Silvano Keo Bhaghi*
“Jokowi… DPR korupsi… Malam bae, malam bae, selamat malam bae. Bae tua bae muda, selamat malam bae…”
Penggalan kalimat patah-patah ini keluar dari mulut Mina, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sayap kanan Kantor Bupati Sikka, Kelurahan Beru, Kecamatan Alok Timur, Jumat (25/1).
Mina mengenakan celana panjang training hijau, jacket tipis putih, dan sepatu kets. Umur sekitar 40-an tahun. Tinggi badan tak lebih dari 145 cm. Rambut ombak nyaris keriting tak terurus. Kurus.
Ia duduk menggantung di teras sambil dendangkan lagu yang hanya ia sendiri paham kepada siapa lagu itu ia alamatkan.
Ia goyangkan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti irama goyangan tembang “Gemu Fa Mi Re” yang tersohor itu.
Beberapa yang perduli menyunggingkan senyum melihat tingkah konyol ibu tua itu. Beberapa yang lain tak perduli sama sekali.
Bahkan mungkin menganggapnya sosok yang ada, tetapi sesungguhnya tidak ada.
Saya sendiri berada di sudut pojok gedung sambil asyik santap siang nasi bungkus yang disiapkan Pantia Penyelenggara Diskusi “Diseminasi Dana Desa” di Aula Sikka Convention Center (SCC) Maumere.
Saya duduk di pojok bukan karena kelebihan waktu luang, tetapi karena waktu produktif melakukan liputan terpotong tersebab Menteri Sri Mulyani di bawah pengawalan ketat body guard berdasi harus buru-buru terbang ke Jakarta.
Boleh jadi, Menteri Sri tidak punya waktu lebih untuk lakukan konferensi pers dengan para wartawan di Sikka.
Boleh jadi juga, Menteri Sri tidak tahu ada kuli tinta di NTT, Flores.
Sebagai pekerja media, saya kecewa. Jauh-jauh datang dari Istana, Menteri Sri cuma bicara lebih kurang 40 menit di podium.
Padahal, dalam imajinasi saya, sudah bejibun pertanyaan tentang kasus penyalahgunaan dana desa di Sikka yang tidak sempat didengar Ibu Menteri.
Kalau seperti ini keadaannya, bukankah lebih baik Menteri Sri lakukan teleconference saja via Youtube, misalnya?
Dengan demikian, pertama, rakyat di seluruh Indonesia bisa dengar langsung omongan Menteri Sri tentang dana desa.
Kedua, Menteri Sri tidak perlu buang duit rakyat untuk perjalanan dinas naik pesawat terbang rute Jakarta-Maumere hanya untuk sekadar bicara 40 menit di podium plus foto selfie.
Kurang lebih 10 menit saya berada di pojok itu menikmati makan siang siap saji sambil sesekali lempar pandang ke arah Mina.
Jujur saja, nafsu makan saya langsung turun.
Bukan saja saya sudah makan nasi ikan sebelumnya di angkringan Mbak Susilarini, tetangga Pramoedya Ananta Toer, yang cerita tentangnya bisa dinikmati dalam EKORA NTT Edisi Mingguan, tetapi juga karena penampilan yang mengibakan dari Mina.
Betapa ODGJ mempengaruhi psikologi masyarakat tanpa pernah dikehendaki oleh dirinya dan masyarakat.
ODGJ menjadi objek belas kasihan, tetapi serentak pada saat yang sama menimbulkan semacam rasa antipati yang tak termaafkan.
Mau tergerak oleh rasa belas kasihan, tetapi tertutup oleh rasa jijik.
Barangkali struktur sosial politik masyarakat kita sudah teramat korup sehingga kehadiran ODGJ lebih banyak menerbitkan rasa terganggu dari pada belas kasihan.
Sementara itu, lingkungan di sekitar Mina adalah lingkungan pusat seluruh kebijakan politik di Nian Tana Sikka diputuskan oleh para pemangku kebijakan.
Sore itu, hujan rintik-rintik. Lingkungan elite ini dipadati mobil dan motor milik orang-orang keren di kota ini.
Ada menteri, direktur jenderal, bupati, kepala dinas, asisten bupati, ASN, Sat Pol PP, polisi, kepala desa, aparatur desa, wartawan, dan orang-orang keren lainnya yang punya kepentingan di Aula SCC Maumere.
Tentu saja yang menjadi bintang hari itu adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati.
Kebintangannya terbukti saat akhir acara ratusan pegawai negeri berebutan foto selfi bersama Beliau.
Saya pun sebenarnya kepingin selfi dengan Ibu Menteri, tetapi merasa terlalu muda dari pada pegawai pemerintah yang sebagian besar sudah uzur itu.
