Film Muro Raih Penghargaan Dunia, Kuatkan Suara Adaptasi Perubahan Iklim

Lewoleba, Ekorantt.com – Adalah film ‘Muro’ meraih dua penghargaan dalam Festival Film Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan University Of Toronto Human Rights Film Festival 2024.

Film dokumenter ini merupakan karya dua putra terbaik Lembata, Yoris Wutun dan Alfred Ike Wurin. Penghargaan untuk film ‘Muro’ diumumkan melalui akun Instagram resmi panitia festival, theworldwithmnr Universitas Toronto, pada Rabu, 20 Maret 2024.

Alfred, sebagaimana dilansir Tribun Flores, menjelaskan film ‘Muro’ digarap Lingkar Timur Documentary, sebuah komunitas dan platform audio visual yang berbasis di Kabupaten Lembata.

Film ini mengelaborasi cerita tradisi Muro oleh komunitas masyarakat adat di Lembata. Mereka menjaga kelangsungan ekosistem kawasan laut Teluk Nuhanera.

Masyarakat memandang film ‘Muro’ merupakan sebuah karya yang mampu menyuarakan kepada dunia bahwa budaya dan tradisi masyarakat Lamaholot yang diwariskan, memiliki peran yang sangat penting dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

“Salah satunya adalah Muro, sebuah bentuk konservasi baik laut maupun darat berbasis kearifan lokal masyarakat adat Lamaholot, khususnya di Pulau Lembata,” ujar Alfred.

Lewat film ini, Alfred ingin memberikan pesan bahwa orang muda di Nusa Tenggara Timur juga memiliki kreativitas yang sangat tinggi dalam segala aspek, termasuk dalam menguatkan suara adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Yang diharapkan juga dari film ini adalah kesadaran masyarakat, khususnya teman-teman muda bahwa perubahan iklim merupakan sebuah isu yang sangat mengganggu keberlangsungan kehidupan kita sekarang,” imbuhnya.

Alfred mengajak kaum muda untuk tidak memandang ritual-ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat adat hanya sebatas takhayul, tetapi generasi milenial harus bisa menggali pengaruh ritual-ritual ini dalam hubungannya dengan keberlangsungan kehidupan di muka bumi.

“Kondisi perubahan iklim ini sebenarnya sudah dipesan atau sudah diwasiatkan oleh leluhur kita melalui ritual-ritual atau tradisi-tradisi yang sekarang masih kita jalankan,” tandasnya.

Sementara itu, Yoris menjelaskan, film ‘Muro’ mengangkat tentang kearifan lokal Muro di Desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Film ini berhasil meraih penghargaan Best Indigenous Film dan Outstanding Cinematography.

Muro merupakan film dokumenter yang bercerita tentang seorang pengelana yang ingin mengetahui tentang tradisi kearifan lokal Muro yang ada di Lembata, khususnya di Desa Tapobaran.

Pengelana tersebut diperankan oleh Ventus Ola, seorang seniman visual asal Adonara yang sekarang berkarier di Kota Jogjakarta.

Di dalamnya, Ventus berinteraksi dengan pemerintah desa dan masyarakat ada desa Tapobaran yang sampai saat ini masih melestarikan kearifan lokal Muro.

“Sebuah kebanggaan buat kami bahwa film ini bisa meraih prestasi internasional. Kami hanya ingin mengirim pesan kepada pemerintah dan masyarakat lokal bahwa tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan ini tidak boleh ditinggalkan dan wajib diwariskan,” ujar Yoris

Yoris pun mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Desa Tapobaran dan masyarakat adat setempat yang telah memberi kesempatan kepada mereka untuk mendokumentasikan Muro.

Di level nasional, film ini sebelumnya berhasil meraih  juara satu kontes video pendek dokumenter, yang diselenggarakan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Center for Transdisiciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) Institute Pertanian Bogor (IPB).

Selain film ‘Muro’, Yoris juga meraih penghargaan di festival yang sama untuk film berjudul ‘Homini’ yang dia kerjakan bersama Jemima Utami.

Film ini meraih penghargaan Woman Rights Award dari Universitas Toronto, Kanada, dalam festival yang sama.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA