Maumere,Ekorantt.com – Banyaknya TKI meninggal di tanah rantau tidak menyurutkan niat warga NTT merantau.
Ketua Komisi Migran dan Perantauan Keuskupan Agung Ende RD Eduardus Radja Para dalam diskusi terbatas di Saint Mary’s College di Jakarta yang digagas kelompok studi “Ende Bergerak”beberapa waktu lalu mengaku, hampir setiap minggu ada laporan bahwa ada TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri, terutama di Malaysia. Hal ini memprihatinkan banyak kalangan.
“Seringkali kami kewalahan dalam pendataan. Karena, banyak yang merantau tanpa prosedur yang jelas,” kata Edu sebagai rilis yang diterima Ekora NTT.
Data perantau asal Keuskupan Agung Ende berdasarkan sensus 2015 ada sebanyak 25.368 orang dari 3 kabupaten (Ende, Nagekeo, Ngada). Dari Ende ada sekitar 12 ribu perantau. Tujuan perantau asal NTT terkonsentrasi di Malaysia, Kalimantan dan Papua.
Pastor Edu menjelaskan, ada beragam alasan orang NTT merantau. Bisa karena alasan ekonomi dan finansial. Ada yang karena gaya hidup anak muda untuk melihat dunia yang lebih luas. Sebagian kecil perantau asal NTT, karena adanya tekanan adat di kampung halaman.
Menurut Edu, merantau mempunyai dampak positif seperti mendapatkan pekerjaan, membantu ekonomi keluarga, transfer pengetahuan dan teknologi, menjadi pewarta iman, dan lain-lain.
Kendati demikian, ada dampak negatifnya juga seperti migrasi non prosedural, tanpa persiapan diri, human trafficking hingga penyebaran HIV-AIDS.
Sementara itu, ada beberapa masalah di daerah perantauan yang ditemukan tim kerja RD Edu, seperti perantau yang tidak memiliki dokumen yang lengkap, kriminal, pendidikan anak-anak perantau yang tidak diperhatikan, lemahnya perlindungan hukum, pindah agama, dan adanya godaan untuk menikah lagi.
Keuskupan Agung Ende telah menggagas berbagai solusi dan jalan keluar untuk masalah ini. Komisi migran dan perantauan KAE gencar melakukan sosialisasi tentang migrasi dan dampak-dampaknya sejak 2014.
Sejak 2015 dibentuk juga desa ramah migran. Desa Ranggatalo di Kabupaten Ende menjadi contoh desa ramah migran.
Pada 2016, KAE membentuk tripartit 3 keuskupan antara keuskupan asal, keuskupan transit dan keuskupan tujuan. Hal itu untuk memastikan perpindahan umat Katolik antarkeuskupan.
KAE juga membentuk paroki ramah migran yang berupaya membentuk paguyuban istri-istri migran, pendampingan terhadap anak-anak migran di asrama, pembedayaan ekonomi dengan komisi ekonomi, arisan bersama, kegiatan doa dan berbagai kegiatan kreatif dan produktif lainnya. Paroki ramah migran juga akan menjadi tempat untuk pengaduan masalah migran.
Sementara itu, pihak KAE juga mengikuti pendekatan terkini dalam sosialisasi migran, seperti menyebarkan film-film pendek tentang migran.
“Kami akan menggelar pertemuan nasional tahun depan di Ende dengan mengangkat tema ‘Berpastoral di Tengah Arus Migran dan Perantauan’. Semoga ini menjadi momentum untuk terus sadar tentang fenomena migran,” jelas RD Edu.
Sementara itu, Direktur PADMA Gabriel Sola mengaku, perumusan undang-undang dan regulasi tentang TKI di Indonesia sangat memperhatikan jejaring internasional dan gereja Katolik. Komitmen Gereja Katolik pada kepedulian pada migran telah menginspirasi dunia luas.
“Kendati demikian, di Flores dan Lembata, tidak terlalu mencolok laporan ke polisi tentang TKI yang meninggal. Padahal data di lapangan sangat banyak,” jelas Gabriel.
Menurut Gabriel, setiap kali ada masalah TKI di NTT, hampir dipastikan aktor intelektualnya tidak pernah ditangkap.
“Ada 69 kasus tindakan pidana perdagangan orang (TPPO) di Polda NTT, tetapi kita tidak akan pernah bisa menangkap aktor intelektual,” kata Gabriel.
Sejak 2016, TKI asal NTT yang meninggal jumlahnya selalu bertambah masing-masing 46 orang (2016), 62 orang (2017), 105 orang (2018) dan 114 orang (tahun ini). Kondisi ini makin diperparah oleh ketiadaan dokumen migran dan kebiasaan merantau secara illegal.