Menteri keuangan terbaik di dunia ini jauh-jauh terbang dari Jakarta untuk berbicara tentang tema “Diseminasi Dana Desa: Pengelolaan Dana Desa yang Transparan dan Akuntabel untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Desa” di SCC Maumere.
Pembicaraan dipusatkan di Kabupaten Sikka sebagai tuan rumah dengan melibatkan pemerintah dari kabupaten tetangga seperti Kabupaten Ende, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Lembata.
Di ruang ini, saya hanya mau mengatakan, Menteri Sri sumringah karena Dana Desa telah sukses membangun berbagai infrastruktur dasar di desa seperti jembatan, embung, MCK, PAUD, jalan, Posyandu, dan lain-lain.
Karena dinilai sukses, maka rezim Jokowi-JK akan menaikkan alokasi Dana Desa dari Rp20 Triliun pada 2015, Rp40 Triliun pada 2016, Rp60 Triliun pada 2017, Rp60 Triliunpada 2018 menjadi 70 Triliun pada tahun 2019.
Dengan kenaikan Dana Desa sebesar Rp10 Triliun, desa-desa tertinggal dapat perhatian khusus dengan mendapatkan jumlah anggaran yang jauh lebih besar dari pada desa-desa lainnya.
62 desa tertinggal dari total 147 desa di Kabupaten Sikka akan ketiban durian runtuh dalam rupa miliaran rupiah Dana Desa.
Dalam pidatonya, Menteri Sri sebut satu hal yang mendesak sekali dalam prospek pembangunan di NTT pada umumnya dan di Flores pada khususnya, yakni penanganan masalah gizi buruk atau stunting.
Sampai tahun 2019, jumlah anak Indonesia yang menderita stunting sebanyak 30 persen.
Artinya, 1 dari 3 anak di Indonesia menderita tubuh kerdil.
NTT ditengarai menjadi penyumbang penderita stunting terbanyak di Indonesia.
Persentase balita stunting di NTT sebesar 42,6%, lebih tinggi dari prevalensi stunting nasional seperti dirilis Riskades sebesar 30,8%.
Masalah stunting bukan sekadar masalah kesehatan biasa, tetapi masalah masa depan bangsa Indonesia.
Jika masa balita anak-anak Indonesia tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai yang berpotensi sebabkan stunting.
Maka masa depannya yang juga berarti masa depan bangsa akan suram, sesuram lampu 5 Watt.
Akan tetapi, yang luput dari perhatian Menteri Sri, sebagaimana subjek pelengkap penderita tulisan ini, adalah nasib ODGJ di seluruh tanah air.
Apakah politik anggaran dana desa membincangkan juga nasib orang-orang seperti Mina?
Pemerhati ODGJ, Pater Avent Saur, SVD dalam bukunya “Belum Kalah” (2018) mengatakan, perjuangan untuk mengubah nasib ODGJ “Belum Kalah.”
Namun, kita tak perlu harus menjadi cerdas untuk mengatakan, ODGJ akan terus kalah kalau sistem sosial politik di tanah air tetap mengabaikan mereka sebagai objek yang terpinggirkan.
Menteri Sri memuji Pemerintah Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah karena sukses membiakkan dana desa dari Rp200 Juta menjadi Rp15 Miliar melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dalam kurun waktu 4 tahun.
Tetapi, apakah cerita sukses dana desa juga menjadi bagian cerita sukses dari orang-orang kalah di lingkungan pergaulan masyarakat seperti ODGJ?
Selagi politik anggaran APBN, APBD I, APBD II, dan APBDes tidak membincangkan nasib Mina Cs, jangan harap cerita ini akan terdengar.
Mina akan terus menerus kalah.
“Saya harus tulis kisah yang kontras ini,” ucap suara hati saya secara berulang-ulang.
“Saya akan panggil dia kalau ia lirik lagi ke sini,” kata Epang, rekan saya dari EKORA NTT yang sama-sama meliput acara diskusi “Diseminasi Dana Desa” di SCC Maumere.
Sementara itu, Mina sesekali curi pandang ke arah kami. Akan tetapi…
“Abang, kita terobos saja hujan ini,” kata Epang membuyarkan lamunan saya.
Kami pun berlalu dari SCC menuju Kantor Redaksi EKORA NTT, meninggalkan Mina yang riang palsu dalam tembang “Malam Bae” dan Ibu Sri Mulyani yang dapat pujian “cantik dan menteri terbaik di dunia” dari wakil rakyat asal Sikka yang duduk di kursi Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng Bapa.
Ibu Sri terbang pulang ke Jakarta untuk duduk manis di balik meja Kemenkeu RI. Sedangkan Mina entah sampai kapan duduk bertengger di teras gedung Kantor Bupati Sikka.
Dua perempuan hampir seumuran dengan garis nasib yang berbeda.
*Redaktur EKORA NTT