Orang Muda Solor Merespons Isu Kebakaran Lewat Seni

Larantuka, Ekorantt.com – Pada pertengahan tahun ini, asap tebal imbas pembakaran hutan dan lahan di Solor kerap membumbung. Pemandangan menyedihkan itu bukanlah hal yang asing, malah terus terulang saban tahun.

Harian Flores Pos (FP) mencatat, pada Juli 2019 saja, api melahap lima tempat berbeda di Solor Barat (FP, 20/7/2019). Bermula di kawasan Nuha Wae Nanga di desa Lamawalang, disusul gunung Blopo di desa Kalelu, kemudian kebakaran juga terjadi di tempat-tempat lain: Peran Wolor di desa Nuhalolon, sebagian padang di desa Daniwato, hingga Nurak, hutan tutupan di antara desa Balaweling 1 dan desa Lewonama. 

Aksi pembakaran pun terus terjadi hingga Agustus. Berdasarkan pantauan Flores Pos, pada Selasa (27/8/2019) terjadi peristiwa kebakaran di lahan sebelah barat Markas Koramil 05 Solor di Goran, Solor Timur (FP, 30/8/2019).

Beragam tanggapan pun muncul terkait masalah kebakaran tersebut. Yuliana Gelale Muda, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lamawalang mengeluhkan lemahnya pengawasan dari petugas Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelola Hutan (UPT KPH) Kabupeten Flores Timur (FP, 8/8/2019).

Petrus Ado Lewar, penyuluh lapangan UPT KPH Kabupeten Flores Timur beralasan, pihaknya ketiadaan dana untuk membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kebakaran (FP, 18/7/2019).

Sementara Vinsensius Keladu, Kepala UPT KPH Kabupeten Flores Timur dan Melki Mone, Bintara Pembina Masyarakat Desa (Babinsa) Solor Barat sama-sama berharap warga tidak lagi melakukan aksi membakar hutan dan lahan. Melki bahkan menegaskan, harus dipasang kamera pemantau agar pelaku pembakaran mudah dilacak (FP, 21/8/2019).

Sepintas, para pemangku kepentingan tersebut masih sebatas memberikan anjuran dan harapan, sementara ketiadaan dana seakan menjadi momok yang melemahkan kerja-kerja mereka.

Merespons Lewat Seni

Anisetus Wahing Ledor, Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Santo Mikael Pamakayo memiliki pemikiran berbeda. Iwan, begitu ia biasa disapa, berpendapat, penyebab mendasar tidak selesai-selesainya masalah kebakaran di Solor ialah hilangnya kesadaran dan kepedulian.

Warga menganggap kebakaran sebagai hal yang lumrah dan belum gencarnya gerakan menanam, jelasnya.

Sementara dana bukanlah menjadi masalah, lanjut Iwan. Setiap tahun, kegiatan menyongsong Hari Ulang Tahun Republik Indonesia dan Hari Sumpah Pemuda tingkat kecamatan memakan biaya besar meski seakan tanpa hasil yang jelas.

Desa-desa memiliki dana besar, digelontorkan untuk kegiatan seremonial tahunan, padahal ada masalah yang sangat urgen di depan mata, sesal Iwan.

Dasar pemikiran itulah yang mendorong Iwan dan kawan-kawan OMK menggelar dua hari kegiatan seni. Kegiatan yang telah dilaksakan pada 8-9 Oktober 2019 lalu di Pamakayo, Solor Barat, Flores Timur itu mengusung tema kecil API+S: Aku Peduli Indahnya Solor.

Isi kegiatannya berupa lomba musik akustik, pertunjukan teater, dan pameran foto. Lagu-lagu yang dilombakan, proses penciptaan teater, dan pemilihan karya foto, terfokus pada refleksi tentang isu kebakaran di Solor. Tujuannya jelas, menumbuhkan kesadaran banyak orang.

Terkait pemilihan jenis kegiatan, menurut Iwan, seni, terlebih musik, merupakan media yang dekat dengan siapa saja. Seni menjadi media yang elegan menyampaikan pesan dan kritikan, dalam hal ini isu kebakaran, sekaligus menjadi media yang paling cepat mengumpulkan banyak orang. Selain itu, lanjut Iwan, seni di Solor belum memeroleh ruang ekspresi yang luas.

Kegiatan kecil itu tak disangka disambut dengan antusiasme besar. Lima grup band akustik yang terlibat berasal dari tiga paroki berbeda. Nuhalolon Band, Ananda Band, dan Jendral Akustik dari Paroki Pamakayo, Kadiarsa Band dari Paroki Kalike, dan Lokustik Band dari Paroki Ritaebang.

