Kembali pada konteks
Bila publik mengikuti perdebatan dari awal, konteks yang paling menentukan dan menjadi inti perdebatan adalah segala kegiatan dan aktivitas yang berlangsung selama pesta emas STFK Ledalero hingga puncaknya pada 8 September 2019 yang silam. Dalam suatu model pembacaan tunggal, Emil mereduksi segala aktivitas dan kegiatan yang terjadi selama pesta emas STFK Ledalero dan menempatkannya hanya dalam sudut pandang ilmu Marxisme. Hal ini lalu menjadi titik tolak kritik Toni atas Emil. Namun, Toni dalam tulisannya pun terjerembab dalam pembacaan tunggal, karena memahami seluruh kegiatan yang terjadi selama pesta emas STFK semata-mata diinspirasi oleh injil, Sabda Allah. Saya mengkritik model penafsiran yang berat sebelah dalam tulisan keduanya dan berkesimpulan bahwa pada Emil, upaya membangun “filsafat kemapanan” sedemikian kuat. Pada Toni upaya mendirikan “teologi kemapanan” sedemikian ketat.
Toni dalam tulisannya, rupanya menerima “kekeliruan” yang telah ia buat. Itu terbukti dari “ketiadaan kritik” Toni atas tulisan saya. Namun, tidak dengan Emil. Dalam setiap tulisannya, Emil terus berusaha mengelak dari kritik saya terhadap “ortodoksi” pemikirannya lalu terus membangun mekanisme pertahanan diri, membangun “posisi benteng” agar tetap menyalahkan saya. Terhadap watak Emil ini, perlu saya kutip nukilan Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Indoprogress ketika mengkritik Martin Suryajaya (31/08/2011). Demikian tulis Mohamad: “orang (yang) memperlakukan keyakinan ideologis sebagai benteng biasanya ketika ia merasa keyakinannya sedang diserang dan ia sendiri takut guyah. Dalam ‘posisi benteng’ inilah misalnya ide dari pihak yang –bukan-kita dianggap sebagai [peluru] pistol yang berbahaya karena bisa membunuh atau melumpuhkan ‘iman’. Meskipun sebagaimana tampak dalam sejarah percaturan pendapat, konfrontasi dengan sebuah ide – juga ide yang paling tak kita setujui sekalipun – justru bisa mematangkan kita.”
Dengan posisi benteng dan takut guyah karena gagal membuktikan bahwa ilmu Marxisme tepat dalam membaca semua fenomena yang terjadi selama pesta emas STFK Ledalero ini, Emil lalu “menghindari” aneka kritik dan bersikap seperti banteng yang mengamuk dan siap menghancurkan lawan debatnya, bahkan jika hal itu harus merusak “cita rasa kemanusiaan”. Padahal, bila kita “sepakat” bahwa ilmu Marxisme tepat dipakai sebagai rujukan tunggal dalam membaca fenomena tersebut, maka hal paling penting yang harus ditunjukan pula adalah dinamika internal kapitalisme yang sedang berlangsung, berikut ekses-ekses negatif dari kapitalisme seperti alienasi individu, komersialisasi kehidupan publik, leburnya masyarakat warga dengan pasar, (Martin Suryajaya, 2011) dalam konteks, pesta emas STK Ledalero.
Sayangnya, alih-alih tetap setia pada metode dialektika materialis Marx, ikhtiar filosofis ini rupanya tidak sepenuhnya berhasil. Bahkan keseluruhan penjelasannya lebih merujuk pada logika dialektika Hegeldaripada dialektika Materialis Marx. Sehingga menurut saya, idealnya berbicara tentang ilmu Marxisme, poin paling penting yang harus menjadi penekanan serius menuju suatu pembuktian argumentatif rasional adalah ekses-ekses negatif kapitalisme yang ditemukan selama perayaan emas STFK Ledalero berlangsung, – seperti misalnya, reproduksi kapital dan penerimaan laba bersih STFK selama perayaan itu, gaji karyawan-karyawati sebagai kelas pekerja yang tidak sesuai Upah Minimum Regional (UMR), jam kerja mereka dalam menghasilkan “nilai lebih” yang menjadi keuntungan sepihak STFK, juga efek lanjut dari penindasan struktural ini pada kemiskinan ekonomi yang menyebabkan rumah tangga kelas pekerja ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari termasuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Kesetiaan pada metode dialektika Marx- ilmu Marxisme -, tentunya harus disertai pula pertimbangan-pertimbangan atas ekses-ekses negatif tersebut.
