Maumere, Ekora NTT– Orang pintar atau cerdas mesti lebih banyak jadi jurnalis. Demikianlah salah satu pesan yang disampaian peneliti yang belajar khusus soal media, Dominggus Elcid Li, dalam kegiatan Workshop “Keragaman, Gender dan Seksualitas”, di Hotel Pelita Maumere, Kamis (13/6/2019).
Direktur lembaga riset IRGSC Kupang ini menjelaskan bahwa saat ini kualitas media di Indonesia, terutama NTT, terkesan memprihatinkan.
Itu tampak dalam penulisan berita yang buruk, minimnya interpretasi wartawan atas sebuah peristiwa dan kecenderungan media untuk jadi humas pemerintah.
“Wartawan harus jeli dan punya rasa untuk membaca realitas. Jangan sampai mentah-mentah menuliskan sebuah berita tanpa melakukan penelusuran lanjutan.
Apalagi sekarang kita berada di era click bait yang tentu lebih rumit lagi. Orang berusaha membikin berita sedemikian rupa untuk mengundang klik dari pembaca,” katanya.
Padahal, menurut Elcid, pada era reformasi dan keterbukaan sekarang, praktik-praktik jurnalisme mesti betul-betul menjadi payung bagi publik dan jalankan sikap kontrol atas kekuasaan. Keberpihakan media harus kepada rakyat dan bukannya penguasa.
Meskipun begitu, dia tak serta merta menyalakan para kuli tinta itu.
Pasalnya, wartawan juga dituntut oleh pihak media untuk mencari berita dalam jumlah tertentu dalam sehari sehingga kadang menyulitkan wartawan untuk melakukan interpretasi lanjutan.
“Rilis-rilis yang ada diberitakan begitu saja tanpa mengecek apakah itu menguntungkan publik atau tidak. Satu hari wartawan mesti cari sampai tujuh berita.”
Makanya, dia pun menyarankan agar banyak orang pintar atau punya kapabilitas intelektual yang kritis untuk menggeluti profesi pewarta itu.
Ketika setiap orang pun lembaga bisa membikin medianya sendiri, ataupun tatkala kepentingan oligarki media berkecambah kuat, orang-orang tersebut diharapkan mampu mengajukan posisi tawar sehingga pemberitaan punya sisi edukasi bagi masyarakat.
“Di NTT, beberapa wartawan hebat malah ujung-ujungnya jadi caleg,” tambah Doktor dari Universitas Birmingham, Inggris, ini.
Elcid sendiri sebelum memutuskan untuk mendirikan lembaga penelitian dan sosial IRGSC telah lama lintang pukang bergelut sebagai jurnalis.
Di Inggris misalnya, dia pernah menjadi salah satu kontributor media moncer di Indonesia, Tempo.
Ataupun ketika di Jawa, dia beberapa kali terlibat dalam liputan investigasi, bahkan harus mengambil risiko untuk keluar masuk hutan.
“NTT butuh banyak wartawan cerdas di daerah-daerah. Provinsi ini butuh media kredibel untuk menyuarakan kaum-kaum pinggiran dan tak sekadar menjadi alat atau subjek yang mudah dipelintir begitu saja oleh penguasa,” tutupnya.