Tim juri pun ialah musisi dan penyanyi asal Solor: Rusmin Gapun, Goris Lein, dan Roslin Ledor. Penonton membeludak dua malam berturut-turut sampai harus berdesakan di luar ruangan karena tak kebagian tempat. Sementara pertunjukan teater melibatkan Behing, kelompok teater SMA Negeri 1 Solor Barat. Kegiatan kecil itu berusaha merangkul bakat-bakat seni dan memengaruhi kesadaran banyak orang.

Kehadiran camat setempat, para kepala desa, kepolisian, dan pemimpin gereja setempat menambah besar gaung kegiatan kecil itu. Iwan berharap, para pemangku kepentingan tersebut bisa melahirkan kebijakan dan atau gerakan untuk menyelesaikan isu ekologi di Solor.

Kegiatan dua malam itu meninggalkan kesan tersendiri, setidaknya bagi saya.

Lagu wajib yang dilombakan berjudul Lestari Alamku ciptaan Gombloh yang dipopulerkan Boomerang. Pada malam pertama lagu itu lima kali dinyanyikan oleh lima grup band berbeda. Setelah satu gugur, empat grup band kembali menyanyikan lagu yang sama pada malam kedua. Lagu itu diulang sembilan kali dalam dua malam, tetapi pengaruhnya tentu tak dapat diukur dengan angka-angka.

Lirik-liriknya terus mengiang dan mengelitik perasaan saya dan mungkin siapa saja yang hadir:

Damai saudaraku, suburlah bumiku/ Kuingat ibuku dongengkan cerita/ Kisah tentang jaya Nusantara lama/ Tenteram Kartaraharja di sana.

Mengapa tanahku rawan kini?/ Bukit-bukit pun telanjang berdiri/ Pohon dan rumput/ Enggan bersemi kembali/ Dan burung-burung pun malu bernyanyi.

Mendengarkan lagu itu berulang-ulang memperjelas wajah Solor sendiri: pulau yang konon menjadi negeri kaya cendana di masa lalu, kini dibakar, dirusak alamnya.

Foto-foto yang dipamerkan pun tak kalah menggelitik. Hasil bidikan Wanthy Hayon itu di antaranya menampilkan barisan pohon ampupu yang mengering di sebuah bukit karena habis terbakar.

Beberapa di antaranya bahkan telah ditebang, bersiap menjadi kayu-kayu api. Ada juga yang menampilkan sekawanan kambing yang mencari makan di padang yang sudah gundul dan gosong.

Di foto lain, sebuah plang berwarna hijau berdiri, menerangkan nama kawasan itu berikut undang-undang terkait hutan dan sanksi bagi pelaku pembakaran. Ironisnya, plang yang memuat peringatan itu berdiri persis di depan sebuah padang luas yang telah telanjang dilalap api. 

Sementara pertunjukan teater memperdalam refleksi saya. Dibuka dengan aksi dua laki-laki yang menderita kedinginan menarik perahu.

Narator menerangkan, keduanya menempuh perjalanan laut yang panjang, meninggalkan kampung halaman mereka yang tenggelam, sebelum berhasil menemukan daratan baru. Menggesek-gesekan batu, beberapa lama kemudian mereka mendapatkan api.

Kehangatan merambat, pohon-pohon yang diperankan belasan siswa SMAN4s 1 Solor Barat, perlahan bergerak mendekat ke arah api. Namun, kegembiraan mereka tak berlangsung lama.

Konflik yang ditawarkan cukup sederhana. Dua laki-laki itu merasa paling berjasa, paling berhak memiliki api. Balas-balasan seruan kata ganti milik menegaskan itu. “Pi ape goen” (Ini api saya), hardik keduanya, dibalas suara lemah pepohonan yang berujung ratapan: “Pi ape tite” (Ini api kita).

Keduanya lalu menghalau pohon-pohon menjauh, menyalakan api mengelilingi mereka sebagai batas agar tak satu pun bisa mendekat. Namun, sejauh mana egoisme bertahan? Keduanya perlahan kepanasan, beberapa kali merintih memintah air, lalu rebah ke tanah.

Adegan tak biasa menutup pertunjukan. Pohon-pohon bergerak memadamkan api, sambil berseru, menegaskan diri: “kame bine wai matan” (kami saudari mata air). Malam seketika tanpa terang dan kehangatan.

Pohon-pohon berusaha membangunkan kedua laki-laki itu, sampai kembali menyalakan api seperti awal mula, tetapi mereka tak pernah bangun lagi. Ratapan mengudara, mengalir ke mana-mana.

Narator mempertegas penutup pertunjukan itu dengan nada satire: kematian kedua laki-laki itu, menjadi peringatan, diceritakan turun-temurun oleh penduduk yang mendiami pulau itu sehingga tak heran hubungan manusia dan alam harmonis. Tak ada yang berani membakar dan merusak. Kini, pulau itu dikenal dengan nama Solor.

Afryanto Keyn, Kontributor

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA