Kupang, Ekorantt.com – Warga Kota Kupang, Germanus S. Attawuwur, menulis Surat Terbuka kepada Gubernur NTT terkait penetapan Anggota Komisi Informasi NTT yang menurutnya bermuatan politik primordial.
Berikut isi lengkap Surat Terbuka tersebut yang diterima Ekora NTT, Selasa pagi, 23 Juli 2019.
Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang saya hormati, pertama sekali, saya mohon maaf karena saya harus bertemu Bapak dengan kondisi Surat Terbuka ini.
Kedua, poin penting yang hendak saya sampaikan dalam Surat Terbuka ini adalah Penetapan Calon Komisi Informasi NTT yang Bermuatan Politik Primordial, yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 25 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Saya memilih membuat Surat Terbuka kepada Bapak, karena saya mengagumi gebrakan-gebrakan inovatif Bapak, baik melalui perkataan maupun perbuatan yang sudah Bapak lakukan .
Masih segar di memori saya adalah pernyataan Bapak yang pernah dilansir oleh sebuah koran lokal yang mengutip pernyataan Bapak bahwa Bapak dipilih bukan untuk menjadi Gubernur suku tertentu.
Pernyataan Bapak sangat didaktis-humanis, mengandung unsur pembelajaran universal yang holistik bagi siapa pun yang ada di NTT ini.
Saya yakin, Bapak membuat pernyataan ini berangkat dari refleksi panjang atas praktik penyelenggara pemerintahan yang selama ini terjadi di daerah ini.
Maka pernyataan Bapak, “Gubernur dipilih bukan untuk suku tertentu”, mestinya juga menjadi semangat anggota Komisi I DPRD NTT.
Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT yang terhormat,
Saya memberikan apresiasi kepada Bapak, karena Bapak berani membentuk lembaga negara ini walau Bapak belum setahun memimpin provinsi ini.
Saya menilai Bapak memiliki political will yang tinggi karena mestinya menurut amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, komisi ini dibentuk di daerah-daerah setelah dua tahun Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini disahkan pada tanggal 30 April 2008.
Ternyata komisi ini sudah jauh tertinggal sembilan tahun dari komisi informasi di daerah lain.
Pembentukan Komisi Informasi ini tentu bukan tanpa pertimbangan matang.
Bapak pasti memiliki pertimbangan yang tidak jauh berbeda dari tujuan dibentuknya Undang-Undang ini, yakni untuk mengakomodir hak-hak sipil masyarakat untuk ikut mengawal dan mengawasi pemerintahan agar berjalan baik dan bersih.
Tentu bagi Bapak, kehadiran Komisi Informasi Publik di NTT akan sangat membantu untuk mewujudkan visi Bapak; Menuju NTT Bangkit dan Sejahtera.
Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT yang terhormat,
Pembentukan Komisi Informasi ini melalui proses panjang sejak bulan Februari lalu. Tentu tahapan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Biaya yang besar itu begitu saja diabaikan oleh Komisi I DPRD NTT dengan cara penetapan calon komisioner yang bernuansa primordialistik dan diskriminatif.
Sebagaimana saya kutip langsung pernyataan Ketua Komisi I DPRD NTT,
“Kami sudah tetapkan lima nama. Lima nama yang lolos seleksi itu yakni Pius Rengka, Maryanti Luturmas Adoe, Iksan Pua Upa, Agustinus Bole Baja dan Daniel Tomu.”
Lanjutnya lagi, terkait aspek-aspek terpilihnya lima anggota komisioner ini, kata dia, aspek yang diteliti, yakni hasil fit and proper test, terkait materi makalah dinilai penguasaan makalah dan track record dari calon.
Faktor non teknis yang dinilai adalah perwakilan wilayah, gender dan agama.
Ia mencontohkan, Pius Rengka dan Ikhsan Pua Upa mewakili Flores, mewakili Katolik dan Muslim. Maryanti Adoe mewakili Rote dan Flores serta perwakilan gender.
Daniel Tonu dari Alor mewakili akademisi, serta Agustinus Bole Baja mewakili Sumba dan representasi Pers NTT. (www.nttterkini.com edisi 15 Juli 2019).
Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT yang terhormat,
Bila pertimbangan Komisi I dari aspek non teknis yang dijadikan acuan internal untuk menetapkan kelima calon anggota komisioner Komisi Informasi tidak diungkapkan ke publik oleh Ketua Komisi I, maka publik tentu menghormati proses penetapan itu.
Karena itu menjadi kewenangan prerogatif Komisi I DPRD NTT.
Namun, Ketua Komisi I begitu “jujur dan polos” mengungkapkan hal sebagaimana saya kutip di atas, yang justru menyalahi Pasal 25 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 yang mengatur bahwa Anggota Komisi Informasi mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
Pertanyaan saya adalah dari kelima calon komisioner yang sudah ditetapkan oleh Komisi I itu, siapakah dari mereka yang mencerminkan unsur pemerintah?
Dapatkah Komisi I DPRD membuktikan bahwa dari kelima calon itu, adakah seseorang yang adalah cerminan dari pemerintah?
Jika peserta seleksi yang disodorkan tim seleksi tidak satu pun mencerminkan unsur pemerintah, mengapa Komisi I DPRD NTT tidak mengembalikan hasiil seleksi itu kepada tim seleksi?
Mengapa sebegitu gampangnya melakukan fit and proper test dan menetapkan para calon dengan pertimbangan primordial?
Bukankah mengabaikan perintah undang-undang patut diduga telah terjadi praktik abuse of power di kalangan Komisi I DPRD NTT?
Sadarkah bahwa dengan demikian Komisi I DPRD NTT telah menciderai dan melukai rasa keadilan kesembilan peserta yang dinyatakan tidak lulus fit and proper test?
Jadi, pernyataan Bapak yang saya kutip di atas bahwa Gubernur dipilih bukan untuk menjadi Gubernur suku tertentu, bertabrakan dengan semangat Komisi I DPRD NTT.
Prinsip mereka justru terbalik, para anggota Komisi I DPRD NTT dipilih untuk kepentingan daerah dan agamanya, yang jelas tergambar dalam pernyataan Ketua Komisi I.
Untuk itu Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT yang kami hormati,
karena hasil penetapan komisioner komisi informasi ini justru bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, Pasal 25 huruf b, dan menciderai rasa keadilan publik, maka semoga Bapak memiliki keberanian yang besar untuk menganulir hasil penetapan itu.
Beranikah Bapak dengan kewenangan yang ada meminta tim seleksi dan Komisi I DPRD NTT mengumumkan kepada publik hasil perolehan nilai dan ranking dari peserta seleksi, mulai dari uji kompetensi akademik, hasil psiko test, hasil wawancara tim seleksi dan terakhir hasil fit and proper test dari Komisi I DPRD.
Karena bukankah seleksi komisioner Komisi Informasi Publik harusnya terbuka?
Bila ditutupi maka patut diduga ada hal yang “tidak beres.”
Hormat,
Germanus S. Attawuwur
Warga NTT tinggal di Kota Kupang