Oleh dr. Erwin Yudhistira Y. Indrarto
Penyebaran virus rabies di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin meluas baru-baru ini. Pemerintah Kabupaten Sikka pun menetapkannya menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka dr. Maria Bernadina Sada Nenu mengatakan, telah terjadi peningkatan kasus kematian karena penyakit rabies lebih dari 50%. Sedangkan Balai Besar Veteriner (BBVet) di Denpasar sudah memastikan terdapat 27 spesimen otak anjing yang tertular rabies di wilayah Kabupaten Sikka.
Apa yang sebaiknya perlu kita ketahui?
Rabies atau disebut juga penyakit anjing gila adalah infeksi pada susunan saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia yang disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berarti mengamuk atau kemarahan). Rabies berasal dari bahasa Latin “rabere” yang artinya marah. Dalam bahasa Sansekerta “rabhas”, berarti kekerasan.
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies (HPR). Di Indonesia, HPR pada manusia adalah anjing, kucing, dan kera. Namun, yang menjadi sumber penularan utama adalah anjing.
Sekitar 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan anjing. Di dunia, sebanyak 99% kematian akibat rabies disebabkan oleh gigitan anjing. Cara penularan rabies melalui gigitan, goresan cakaran atau jilatan pada kulit terbuka oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Virus rabies tidak dapat masuk melalui kulit manusia yang utuh. Selain itu, virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pada keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak misalnya ether dan kloroform, dan air sabun.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017, terdapat 25 provinsi tertular rabies. 9 provinsi lainnya yang dinyatakan bebas rabies yaitu Papua, Papua Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Sedangkan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) terbanyak tahun 2017 terjadi di Bali, yaitu sebanyak 29.391 kasus, diikuti oleh NTT sebanyak 10.139 kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 5.348 kasus. Kemudian tahun 2018, kasus GHPR di Bali menurun menjadi 26.130 kasus, sedangkan di NTT meningkat menjadi 12.530 kasus.
Gejala penyakit rabies dapat muncul dalam waktu 2 minggu sampai 2 tahun setelah terpajan oleh virus. Terdapat 4 tahap gejala penyakit rabies pada manusia, yaitu tahap pertama (prodormal) dapat berlangsung 1 – 4 hari, dimulai dengan demam, lemas, tidak nafsu makan, nyeri kepala hebat, insomnia, dan sakit tenggorokan. Tahap kedua (sensoris) sering ditemukan rasa kesemutan atau rasa panas pada di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih terhadap rangsang sentuhan. Pada tahap ketiga (eksitasi) penderita tampak bingung, gelisah, mengalami halusinasi, tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif. Perlu diingat pada tahap ini terdapat gejala khas, yaitu penderita menjadi takut berlebihan pada air (hidrofobia). Gejala lainnya adalah penderita sangat peka terhadap angin (aerofobia), peningkatan jumlah air mata, air liur dan keringat, serta kaku otot. Tahap keempat (paralisis) terjadi kelumpuhan otot secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan/cakaran. Perlahan akan terjadi penurunan kesadaran dan akhirnya mati karena kelumpuhan otot pernafasan dan jantung.
Sementara itu, gejala rabies pada anjing dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe ganas dan tipe tenang. Pada tipe ganas, anjing tidak menuruti perintah majikannya lagi, menyerang dan menggigit apa saja yang bergerak atau dijumpai, lari tanpa tujuan, lupa pulang, berkelahi tidak mau kalah, kejang yang disusul kelumpuhan dan biasanya mati dalam 4-7 hari setelah gejala pertama muncul. Pada tipe tenang, anjing menjadi bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, tidak mampu menelan, mulut terbuka, air liur berlebihan, kejang, kelumpuhan, dan kematian dalam waktu singkat.
Penderita yang telah digigit/dicakar HPR dapat melakukan pencegahan agar tidak terinfeksi virus rabies dengan cara segera mencuci luka dengan menggunakan sabun di bawah air mengalir selama kurang lebih 15 menit. Hal tersebut sangat penting untuk penanganan awal karena sifat virus rabies yang dapat mati dengan sabun. Pencucian luka tidak menggunakan peralatan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan luka baru di mana virus akan semakin masuk ke dalam. Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya diberikan antiseptik untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan. Antiseptik yang dapat diberikan diantaranya povidon iodine, alkohol 70%, obat merah dan zat antiseptik lainnya.
Selanjutnya, penderita segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit untuk mendapatkan vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR). Tujuannya adalah untuk membangkitkan daya tahan dalam tubuh terhadap virus rabies dan diharapkan antibodi yang terbentuk akan menetralisasi virus rabies. Namun, bila virus telah mencapai susunan saraf pusat pemberian vaksin ini tidak akan memberikan manfaat lagi. Perlu diperhatikan juga tidak semua penderita diberikan VAR dan SAR. Pemberian tersebut perlu mempertimbangkan kondisi hewan pada saat pajanan terjadi, hasil observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium otak hewan, serta kondisi luka yang ditimbulkan.
Kondisi luka dapat berupa luka risiko tinggi yaitu jilatan atau luka pada lapisan kulit bagian dalam, luka di atas bahu (leher, muka, kepala), luka pada jari tangan dan jari kaki, luka di area kelamin, luka yang lebar atau dalam, atau luka yang banyak. Sedangkan luka risiko rendah, yaitu jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang menimbulkan luka lecet di area badan, tangan, dan kaki. VAR diberikan pada luka risiko rendah dan tinggi, sedangkan SAR diberikan pada luka risiko tinggi saja. Pemberian VAR dapat dihentikan bila hewan yang melakukan gigitan tetap sehat setelah dilakukan pengamatan selama 10-14 hari atau hasil pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen otak hewan menunjukkan hasil negatif.
Perlu diketahui juga sekali gejala rabies muncul, sangat kecil peluang penyembuhannya secara statistik. Sampai saat ini, belum ditemukan obat/cara pengobatan untuk penderita rabies sehingga selalu diakhiri dengan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Maka dari itu penting untuk melakukan pencegahan penularan penyakit rabies. Salah satunya dengan menghindari gigitan anjing.
Selain itu, pemilik anjing diharapkan menjadi pemilik yang bertanggung jawab dengan cara mengikat atau memasukkan anjing ke kandang serta aktif ikut serta melakukan vaksinasi anjingnya secara berkala setiap tahun. Dengan melakukan vaksinasi, 70% populasi anjing di daerah yang berisiko rantai penularan rabies dapat diputuskan. Upaya pencegahan penularan penyakit rabies juga membutuhkan kerja sama lintas sektor terkait dan peran serta masyarakat.
Sudahkah Anda terlibat aktif?
*Dokter Umum di Puskesmas Watubaing, Kabupaten Sikka, NTT