Ketika saya meminta Emil membuktikan “apakah” benar ekses-ekses negatif ini telah terjadi selama pesta emas itu berlangsung, Emil tidak menjawab dan cenderung melompat seolah ingin meloloskan diri tanpa suatu pertanggungjawaban yang masuk akal. Lebih parahnya, semua fenomena dan gejala yang seharusnya dibaca dalam kategori yang berbeda-beda, semuanya direduksi hanya dalam satu kategori (baca: kategori Aristoteles). Hal ini menunjukan tipikal para sofis yang hanya tahu beretorika hingga akhirnya sulit menemukan solusi yang tepat sesuai konteks persoalan; misalnya kalau “kertas karbon” (diangkat Emil dalam tulisannya Logos, Ledalogos, dan Ledalodima) dan “human trafficking” (dalam perdebatannya dengan Amandus Klau beberapa waktu lalu di Flores Pos) dibaca menurut ilmu Marxisme, yang ujung-ujungnya solusi yang ditawarkan adalah land reform (reformasi agraria).
Alhasil, apapun persoalannya, solusinya reformasi agraria. Ini tentu lucu. Sebagai seorang sosiolog yang menggunakan metode dialektika materialis Marx dalam menganalisis kasus yang terjadi selama pesta emas berlangsung, Emil seharusnya menyadari dan mengetahui ekses-ekses negatif yang dalam rumusan Aristoles merupakan suatu “keharusan kondisional”, dengannya setiap patologi sosial membutuhkan “obat” yang tepat dan proporsional menuju “kesembuhan” yang hakiki.
Dengan menghindar dari pertanyaan kritis mahasiswa yang baru semester 7 ini, kekeliruan yang saya buat (seperti dalam penjelasan James P. Werner tentang logos yang karena terlalu terburu-buru, saya akhirnya menulis “off” yang seharusnya kata “of”, juga soal “hanya buku-buku tua” – saya lupa memasukan kata “didominasi” sehingga pernyataan seharusnya “didominasi oleh buku-buku tua” – yang pada akhirnya menghantar Emil pada penjelasan yang panjang lebar tentang arti kata itu seakan hendak menjauhi diri dari inti perdebatan, juga soal Plekhanov dalam hubungannya dengan para pemikir “Teori Kritis” dan beberapa kekeliruan elementer lainnya) diperjelas oleh Emil, lalu menghantar Emil pada verbalisme vulgar ad hominem.
Tidak jadi soal. Ideal seorang dosen tampak pula pada penjelasan atas kekeliruan elementer tersebut. Kendati demikian, banyaknya sumber yang disajikan itu tetap hanya membicarakan “satu hal” dan bukan “hal lain” terutama yang sangat substansial dan menjadi inti perdebatan yakni “kapitalisme dalam komunitas religius” yang seharusnya dibuktikan dengan penelitian yang serius, cermat, dan berterima. Sebagai seorang sosiolog yang sudah terkuak watak positivistik dan ortodoksnya pemikiran tersebut, Emil lalu hanya tampil sebagai seorang informan yang baik, ketimbang seorang Marx yang hendak “mengubah realitas”. Lebih dari itu, karena watak positivistik dan ortodoksnya pemikiran Emil, segala objek penelitian hanya bisa direduksikan pada tingkat yang quantifiability dan commensurability yang naif dan berlebihan walau kadang tidak selalu valid (suatu hyperkuantitas), seolah-olah realitas mesti dipahami demikian, berikutnya harus berterima.
Tanpa mengurangi rasa hormat bahwa Emil telah melakukan penelitian bertahun-tahun atas masalah social, khususnya korupsi di Flores dan solusi reformasi agraria yang selalu ia “agung-agungkan” (bdk., Vedi Hadis, 2019: 177-178; soal dampak negatif dari reformasi agraria, yang muncul dengan disertai aneka kekerasan karena kebencian petani atas petani lain yang lebih kaya), kritik Jon Elster (buku aslinya An Introduction to Karl Marx. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Sudarmaji) patut disampaikan teristimewa tentang kejujuran Karl Marx, berikutnya dapat dipakai sebagai refleksi pribadi Emil sang Marxis yang tidak sejati, yang kerapkali memunculkan begitu banyak data, tetapi selalu menghindar ketika orang meminta ia menunjukan metodologi penelitiannya, berikut akurasi analisisnya.
Jon Elster menulis (izinkan saya menulisnya agak panjang lebar): “ada beberapa bukti ketidakjujuran Marx berkenaan dengan caranya dalam menangani bukti-bukti yang dimilikinya, seperti, pada satu pihak, ketika Marx memperbarui statistik-statistik ekonomi Inggris bila data-data itu mendukung pendapatnya, tapi, pada pihak lainnya, Marx tetap menggunakan data-data lama bila mereka mendukung fakta-fakta sosial yang sedang dianalisisnya. Marx terkesan memperlakukan informasi yang diperolehnya secara arbitrer. Tentu saja tidak ada jejak praktik ilmiah dalam tulisan-tulisannya yang dikenal sebagai mempermasalahkan masalah-masalah kecil tapi penting yang luput dari perhatian” (2000: 259).
Bila kita kembali membaca Emil, sang peneliti ini, dalam tulisannya di Indoprogress, “Haruskah Kita Memberikan Sumbangan Kepada Sekolah Katolik di Flores?” (15/01/2019) yang kemudian ditanggapi oleh Benny Denar dalam tulisannya “Sekolah Katolik dan Dilema Biaya” (29/01/2019), Emil rupanya tidak lagi menjawab hingga kini. Pertanyaannya, mengapa Emil tidak lagi berdebat dengan Benny Denar jika argumentasi Emil itu dibangun berdasarkan data yang tepat? Bukankah karena banyaknya data yang tidak valid dan dikarang Emil sehingga Benny Denar menanggapi tulisannya? Apakah Emil punya solusi soal itu? Lagi-lagi, jika solusinya adalah land reform bagaimana Emil membuatnya berterima dan masuk akal dalam konteks kekinian tanpa mengorbankan kemanusiaan? Ataukah hanya karena tahu sedikit, Emil seolah-olah sudah mengetahui segala hal? Benarkah Emil jujur dalam menjalankan penelitiannya?
Kini, ketika berdebat dengan saya dan Emil mengangkat fenomena perayaan emas STFK dan mengukurnya melalui “ilmu ekonomi Marxisme”, kekurangan terbesar Emil adalah tidak memasukan data-data statistik agar memberikan justifikasi ilmiah bahwa Emil telah menggunakan “alat”- ilmu Marxisme- secara tepat. Ketika dalam tulisan lain, Emil memasukan juga tentang perpustakaan STFK yang hanya didominasi oleh buku-buku tua, Emil tidak memasukan juga data-data terbaru secara valid. Pada titik ini, sekali lagi, saya ingin bertanya, apakah ilmu Marxisme dapat dipakai dalam hal ini? Bila dapat dipakai, bagaimana menjelaskannya? Lebih lanjut jika upaya untuk mendatangkan buku-buku baru itu tetap dibuat kira-kira buku-buku seperti apa yang hendak Emil tawarkan, agar kedatangan Emil ini bertujuan pula untuk membuat STFK Ledalero ini lebih bermutu?
Bila Emil bertanya pada pegawai perpustakaan, Emil bagi saya akan dibuat malu, karena tiap tahun selalu ada anggaran yang disiapkan untuk mendatangkan buku-buku baru dengan biaya ratusan juta. Pun bila Emil masuk ke sana dan mencari di rak-rak buku, Emil akan temukan banyak buku baru yang telah ada di sana. Saya menyebut beberapa buku yang diterbitkan lebih kurang pada periode sekitar tahun 2016-2018, yang sudah ada di sana seperti Disruption, Homo Deus, Homo Sapiens, dan sebagainya yang tidak hanya ada di Gramedia Maumere. Bahkan buku tulisan Yosep Keladu Koten, Etika Keduniawian, juga dijual di Gramedia Maumere. Ini lebih kurang menunjukan secara implisit bahwa telah ada kerja sama yang terbangun antara penerbit Ledalero dan Gramedia untuk menghadirkan kepada publik, buku-buku terbitan terbaru. Dalam penelitian yang lebih lengkap, saya serahkan beban pertanggungjawaban ”moral” dan “material” ini pada Emil – dalam suatu pertimbangan yang demokratis – karena Emil sendiri yang mengangkat soal itu.
Oleh karena itu, ketika berdebat dengan saya, Emil saya identikkan seperti “seekor keledai yang terlalu memikul banyak buku di punggungnya”, yang menghadirkan bagi kita suatu “kesombongan intelektual” yang tidak tepat ditunjukkan ketika kita membutuhkan suatu pembuktian yang lebih masuk akal sesuai konteks perdebatan dimulai. Emil, seorang dosen tamatan Melbourne-Australia yang tidak mampu membuktikan bahwa “telah terjadi alienasi atas individu, ketertidasan, dan dehumanisasi” atau ekses-ekses negatif dari kapitalisme yang katanya menjangkiti “komunitas religius” tersebut menghantar saya pada kesimpulan “bahwa Emil belum sungguh-sungguh menekuni ilmu tersebut”. Dengan demikian, saya pada akhirnya ragu secara epistemologis bahwa Emil seorang Marxis sejati. Lebih dari itu, secara etis, saya merasa diri lebih bermoral daripada seorang dosen yang karena “kebenciannya terhadap pihak-pihak tertentu” menjadikan saya sebagai kambing hitam.
Lantas, siapakah yang pantas disebut sebagai demagog kini? Tentunya Emil. Demagog ini membenarkan diri, menghancurkan psikologi lawan debatnya, hanya karena keinginannya yang tidak sampai, berikutnya membenci orang yang tidak pantas dibenci setelah saya sudah dijadikan kambing hitam yang telah puas ia “hantam.” Lebih lanjut, siapakah yang dibenci oleh Emil setelah saya sudah cukup dijadikan batu loncatan serentak kambing hitam demi sentimen dan amarah murka yang telah merasuki batok kepalanya, seluruh jiwanya? Tentunya komunitas religius SVD (Societas Verbi Divini) dan STFK Ledalero.
Dengan suatu kesimpulan yang hanya berdasar pada “involusi tekstual” yang kurang mendalam, Emil menyimpulkan bahwa saya seorang kapitalis. Logikanya, karena saya SVD dan saya kapitalis maka semua anggota SVD adalah kapitalis. Berikutnya, karena STFK milik SVD maka STFK pun kapitalis. Ironisnya, ketika melawan kapitalisme, ia mau saja terus ditindas oleh para kapitalis, oleh SVD dan STFK. Ini tipikal orang yang menurut saya hendak mencari untung bagi dirinya sendiri. Jika saya Emil, saya pantas dicap plin-plan, dan tidak tahu malu serta tidak tahu berterima kasih atas lembaga yang telah membuat saya hidup tetapi kini, hanya karena persoalan tekstual seorang mahasiswa semester 7 yang juga tidak Emil pahami secara baik sesuai konteks perdebatan, Emil memberi kritik yang tidak berdasar dengan kajian ilmiah, merujuk sumber primer dan sekunder yang tepat kemudian membuktikannya secara ilmiah.
Sebagai seorang sosiolog, Emil tentu harus terlebih dahulu menyadari bahwa cap kapitalis ini tidak begitu saja dikenakan hanya karena penafsiran atas teks. Pertanyaan saya, apa arti kapitalis sesuai pemahaman Emil? Bila mengikuti logika pemikirannya, kapitalis yang dimaksud Emil rupanya kapitalis yang dikritik Marx yang hanya meneguk untung bagi dirinya sendiri serentak menelantarkan kelas pekerja dalam kondisi riil yang tidak lagi manusiawi. Oleh karena itu, akan sangat fair jika Emil membuktikan secara sungguh bahwa SVD dan STFK telah menindas buruh termasuk Emil (mengakui dirinya “buruh yang pengajar”- dosen), yang bagi saya tiap hari Emil sendiri bekerja tidak melebihi waktu normal dengan gaji yang tetap diterima tiap bulan dengan tunjangan-tunjangan yang pastinya melampaui UMR.
Lebih lanjut, jika konteks yang Emil maksudkan adalah bahwa saya SVD (secara personal) dan juga serentak pemilik sah STFK Ledalora, konteks itu harus harus dianalisis sedemikian terang benderang bila Emil membuat penelitiannya merujuk pada pendekatan ilmu Marxisme. Pertama, bila Emil seorang sosiolog yang baik dan benar, Emil harus membuat suatu penelitian empiris soal ini, dan tidak hanya berkutat pada teks yang sebenarnya tidak patut dijadikan sebagai sumber primer dalam meratifikasi kesimpulan yang serba parsial.
