Borong, Ekorantt.com – Sejak pagi (17/8/2019), suasana di lapangan sepak bola SMAK St. Arnoldus Mukun, Desa Golo Meni terlihat riuh. Warga masyarakat dari segala lapisan usia berbondong-bondong menuju tempat tersebut. Menurut kabar, tepat pukul 09.30, pergelaran caci -tarian adat masyarakat Manggarai- akan dihelat di situ.
Beberapa sekolah di wilayah Desa Golo Meni telah menyiapkan satu pentas budaya yang menarik, dengan caci sebagai sajian utamanya. SMPN Satap Pedak, SMPN Satap Watu Mundung, dan SMP Katolik Pancasila Mukun adalah sekolah-sekolah yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk acara tersebut. Selain untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, hari itu sekaligus menjadi momen unjuk gengsi antar sekolah.
Kian terik hari, kian dekat waktu pergelaran caci dimulai. Lapangan kian padat dengan warga masyarakat yang hendak menonton. Mereka terlihat begitu antusias. Masing-masing memilih dan memprediksi jagoannya. Antusiasme mereka juga diakibatkan oleh jarang ada kesempatan bagi mereka untuk berkumpul dan menyaksikan perhelatan besar seperti ini.
Suasana lapangan menjadi semakin riuh meriah ketika rombongan ronda tarian caci dari ketiga sekolah tersebut memasuki arena caci. Dari suara mereka terdengar nyanyian kelong. Nyanyian itu tak lagi asing bagi telinga sebagian besar masyarakat desa. Lagu kelong adalah lagu khas yang biasa dinyanyikan oleh para penari caci pada saat memasuki arena.
Para penari caci terlihat elok dan mempesona. Mereka mengenakan busana yang memperlihatkan khasanah kekayaan dan karakter fashion adat Manggarai. Songke, balibelo, selendang, dan panggal menjadi atribut-atribut tradisional yang secara langsung dapat terlihat melekat indah di tubuh para penari.
Songke dipakai oleh para penari dari pinggang hingga sebatas lutut, membalut celana panjang putih yang lebih dahulu dikenakan. Bersama songke, ada juga selendang leros yang dililit di sekitar pinggang, membungkus celana putih. Ndeki dikenakan di bagian belakang tubuh, menutupi bagian bawah punggung hingga tulang ekor. Ia berbentuk serupa ekor kerbau atau komodo. Nyaris tak ada beda.
Para penari mengenakan panggal di bagian kepala. Ia berbentuk seperti kepala kerbau lengkap dengan tanduknya, terbuat dari kulit kerbau yang keras. Kain warna-warni dililitkan di beberapa bagian panggal, menjadi ornamen yang menghiasinya. Panggal dikenakan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan sapu atau destar. Ia berfungsi melindungi luka lecet di sekitar wajah.
Tubuh mereka dibiarkan telanjang. Sinar mentari yang menyentuh keringat para penari, membuat tubuh mereka seolah bercahaya. Pada bagian itulah partner tari akan mengarahkan serangannya. Semakin telanjang tubuh itu dibiarkan telanjang dan kuat menghadapi serangan, semakin perkasa sang penari di mata warga, para penonton.
Musik dari tetabuhan gendang, gong, tembong, dan kidung adat semakin memperkuat tampilan visual para penari caci. Berpadu dengan riuh suara penonton, suara-suara itu membangkitkan aura mistis yang akrab dan dekat, membakar suasana, dan mengalahkan panas matahari, membuat penonton enggan beranjak.
Sebelum caci dimulai, sesepuh adat meminta para penari lainnya menarikan danding atau tandak Manggarai. Tarian tersebut dibawakan laki-laki dan perempuan. Tarian itu telah disiapkan khusus untuk memeriahkan pergelaran caci.
Ada dua kelompok penari. Masing-masing kelompok mengutus satu orang untuk saling berhadapan. Yang satu berperan sebagai pemukul (paki) dan yang lain berperan sebagai penangkis (ta’ang). Keduanya akan bertukar peran setelah kurun waktu tertentu.
Sebelum matahari sejajar dengan ubun-ubun kepala, kedua penari mulai meliuk-liukan badannya. Masing-masing kelompok turut menyemangati jagoannya. Gong dan gendang yang dipukul dari luar lapangan kian riuh membahana, beradu dengan suara penonton. Musik juga terdengar dari tubuh para penari. Mereka melantunkan syair dari mulut mereka, diiringi ritme hentakan kaki yang turut membunyikan lelonceng kecil-kecil (nggorong) yang melingkar di atas mata kaki.
Paki mulai beraksi. Ia berusaha menyerang lawan dengan sebua pecut yang lentur tetapi keras. Pecut itu terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Di bagian pegangan pecut tersebut, ada beberapa lilitan kulit kerbau. Sedangkan di ujungnya, terpasang kulit kerbau tipis yang sudah kering dan keras, atau biasa disebut lempa, yang menjadi mata senjata tersebut.
Paki mulai menari-nari sembari mendendangkan larik (embong larik), sejenis strategi meninabobokan lawan. Pada saat tertentu yang dirasa tepat, ia mengayunkan pecut, mengincar bagian-bagian tubuh yang terbuka dari lawan tarinya.
Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (ta’ang) berusaha menangkis serangan-serangan paki dengan sebuah perisai. Perisai itu disebut nggiling. Perisai ini pun terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Nggiling berbentuk bundar dipegang dengan satu tangan. Sementara sebelah tangan lain memegang busur penangkis. Busur penangkis itu terbuat dari bambu, disebut agang atau tereng.
Caci berlangsung semarak. Meski masih remaja, para penari berhasil menampilkan karakter ketangkasan laki-laki Manggarai. Kedua penari menarikan perannya masing-masing, saling berganti menjadi paki dan ta’ang. Menyerang dan bertahan pada gilirannya masing-masing.
Penonton bersorak. Antusiasme di wajah mereka tidak dapat disembunyikan. Mereka menikmati pergelaran itu. Menikmati tubuh-tubuh penari yang berkeringat. Menikmati penetrasi dan usaha bertahan, jeda dan gerakan-gerakan lincah dari para penari. Pergelaran ini jadi hiburan yang sungguh menggembirakan. Selain tentu, menjadi peristiwa kebudayaan yang kaya makna.
Kepala Desa Golo Meni, Hermenigildus Jehadut merasa puas. Idenya menggelar caci dalam perayaan ulang tahun ke-74 kemerdekaan Indonesia sukses dieksekusi. Sejak awal ia memang punya visi menjaga dan terus merawat kekayaan budaya Manggarai. Pergelaran caci di hari kemerdekaan ini adalah salah satu wujudnya.
Jehadut sadar, secara tradisional, selama ini tarian caci hanya dibawakan oleh orang dewasa. Dalam pergelaran kali ini, ia membuat sesuatu yang berbeda. Ia mengundang siswa-siswa sekolah menengah pertama. Alasannya jelas. Ia ingin agar generasi muda belajar dan terus mencintai serta menghargai budaya caci dengan baik.
“Generasi muda jangan melihat tarian caci sebagai hal yang biasa-biasa saja. Mereka perlu jaga dan lestarikan caci dengan baik. Adanya pergelaran caci seperti ini mungkin bisa menggugah hati generasi muda untuk lebih mengenal dan lebih tau makna dan filosofi budaya caci“, ungkapnya.
Wajah Maria Anita Jau, salah satu warga penonton tampak berbinar. Ia tak hanya kagum dengan pergelaran caci yang digelar. Ia optimis dengan visi pengembangan kebudayaan yang digagas kepala desa.
“Melestarikan budaya sendiri merupakan suatu bentuk kecintaan warga terhadap daerah dan tanah para leluhur. Para leluhur telah mengorbankan segalanya untuk mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan ciri serta kekhasannya. Tidak perlu menjadi diri yang lain jika semuanya hanya imitasi. Karena budayamu sendiri asli adanya”, ungkap Jau.
Ide Jehadut mungkin terdengar sepele. Harapan Jau boleh jadi sedikit menopangnya. Meski demikian, keduanya memberi perspektif yang tidak biasa dalam melihat pembangunan. Ketika developmentalisme menguasai paradigma pembangunan dan capaian-capaian pembangunan diukur hanya dengan segala sesuatu yang terlihat (visual) layaknya monumen-monumen yang kian marak dibangun di daerah-daerah, keduanya berusaha membuktikan bahwa nilai, budaya, dan karakter manusia adalah juga subjek-subjek pembangunan yang perlu mendapat perhatian, meski progresinya kerap tak terlihat.
(Mulia Donan)