Sesudah 17 April

Oleh:  Reinard L. Meo*

Pemilihan Presiden, sejak 2014 berlanjut hingga kini 2019, terlanjur membagi seluruh warga Republik Indonesia ke dalam dua kubu yang saling bersitegang.

Kubu Jokowi vs kubu Prabowo, ditambah kubu Ma’aruf vs kubu Sandiaga. Dalam perjalanan, sebagaimana biasa, muncul kubu ketiga, Golput.

Dalam Pilpres 2019, kubu ketiga kurang lebih diwakili oleh hadirnya Paket Dildo, meski dalam beberapa hal mendasar, argumen Golput tak sama dengan kreativitas timses Dildo yang panas awalnya, lalu melemah belakangan ini.

Fakta bahwa relasi antara kubu-kubu ini tegang dan kian memanas, hari-hari ini, mengharuskan kita untuk sejenak merenung tentang bagaimana Bangsa ini kembali berjalan, selepas 17 April nanti.

Ke mana arah bangsa kita ini nanti? Diam di tempat dan kembali melanjutkan rivalitas atau bersama-sama membangun bonum commune menuju Indonesia yang lebih makmur?

Problem Pengakuan

Selepas 17 April, persoalan paling pertama yang akan muncul ialah seputar pengakuan.

Apakah kubu 01 siap mengaku kalah? Apakah kubu 01 siap mengakui bahwa kubu 02 menang? Apakah kubu 02 siap mengaku kalah? Apakah kubu 02 siap mengakui kubu 01 menang?

Apakah Golput akan mengaku kalah? Apakah Golput akan mengakui bahwa entah kubu 01 entah kubu 02, salah satu kubu menang?

Untuk Golput, mengaku kalah itu jelas, mengingat kuantitas yang tak seberapa, ditambah dengan tidak terfasilitasinya keresahan sampai pada persoalan sistem dan regulasi.

Sedangkan mengakui bahwa ada kubu yang menang, memang tak ada pilihan lain.

Soal besar kita nanti ialah, baik kubu 01 maupun kubu 02 sama-sama tidak atau berat mengakui kekalahan.

Secara psikologis, kalah memang tidak mengenakkan.

Mengakui kekalahan, apalagi di hadapan satu-satunya lawan, seringkali berat, entah karena malu, sakit hati, atau enggan terima kenyataan.

Selain faktor psikologis, hasil-hasil survei yang saat ini terus digiatkan oleh macam-macam lembaga dan sebagainya akan turut menentukan pengakuan. Pemilu-Pemilu sebelumnya sudah cukup memberi bukti bahwa hasil survei sebelum tak selalu persis dengan hasil riilnya.

Ada yang tepat, tipis, bahkan meleset jauh sekali. Faktor berikut ialah soal kerugian yang dikeluarkan selama masa kampanye.

Apakah masing-masing kubu akan legowo bahwa tenaga, waktu, dan uang yang habis-habisan dipakai ternyata tak mendatangkan kemenangan?

Kita sudah cukup digaduhkan dengan klaim-klaim yang sering tak sesuai fakta.

Sekiranya selepas 17 April nanti, kita tidak digaduhkan lagi oleh klaim-klaim bahwa hasil Pilpres tak berjalan sesuai hasil survei sebelum Pilpres. Mengakui menjadi sikap bijak pertama yang wajib ditunggu selepas 17 April nanti.

Hanya dengan mengakui dan menerima kenyataan, fase kehidupan baru sebagai Bangsa besar akan dapat dimulai.

Yang Menanti untuk Diselesaikan

Setelah mengakui, lalu apa?

Mengakui saja baik kekalahan maupun kemenangan, lalu kembali apatis dan tetap diam dalam ego masing-masing kubu, ini juga soal baru yang malah lebih berbahaya nantinya.

Bahaya karena alih-alih menjadi kontrol bagi penguasa baru atau lama yang dibarui misalnya, oposisi hanya akan melampiaskan segala macam ketidakpuasan yang terpaksa ditutupi pengakuan semu itu atas nama kekesatriaan.

Bahaya karena alih-alih menjalankan tugas sebagai penguasa, kuasa digunakan hanya untuk melunasi utang-utang internal atau menutupi kebocoran yang terlanjur dikorbankan dalam proses meraih kemenangan.

Ini tentu bukan yang diharapkan.

Yang diharapkan ialah masing-masing kubu harus memainkan peran dan tupoksinya secara proporsional, mengingat ada begitu banyak soal yang menanti untuk diselesaikan.

Pertama, mengembalikan urusan privat ke tempatnya.

Agama, sebagai urusan privat, sudah terlanjur dipolitisasi. Pemimpin-pemimpin agama terlanjur terjun dalam politik lalu lupa pada tujuan utama panggilannya.

Isu-isu agama yang dimainkan sedemikian sudah saatnya dikembalikan sebagai urusan yang bukan urusan publik.

Selepas 17 April, tugas kita ialah meredam isu-isu keagamaan yang terlanjur memecah-belah.

Kedua, menyudahi segala bentuk intoleransi. Intoleransi dalam banyak wujudnya telah jadi kenyataan yang memilukan.

Angka intoleransi yang kian tinggi menjadikan kita bangsa yang teramat menyedihkan.

Contoh-contoh terkini seperti pengrusakan salib kuburan, pembakaran rumah ibadah, penyerangan saat sedang beribadah, mendesak untuk diselesaikan, mulai dari upaya dialog yang mesti kembali diupayakan karena masing-masing sibuk memenangkan jagoan sampai pada regulasi yang harus lebih tegas implementasinya.

Ketiga, pemberantasan KKN. Korupsi, kolusi, dan nepotisme telah teramat dekat dengan kehidupan kita.

Banyak uang Negara yang dihabisi untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kolusi dan nepotisme kian menguat sampai ke level desa. Sesudah 17 April, KKN mesti menjadi musuh kita bersama.

Keempat, penuntasan sejumlah kasus HAM. Sebagai hal yang krusial dan fundamental, HAM kiranya tak hanya diam dan habis sebagai isu yang diangkat untuk meraih kemenangan semata-mata. Penyelesaiannya mesti diupayakan.

Kasus yang menimpa Novel Baswedan, kasus di Papua, sampai kasus-kasus lama yang menimpa Munir, Thukul, dan lain-lain harus segera disingkap dan dituntaskan.

Korban harus dipulihkan hak-haknya, pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku.

Soal-soal lain yang perlu diselesaikan masih banyak jumlahnya.

Soal ekonomi, soal kian lebarnya jarak antara yang kaya dan miskin, soal pendidikan, pelayanan publik, birokrasi, soal ideologi radikal yang menyasar Pancasila, konflik agraria, dan lain sebagainya.

Sesudah 17 April, pertanyaan paling penting ialah masih mau mempertahankan ego kekubuan atau kembali mengakui bahwa kita Indonesia, kita sama saudara setanah air, dan bergandengan tangan sama-sama membangun negeri menuju bonum commune?

* Freelancer dan relawan sosial, tinggal di Bajawa, Flores, NTT

 

 

spot_img
TERKINI
BACA JUGA