Nita, Ekorantt.com– Di Nita terdapat kelompok musik kampung yang memiliki rekam jejak cerita yang panjang. Kelompok itu bernama Musik Kampung Karya Tani dan diketuai oleh Benediktus Edi Djati (54). Dalam bincang-bincang dengan Ekora NTT, Sabtu (11/5/19) di Nita Lalat. Om Edi, demikian dia disapa, membeberkan fakta sejarah perjalanan musik kampung tersebut.
Dia bilang bahwa dulu di Nita ada grup musik kampung, namanya Sedar Grup (Grup Sederhana). Dalam perjalanan waktu, sekitar tahun 1980-an, dia yang merupakan bagian dari Sedar Grup itu diberikan sebuah alat musik orkes langgam keroncong dari Departemen Kebudayaan Kecamatan Nita.
Sedar Grup kemudian berubah nama menjadi Telaga Band Nita dan dipimpin langsung oleh Om Edi. “Ada pelatih nasional yang membimbing kami. Namanya Fransiskus Laro,” ungkap dia. Telaga Band Nita kemudian beroperasi, namun berhenti pada tahun 1992 karena semua alat musik rusak ditimpa gempa tektonik.
“Yang sisa hanya sebuah Selo Bass dan masih tersimpan sampai sekarang. Bagaimana pun itu, saya tidak patah semangat karena musik sudah menjadi bagian dari hidup saya,” kata dia melanjutkan.
Sempat tersendat-sendat, akhirnya pada tanggal 18 Juni 2018 lalu, atas perjuangan pribadi, dia menciptakan lagi grup musik kampung yang baru dan diberi nama “Karya Tani”. Personelnya berjumlah tujuh orang dan dilengkapi dengan alat-alat tradisional, seperti okulele, strim bass, drum kampung dan giring-giring lokal.
Arti dari “Karya Tani” sendiri sangat berkaitan erat dengan kehidupan orang-orang timur. Kata “karya” memiliki arti pekerjaan, dan “tani” artinya mata pencaharian dalam bentuk bercocok tanam. Itulah yang menjadi filosofi bermusik mereka.
Musik “Karya Tani” ini lantas tampil perdana di panggung dengan lagu yang perdana pula berjudul “Ai Nita”. Menariknya, penampilan itu berbarengan dengan peluncuran buku “Ai Nita” di Aula Koperasi Sube Huter Nita atas inisiasi dan permintaan Kepala Desa (Kades) Nita, Antonius B. Luju.
Langkah awal itulah yang membuat grup ini tetap bertahan sampai sekarang. Dalam perjalanannya, kelompok musik “Karya Tani” pun tampil di acara-acara, seperti pesta sambut baru dan nikah dengan bayaran kurang lebih Rp 1.000.000.
Namun, menurut penuturan Om Edi, kalau acara resmi mereka mendapat upah sebesar Rp 2.500.000. “Itu sudah termasuk dengan permintaan lagu dan tidak dibatasi waktu,” beber Om Edi lebih lanjut.
Om Edi mengatakan bahwa musik “Karya Tani” juga sudah diperkenalkan di Perancis oleh Roman Garsia yang sebelumnya diperkenalkan oleh Sanggar Lepo Lorun Nita. “Saya turut berbangga bukan karena tidak mempunyai pendidikan tapi berbangga karena bakat dari Tuhan untuk berjuang melatih orang yang tidak tahu menjadi tahu, misalnya latih nyanyi dan musik,” ujarnya.
Tidak hanya berhenti sebagai ketua musik kampung saja, Om Edi juga pandai merangkai kata menjadi sebuah syair lagu yang menarik. Sebagian besar lagunya mengisahkan budaya Sikka.
“Pada akhir tahun 2018 kemarin, saya membuat sebuah lagu yang bermula dari kisah nyata tentang “Nuhang Flores” atau orang-orang biasa sebut dengan satu kepulauan Flores yang indah, seperti Tanjung Kaju Wulu yang sekarang menjadi tempat pariwisata Sikka dengan nama Tanjung itu. Beberapa syair menarik ini saya rangkum dan dikolaborasikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sikka,” kata om Edi.
Sebuah syair sederhana yang menggambarkan keindahan alam tanah Sikka tersebut adalah bentuk pujian Om Edi sekaligus cara untuk merawat budaya. Beberapa syair lagu yang ditulis berbunyi demikian,
“Nuhang flores nuhang werung
Nian Sikka tanah detung
Maumere tetaplah manis
Selalu indah dipandang mata
Kaju wulu bertanjung dua
Pantainya indah tempat tamasya
Untuk menghibur tua dan muda
Selalu dijaga sepanjang masa
Reta keleng kimang buleng
Natar dadi nang danau rano
Pigang pitu makok walu
Bekor due dong pitu
Jaga saing plamang saing
Saing dudeng sampe dading
Dari sepenggal lagu ini Om Edi mengartikan bahwa banyak kekayaan alam di Nian Tanah Sikka ini bisa dijadikan inspirasi untuk membuat sebuah lagu. Oleh karena itu, itu mesti diindungi. Katanya, “Saing dudeng sampe dading” atau “Selalu dijaga sepanjang masa.” (Okto Muda/ kontributor)