Maumere, Ekorantt.com – Panas terik menyirami bumi Hewuli, Minggu (10/2) sekitar pukul 12.00 WITA. Akan tetapi, situasi ini tidak surutkan semangat Mama Kristina Tia (56) menenun tama lu’a, kain tenun ikat Sikka dari Palue.
Gerakan tangannya lincah. Jemarinya yang mulai keriput menari-nari di atas alat tenun. Perlahan tapi pasti, benang demi benang tertenun.
Hingga kumpulan huruf ini diketik, 1/2 lembar tama lu’a sudah usai ditenun. Indah nian 1/2 lembar tama lu’a itu!
Mama Tina, demikian ia biasa disapa, berasal dari Kampung Cua, Desa Nitung Lea, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka.
Bersama dengan ratusan penduduk Palue lainnya, Beliau mengungsi ke Maumere pada tahun 2013 akibat letusan Gunung Rokatenda pada Sabtu, 10 Agustus 2013.
Setelah beberapa waktu tinggal di Transito Maumere, Beliau pun tinggal dan menetap di Hewuli. Hewuli merupakan lokasi yang disiapkan Pemerintah Kabupaten Sikka sebagai tempat tinggal para pengungsi dari Palue.
Di Hewuli, pemerintah membangun rumah semi permanen bagi kurang lebih ratusan kepala keluarga (KK) pengungsi dari Palue.
Hingga tahun 2019, sebagian KK masih menetap di Hewuli, sedangkan sebagian lainnya sudah pulang kampung ke Palue.
Mama Tina memilih pulang pergi antara rumah 01 di Palue dan rumah 02 di Hewuli.
“Di sini, saya tinggal bersama dengan anak saya. Ia sekolah di SMA Negeri 2 Maumere. Sekarang kelas 2,” katanya.
Saya terkesima menyaksikan kelincahan jemari Mama Tina bermain-main di atas alat tenun. Timbul rasa penasaran tentang kejadian awal mula tama lu’a.
Bagaimana Mama Tina bisa menghasilkan tama lu’a yang memesona?
Beliau pun dengan penuh gairah menceritakannya. Karena kemampuan Bahasa Indonesia yang terbatas, Beliau lebih sering omong dalam bahasa daerah Palue.
Saya tak paham. Untung ada Noni (24), gadis Palue yang sedang menghabiskan masa liburan di Hewuli. Noni menerjemahkan beberapa kalimat dalam bahasa Palue yang tak saya pahami.
Dengan segala lebih kurangnya, proses pembuatan tama lu’a a la Mama Tina bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama-tama, tentu saja kita perlu menyiapkan bahan dan peralatan tenun ikat. Bahan-bahan itu antara lain adalah benang, kayu, dan papan.
Benang terdiri atas berbagai macam jenis seperti benang kuning, benang biru laut, benang biru langit, benang merah hati, benang lodon, dan benang podang.
Harga benang berkisar Rp100 Ribu per/po’en. 1 po’en terdiri atas 5 ikat benang. Untuk bisa menenun 1 lembar kain tama lu’a, dibutuhkan 6 po’en. Artinya, kita mesti siapkan 30 ikat benang untuk menghasilkan 1 lembar tama lu’a. Kayu juga terdiri atas berbagai macam jenis seperti laju (kayu dari pohon asam) dan alo (kayu dari bambu).
Setelah bahan dan peralatan tenun ikat disiapkan, langkah selanjutnya adalah mulai menenun.
Proses menenun bisa dibedakan atas tiga (3) tahap, yaitu ko’a ragi (membagi benang), taku kugu (mengangkat benang dengan menggunakan kayu), dan noru ragi (menenun).
Proses menenun tama lu’a biasanya memakan waktu 3 hari. Sementara itu, proses menenun ragi mite (sarung Palue) biasanya memakan waktu 4 hari.
Menurut Mama Tina, tahapan menenun yang paling sulit adalah membuat motif tama lu’a.
Selain itu, penenun mesti punya gerakan tubuh yang lentur agar bisa menenun tama lu’a dengan mudah. Jika tidak, tubuh akan menderita pegal-pegal. Tama lu’a pun akan butuh waktu yang agak lama untuk selesai ditenun.
Para pengungsi dari Palue di Hewuli menenun tama lu’a untuk berbagai kepentingan yang berbeda.
Biasanya, tama lu’a ditenun untuk pertama keperluan adat istiadat di kampung dan kedua tambah penghasilan keluarga dengan cara menjualnya.
Untuk kepentingan yang pertama, tama lu’a ditenun misalnya untuk acara adat laki mosa yang akan digelar pada tanggal 5 November 2019 mendatang. Ritual laki mosa di Palue digelar sekali dalam lima tahun.
Selama 5 hari, masyarakat adat di Palue akan menari togo (tandak). Selama 5 hari pula, mereka akan memberi orang banyak makan gratis. Dalam ritual adat semacam inilah, tama lu’a jadi pakaian adat yang wajib dikenakan.
Untuk kepentingan yang kedua, tama lu’a ditenun untuk kemudian dijual di Pasar Alok. Selembar tama lu’a dijual dengan harga Rp500 Ribu.
Tama lu’a selalu laris manis dibeli oleh orang Maumere. Para turis mancanegara biasanya membeli selembar tama lu’a dengan harga Rp1 Juta.
Uang hasil penjualan tama lu’a dipakai untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan membayar ongkos anak sekolah.
Menenun tama lu’a bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, Mama Tina melakukannya dengan amat sangat lincah.
Ternyata, perempuan murah senyum ini mulai berlatih menenun sebelum tamat sekolah dasar (SD) di Palue. Ia diajar oleh mama kandungnya sendiri.
“Kalau tidak ke kebun, kami tenun sarung di rumah,” katanya.
Mama Tina mengaku prihatin dengan generasi milenial yang gagap menenun tama lu’a. Para gadis Palue sekarang umumnya tidak bisa menenun.
Keterampilan menenun menjadi monopoli perempuan tua. Padahal, tenun ikat memiliki nilai jual yang tinggi.
Walaupun memiliki pendapatan yang menjanjikan, menenun tama lu’a bukanlah satu-satunya pekerjaan Mama Tina. Pekerjaan utama ibu dua orang anak ini adalah petani. Ia punya empat (4) lahan kebun.
Di kebun, ia tanam jagung, kacang hijau, kacang panjang, kacang kayu, ubi kayu, dan jambu mete.
Sejak zaman nenek moyang, orang Palue tidak tanam padi. Oleh karena itu, makanan pokok orang Palue bukanlah beras, melainkan jagung dan ubi.
“Beras jarang dimakan. Pagi kami makan ubi,” katanya.
Pada saat Rokatenda mengamuk dan memuntahkan lahar panas pada 2013 lalu, Mama Tina merasa amat berat hati untuk tinggalkan kampung halaman. Di Palue, keluarga Mama Tina adalah tuan tanah.