Lahir atas keprihatinannya menyaksikan siswa/i yang banyak menghabiskan waktu luangnya untuk bermain handphone, Br. Kristianus Riberu, SVD lantas berinisiatif mendirikan kelompok pencinta buku yang diberi nama“Kelas Buku”.
Dalam perjalanannya, “Kelas Buku” tersebut bermetamorfosis jadi “Rumah Sastra Kune Bara Syuradikara”. Mereka berlokasi di SMAK Syuradikara, Jalan Wirajaya, Ende.
Sebagai langkah awal, inisiatif sang bruder boleh dibilang memuaskan. Baru berjalan dua kali pertemuan, dia pun menyaksikan perubahan yang baik di antara peserta didiknya.
“Setelah dua kali pertemuan, saya melihat mulai ada perubahan. Mereka mulai memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca. Biasanya, mereka hanya bermain handphone atau bercengkerama. Tetapi, setelah diperkenalkan dengan bahan bacaan, mereka mulai memanfaatkan waktu-waktu itu untuk membaca,” jelasnya.
Bruder Kris mengatakan, umumnya siswa/i di lembaga pendidikan tersebut memiliki potensi yang sangat baik. Hanya saja, mereka butuh pendampingan dan bimbingan dari para pendidik.
Berangkat dari fenomena tersebut, dia kemudian membuka ruang sekaligus peluang kepada anak didiknya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka dalam bidang literasi.
“Mereka anak-anak yang luar biasa. Sayang kalau potensi-potensi yang ada dalam diri mereka dimanfaatkan untuk hal yang tidak berguna. Anak-anak ini hanya butuh pendampingan. Karena itu, saya mendampingi mereka di dunia literasi,” ungkap Bruder Kris.
Masih menurutnya, “Kelas Buku” Syuradikara sudah menjadi kegiatan ekstrakurikuler tetap. Adapun peserta didik yang menjadi anggota “Kelas Buku” berjumlah 40 orang; terdiri dari kelas X dan kelas XI SMAK Syuradikara dan siswa/i SMK Syuradikara.
“Kita sudah punya program kerja untuk satu semester. Ada banyak kegiatan secara khusus pelatihan terhadap penulisan baik puisi, cerpen, berita dan pendampungan penulisan karya ilmiah remaja. Selain itu, ada bedah novel dan bedah film,” tambah dia.
Bruder Kris juga tandaskan bahwa kegiatan yang dilaksanakan itu mendapat banyak dukungan, terutama dari para pendidik, komunitas Syuradikara dan berbagai pihak yang ingin agar anak-anak dapat bertumbuh ke arah yang baik.
Dia menambahkan, selain bedah buku, kegiatan lainnya yakni mengadakan kunjungan ke panti asuhan.
Di sana, peserta didik menghibur para penghuni panti dan saling belajar di antara mereka.
“Mereka tidak saja datang berkunjung, tetapi dengan kunjungan itu, mereka dapat saling belajar,” tuturnya.
Membaca Pramoedya Ananta Toer
Siswa/i yang tergabung dalam kelompok tersebut, menurut Bruder Kris, pertama-tama wajib membaca karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang karya-karyanya masuk dalam nominasi Nobel Sastra.
Dia bilang, karya Pram mesti menjadi bahan bacaan wajib tersebab memiliki kualitas yangsangat kaya.
“Tentang bedah novel, komunitas kita lebih menekankan pada novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Novel Prammenjadi bacaan wajib. Komunitas kami berpikir, buku-buku Pram menjadi buku wajib bacaan karena karyanya sangat mendidik,” jelasnya.
Menurutnya, mengenal Pram berarti mengerti dan mau belajar tentang Indonesia; Indonesia yang pernah berdosa tanpa adanya pengakuan.
Baginya, Pram adalah seorang nabi juga seorang pahlawan yang mengingatkan generasi saat ini bahwa ada masa yang kelam yang dialami Indonesia; masa kelam manusia Orde Baru, yakni hidup dalam ketakutan, tidak berani menyuarakan haknya, apalagi memberontak untuk benar-benar menjadi “manusia”.
Pram menangkap kisah-kisah kelam itu bukan dengan kekuatan fisik untuk memberontak, tapi melukiskan dan mencacat kisah kelam itu dengan pena.
“Pram sastrawan yang pemberani juga sebagai peletak dasar munculnya sastrawan-sastrawan lain untuk berani menyuarakan kebenaran lewat pena. Karena itu, generasi milenal harus tahu dan mengerti Indonesia yang dulu dan sekarang. Mengerti berarti menghargai nilai-nilai luhur serta membatinkan semangat pengorbanan untuk cinta yang mendalam terhadap tanah dan darah Indonesia,” jelasnya.
Belajar dari Jepang
Anggota Serikat Sabda Allah (SVD) yang kini menjadi pengajar di SMAK Syuradikara ini mengatakan, inisiatifnya mendirikan kelompok pencinta buku ini diperolehnya ketika belajar di Jepang.
Selama di Jepang, dia pernah belajar bahasa dan budaya negeri Sakura itu di Universitas Nanzan Nagoya dan bekerja di Sekolah Dasar Nansan, Nagasaki.
Menurutnya, sejarah hidup Jepang sangat erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Setelah pasukan Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang kala itu mengajukan pertanyaan kepada penasihatnya, “Berapa banyak guru yang selamat?”
Pertanyaan sang Kaisar menunjukkan betapa tingginya perhatian seorang pemimpin akan pentingnya tenaga pendidik dalam dunia kependidikan.
Atas dasar ini, Jepang lalu berubah menjadi sebuah negara yang sangat menghargai ilmu. Hanya orang yang memiliki ilmu yang akan menjadikan negara punya jadi diri.
Orang akan menghargai waktu dan mempunyai disiplin hidup karena memiliki ilmu.
Dan mengalami situasi langsung kehidupan Jepang adalah rahmat yang sangat disyukuri oleh Bruder Kris.
“Saya bersyukur bagaimana menyaksikan anak-anakSD duduk diam baca buku dalam kereta pagi saat ke sekolah dan sore setelah kembali sekolah. Buku menjadi teman perjalanan. Saya bersyukur ketika menyaksikan langkah-langkah kaki orang lincah bergerak karena menghargai waktu. Orang Jepang lebih disiplin dari waktu itu sendiri. Saya bersyukur melihat anak- anak SD ketika gurunya ada kegiatan satu persatu memadati meja baca perpustakaan, duduk membaca dan mencatat apa yang dibaca,” paparnya.
“Saya bersyukur karena melihat buku-buku yang ada didalam tas anak-anak mereka pikul tanpa sungut karena mereka sadar mereka tengah memikul ilmu. Di Paroki anak-anak misdinar jarang latihan. Ketika menangung tugas misa hari minggu atau hari raya, mereka ke sakristi, membaca uraian tugas masing-masing lalu ikut perayaan tanpa salah,” kisahnya.
Pada akhir perbincangan, Bruder Kris pun berpesan, hanya dengan membaca buku, orang akan mengerti bahwa dirinya begitu dihargai.
Karena itu, bersama anggota siswa/i yang tergabung dalam komunitas buku, dia ingin agar pertama-tama anak-anak mencintai buku, waktu dan masa depan mereka. (Marianus Nuwa)