kampung wisata. Jangan salah mengerti,” tegas Laiskodat seperti yang dilansir beritasatu.com.
“Kita tidak akan pernah merombak, mengubah total, atau merusak keaslian kampung-kampung dan desa-desa itu. Pertahankan keasliannya, tetapi standar kualitasnya dinaikkan,” tambah Laiskodat.
Kondisi Terkini
Gagasan Victory-Joss ini harus berhadapan dengan beberapa fenomena pariwisata kita.
Ada fenomena kenaikan kunjungan wisatawan. Setiap tahun terjadi lonjakan kunjungan wisata ke NTT.
BPS NTT mencatat, total tamu mancanegara pada tahun 2016 sebanyak 65.499 orang. Angka ini naik signifikan menjadi 93.455 orang pada tahun 2017.
Hal yang sama berlaku untuk wisatawan domestik. Data tiga tahun terakhir menggambarkan tren positif.
Tahun 2015 berjumlah 374.456 orang. Pada tahun 2016 mencapai angka 430.582 orang. Dan pada tahun 2017 berkisar 523.083 orang.
Untuk menggenjot jumlah kunjungan wisata, pemerintah telah dan sedang melakukan sejumlah kegiatan promosi berskala besar.
Ada sail komodo yang menelan dana 3,7 trilun pada tahun 2013 lalu. Tour de Flores sudah berlangsung dua kali.
Ada parade 1001 Kuda Sandlewood dan Festival tenun ikat di tanah Sumba. Muncul juga event lain demi menarik minat wisatawan.
Selain promosi, pemerintah juga gencar membangun infrastruktur untuk pariwisata.
Tapi di sisi lain, pembangunan pariwisata NTT kurang memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kemiskinan di NTT belum bisa terurai.
Menukil data BPS, NTT berada pada posisi termiskin ketiga setelah propinsi Papua dan Papua Barat. Persentasenya 21,35 % dari total penduduk NTT.
Peneliti Cypri Dale dalam buku ‘Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik’ mengungkapkan pembangunan pariwisata menyingkirkan masyarakat kecil.
Bahkan orang-orang lokal tak berdaya. Mereka tersingkir dari pusaran bisnis pariwisata. Yang berjaya adalah kaum pemodal dan orang-orang asing.
Untuk menggambarkan hal ini, Paju Dale menggunakan istilah ‘Dolar Ketemu Dolar”.
Dalam artikelnya berjudul ‘Jejak Neoliberal dalam Pembangunan Pariwisata di Manggarai Barat-Flores’, Venansius Haryanto, peneliti sun spirit for justice and peace menambahkan, minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam bisnis pariwisata. Sebaliknya, dominasi asing yang begitu kuat.
Suprastruktur
Terkait langkah pemimpin baru NTT dalam bidang pariwisata, pemerhati pariwisata, Kris Beda Somerpes memandangnya sebagai hal yang positif.
Baginya, ini adalah niat yang baik. Pariwisata adalah peluang baru untuk mendorong kesejahteraan.
NTT punya potensi luar biasa untuk itu, bukan hanya alamnya, tetapi juga budaya, atraksi dan kesehariannya.
Somerpes menjelaskan, niat baik ini harus dibarengi pijakan suprastruktur yang kuat baik itu melalui kebijakan dan pembenahan sumber daya manusia.
Perlu ada grand design pembangunan yang komprehensif, lebih terlibat dalam arti menjawab kebutuhan.
“Hari ini misalnya, kita melihat pembangunan pariwisata begitu kencang di ranah infrastruktur, kehadiran Badan Otoritas Pariwisata Flores begitu menggeliat,” kata Somerpes.
“Namun perlu pula diperhatikan fondasi-fondasi suprastrukturnya (kebijakan, sumber daya manusia dan seterusnya) agar kebijakan atas nama pembangunan pariwisata tidak eksploitatif,” jelas Somerpes.
Ia menambahkan, peluang berinvestasi sangat terbuka lebar. Investor baik domestik maupun internasional bisa memanfaatkan peluang itu.
Itu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, kata Somerpes, perlu alat-alat negosiasi berupa suprastruktur dan penguatan sunber daya manusia.
Somerpes juga sepakat dengan konsep ekowisata yang dari, oleh dan untuk komunitas.
Hal ini harus masuk dalam rencana gubernur perihal pengembangann desa sebagai desa/kampung wisata.
Model-model ini harus digandakan terus menerus sambil menumbuhkan wacana-wacana kritis terkaitnya.
Pendamping Desa Wisata
Salah satu pelaku pariwisata NTT, Nando Watu mengapresiasi langkah pemimpin NTT yang menjadikan pariwisata sebagai penggerak pembangunan.
Tapi harus dipahami juga bahwa pariwisata tidak bisa berjalan sendiri.
Butuh multielemen terlibat di dalamnya. Pemerintah. Masyarakat. Akademisi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dan Media. Kerja sama pihak-pihak inilah yang bisa menentukan pembangunan pariwisata.
Konsep desa wisata, bagi penggagas Ekowisata-Detusoko ini, menjadi alternatif bagi pengembangan pariwisata NTT.
Konsep ini searah dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dalam mengembangkannya, kita harus ramah lingkungan.
Yang ditekankan juga “bukan berapa banyak kunjungan turis tapi berapa lama turis tinggal di wilayah kita”.
Menurutnya, pengembangan pariwisata model ini membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu pelatihan harus terus dilakukan secara terus menerus.
Kehadiran pendamping desa wisata sangat urgen.
“Bentuklah juga asosiasi desa wisata. Tujuannya ada pemahaman yang sama tentang desa wisata. Pada awalnya juga jangan terlalu banyak bentuk desa wisata. Gagas dulu beberapa, kemudian itu menjadi rule model bagi pengembangan desa wisata lainnya,” jelas Watu.
Akhirnya, Watu menegaskan, pada galibnya pariwisata hanya alat (tools) untuk meraih kesejahteran masyarakat.
Pariwisata tidak boleh membuat kita tercerabut dari budaya kita. Pariwisata juga harus mampu mendukung pertanian, peternakan dan bidang kehidupan lainnya.
Citos Natun, Irenius J.A Sagur, Elvan de Pores. Liputan ini pernah dimuat di Ekora NTT cetak edisi akhir pekan ke-26