Flores Timur, Ekorantt.com – Warga desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga yang terdiri dari keterwakilan dari keempat suku pemilik lahan tidur yang kini dikembangkan oleh investor menjadi perkebunan mente mendatangi Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kabupaten Flores Timur, Rabu (8/5).
Kedatangan mereka guna mengklarifikasi berbagai isu dan komentar miring yang tengah ramai dihembuskan dan diperbincangkan oleh warga Flores Timur di media sosial terkait kontrak lahan yang dibuat warga dengan pihak perusahaan PT. Tigate Trees Indonesia.
Warga Waibao tersebut adalah Mateus Nasi Lio perwakilan dari Suku Lio, Vitalis Gregorius Raja Kelen perwakilan dari Suku Kelen Raja, Mikael Lana kelen (Kelen raja), Fransikus Kelen dari Suku Kelen Tukan, dan Elias Nitit Perwakilan dari Suku Nitit.
Mateus N. Lio (Suku Lio), kepada Ekora NTT mengatakan, kedatangan Investor untuk mengolah lahan tidur adalah sesuatu yang sudah lama mereka tunggu.
Teus, demikian ia disapa, menjelaskan, bagi masyarakat Desa Waibao, kehadiran investor adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri.
“Kami harus berkata jujur, kami Suku Lio adalah pemilik lahan terbanyak. Masih banyak lahan kami yang belum kami garap dan tertidur selama ini. Kami tidak punya kemampuan modal dan tenaga untuk mengolahnya. Ketika desa kami didatangi pihak investor dan menyampaikan maksud mereka untuk menyewa lahan demi pengembangan tanaman mente hasil okulasi, kami sangat tertarik. Ini berkat Tuhan. Sudah puluhan tahun, kekurangan kami untuk mengolah lahan tidur tersebut, kini teratasi tanpa kami cari,” tegasnya.
“Terjadilah diskusi dan pertemuan sosialisasi oleh pihak perusahaan di desa kami. Kami 5 kali rapat dengan pihak perusahaan hingga akhirnya kami menyepakati untuk menerima niat PT Tigate Trees Indonesia dengan beberapa kesepakatan yang tertuang dalam Berita Acara Kontrak kerjasama sewa lahan seluas 50 hektar milik empat suku di desa Waibao dengan besar nilai kontrak Rp1 juta per tahun,” imbuh Mateus Lio di kantor Distanak Flotim, Rabu (8/05) siang.
Teus menjelaskan keuntungan yang diperoleh dalam kontrak kerja sama dengan pihak perusahaan antara lain, adanya kepatisan hukum hak atas tanah, terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat Desa Waibao dan sekitarnya, meningkatnya pengetahuan petani dalam kaitan dengan pengembangan sistem tanam unggul dengan sistem grafting.
“Proses sertifikasi lahan kami juga diurus pihak perusahaan. Status hukum lahan menjadi jelas, kelak kemudian anak-anak kami tidak lagi koblik tanah karena sudah punya batas-batas yang jelas yang diatur dalam sertifikat. Soal tenaga kerja, tetap diutamakan warga lokal, warga desa Waibao, dan warga desa tetangga. Ada 60 tenaga kerja yang telah dipekerjakan dengan upah per hari Rp 60.000 yang dibayar setiap dua minggu. Masa kontrak ini juga Kami bisa bayar uang sekolah anak kami. Kami juga dapat ilmu baru yang kami tanam mente dengan sistem grafting, yang kemudian dapat kami lakukan di lahan atau kebun kami sendiri yang kami kelolah selama ini. Dalam kontrak ini juga tertuang jelas kesepakatan bersama bahwa setiap 5 tahun kontrak ditinjau kembali,” jelas Teus.
Lebih dari itu, Teus sangat menyayangkan isu dan komentar miring yang tengah ramai diperbincangkan di media sosial.
Menurutnya kebanyakan komentar berasal dari orang-orang yang tidak mempunyai kaitan apapun baik dengan lahan maupun kesepakatan kontrak dari pemilik lahan dan pihak perusahaan.
“Kami minta agar pihak-pihak luar yang tidak berurusan dengan lahan dan kontrak kerja sama dengan pihak perusahaan agar diam. Tidak usah berkomentar, karena semuanya baik-baik saja. Kami ingin investor tetap tinggal di sini karena kami yakin di kemudian hari akan banyak manfaat untuk kami. Bukan kami saja tetapi juga untuk masyarakat di desa sekitar dan Flores Timur secara umum,” tegas Teus.
Hal senada juga diungkapkan Elias Nitit. Menurutnya, kehadiran pihak PT. Tigate Trees Indonesia di Waibao pun berdampak pada pengurangan angka pengangguran, dan menekan warga desa untuk pergi merantau serta mengurangi tingkat kerawanan sosial.
“Beberapa anak muda telah masuk kerja. Kebiasaan mereka yang duduk minum tuak dan arak dipinggir jalan, mabuk lalu buat kacau, kini berubah menjadi pekerja yang ulet.Ada perubahan perilaku. Uang sudah ada di kampung ini, untuk apa nganggur dan cari kacau? Warga yang mau pergi merantau tapi berpikir kembali, uang sedang ada di tanah di kampung kita ini, untuk apa pergi merantau? Ini sisi positif lainnya yang kami peroleh. Dari pada nikmati hujan batu di negeri orang, lebih baik nikmati hujan emas di negeri sendiri,” tandas Elias.
Elias menambahkan, beberapa warga desa Waibao di perantauan pun berencana akan pulang kampung setelah mendengar ada investasi di kampung mereka.