Saya memberikan beberapa argumentasi yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Emil jika Emil hendak membuat penelitian tentang hal ini. Sebagai formandi (orang yang dibentuk) dalam formasi SVD, tiap tahun, kami para frater (calon imam) yang serentak mahasiswa harus membayar uang sumbangan kepada SVD sebesar 2 juta rupiah, itu terhitung sesuai pengalaman saya masuk STFK Ledalero, dari tahun 2016-2018. Pada tahun 2019, biaya sumbangan naik menjadi 5 juta rupiah karena satu dan lain hal yang menjadi bahan pertimbangan SVD, salah satunya dalam upaya untuk membuat “SVD Ledalero mandiri secara finansial” tanpa selalu berharap banyak pada bantuan “Roma.”
Uang itu dipakai untuk membantu para frater dan mahasiswa dalam kehidupannya di biara maupun di sekolah selama satu tahun, yang bila dihitung berdasarkan uang sumbangan itu, tidak berarti apa-apa bagi SVD yang telah “berbuat banyak” untuk menghidupi seorang “frater yang juga mahasiswa” selama satu tahun. Mengingat SVD yang dengan caranya yang khas sudah berjasa khususnya meringankan beban orang tua para frater yang semuanya tidak berasal dari kalangan menengah atas, dan ekonomi mapan tetapi juga dari orang tua frater yang sederhana dan kurang mampu demi wawasan intelektual yang lebih maju, cap kapitalis ini rupanya semata-mata lahir karena “kehabisan ide” yang kritis dan rasional dari seorang yang katanya punya banyak gelar sarjana, di belakang namanya.
Kedua, menyebut kata pemilik resmi SVD itu buat saya risih. Kata itu tidak tepat bila merujuk pada pengalaman, bahwa banyak frater setelah keluar dari SVD dan STFK, tidak lagi memiliki ikatan yang sah dengan SVD dan STFK. Bila menyebut pemilik resmi dan sah, itu berarti juga bahwa setelah keluar dari masa formasi, aset-aset yang dimiliki SVD dan STFK dimiliki juga oleh para mantan frater yang keluar itu. Nyatanya tidak demikian. Berikutnya bila saya dicap sebagai kapitalis, Emil harus masuk dan memahami terlebih dahulu secara baik doktrin kapitalisme untuk membuktikan bahwa saya seorang kapitalis. Hal itu akan tampak jelas jika Emil juga membuat penelitian empiris perihal ekses-ekses negatif yang telah terjadi di tengah masyarakat sebagai akibat ideologi kapitalisme yang saya terapkan.
Lebih lanjut, karena Emil telah menyebut SVD dan STFK adalah kapitalis, maka ke depan saya menunggu suatu kajian ilmiah dan komprehensif dari Emil untuk membuktikan hal itu, lalu dibawakan dalam sebuah seminar di sekolah dengan pesertanya semua civitas Akademika STFK juga komunitas SVD dengan para pekerjanya, agar Emil tidak terkesan “omong doang.” Barangkali sebagai staf Senat Mahasiswa (SEMA), sebaiknya saya mengusulkan juga dalam rapat pembuatan program SEMA tentang seminar Emil dengan tawaran tema dari SEMA: “Kapitalisme dalam Komunitas Religius”. Sanggupkah Emil?
Emil, Sang Paranoid
Akhirnya, dalam konteks perdebatan ini – jika kita mulai dari tulisan awal Emil “Upaya Menggapai Kebijaksanaan” hingga tulisan terakhirnya yang bagi saya tidak lagi etis, dengan cap yang aneh-aneh dan menjijikkan, “Yang Terakhir Untuk Para Demagog”, – saya berkesimpulan bahwa Emil sedang mengalami paranoia daripada sebagai seorang parrhesiast yang patut dipuji secara etis dan epistemologis.
Dengan paranoid berarti “gangguan mental yang diderita oleh seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya lalu membuat penderita berpikir aneh-aneh dan suka mengkhayal, seperti merasa dirinya orang besar atau terkenal” dan parrhesiast yang dalam rumusan Foucault, selalu mengatakan kebenaran (parrhesia) yang lengkap, sejak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatannya (tentang parrhesiast ini silahkan Emil baca dalam tulisan saya dalam Akademika yang saat ini belum ada di tangan mahasiswa, dan silahkan Emil mengkritik seturut keinginan Emil, apalagi saya masih berstatus mahasiswa semester tujuh) – Mari kita bersama-sama membuat penilaian: Toni, Emil, atau Elton yang layak disebut sebagai demagog? Bila pada akhirnya pilihan publik adalah Elton sang demagog itu, saya tentunya akan sangat malu. Bagaimana dengan Emil?
*Anggota KMK Ledalero