Gabriel mengungkapkan, harus ada kerja sama yang baik antara berbagai elemen seperti pemerintah dan pemerintah lokal, pemuka agama, swasta dan berbagai pihak terkait untuk mempersiapkan para perantau dengan cara yang baik.
Hal senada diungkapkan M Hanafi yang mengatakan, sebelum berangkat merantau, pembekalan semua aspek (keterampilan, moral, rohani) harus dilakukan.
“Kita juga harus berpikir dengan pemberdayaan orang-orang yang tinggal di kampung. Supaya, kampung kita tidak kosong,” kata Hanafi.
Hanafi menawarkan lembaga pendidikannya, Saint Mary’s College menjadi mitra untuk KAE dan pemda di NTT dalam mempersiapkan pekerja-pekerja terampil.
Saat ini, Saint Mary’s College bekerja sama dengan berbagai lembaga dan perusahaan kaliber untuk memastikan studi vokasional yang berkualitas.
Pada akhir diskusi, Koordinator Ende Bergerak, Agustinus Tetiro menambahkan, terpilihnya banyak anak muda sebagai kepala desa di NTT perlu menjadi langkah awal yang seharusnya didukung terutama untuk memastikan realisasi dana desa untuk proyek-proyek yang lebih melibatkan warga setempat sehingga ekonomi desa semakin bergairah.
“Para kepala desa muda bisa menggagas Desa Wisata ataupun jenis kegiatan ekonomi lain yang lebih kreatif dan kontekstual untuk mendukung makin banyak lapangan pekerjaan terbuka di desa-desa di NTT,” tandas Agustinus.
Mengapa Merantau dan Meninggal?
Peneliti Masalah Agraria di Flores Emilianus Y.S. Tolo berpendapat, berbagai alasan merantau seperti ingin jalan ke kota untuk mencari pengalaman baru atau untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi adalah alasan yang terlalu remeh temeh karena dia tidak bisa menjelaskan proses dan mekanisme orang NTT bermigrasi ke luar negeri.
Menurut dia, alasan yang lebih masuk akal adalah orang-orang NTT, khususnya petani kecil di pedesaan, bermigrasi karena pengaruh relasi kapitalis dan feodal yang masih bercokol di NTT.
Dalam relasi kapitalis, petani kecil tergusur oleh sistem kompetisi yang membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Yang miskin terpaksa harus keluar dari sektor pertanian dan merantau ke luar negeri.
Dalam sistem feodalisme, petani kecil cenderung direpresi dan dicuri nilai lebih dari kerjanya melalui bagi hasil dan sewa tanah yang merugikan mereka. Karena mereka tidak ingin dieksploitasi terus menerus oleh tuan feudal, mereka memutuskan diri untuk bermigrasi.
Di samping itu, menurut Emil, alasan lain yang juga patut dipertimbangkan mengapa orang NTT bermigrasi ke luar negrri adalah karena proses industrialisasi baik dalam sektor riil dan jasa tidak berkembang di NTT.
Akibatnya, petani yang terdepak dari pertanian tidak punya pilihan lain untuk bertahan di kota-kota di NTT, tetapi harus bermigrasi ke luar negeri. Dengan jaringan yang sudah dibangun sejak jaman kolonialisme, orang NTT dengan mudah memilih untuk bermigrasi ke luar negeri untuk kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.
Menurut Emil, alasan utama mengapa masalah TKI tidak pernah selesai di NTT adalah penyelesaian masalah TKI di NTT tidak menyentuh akar masalah. Pemerintah tidak menyelesaikan persoalan kapitalisme dan feodalisme yang menindas petani di NTT. Industrialisasi juga dibiarkan tak terurus. Pemerintah hanya mengajukan moratorium tanpa memberikan solusi internal terhadap persoalan-persoalan ekonomi politik yang disebabkan oleh sistem kapitalisme dan feodalisme dan kesenjangan pembanguman di NTT secara keseluruhan.
Emil berpendapat, banyak TKI NTT meninggal di luar negeri karena mereka bekerja pada sector-sektor kapitalis yang mengagungkan efisiensi, kompetisi, dan produktivitas dalam bekerja. Apalagi, para pekerja NTT yang tidak berpendidikan dan berketrampilan harus mengambil pekerjaaan-pekerjaan berbahaya dan berat secara fisik.
“Karena tunduk pada imperatif kapitalisme, pekerja-pekerja dari NTT yang tak berketrampilan ini bekerja secara terburu-buru dan ceroboh agar bisa produktif, efisien, produktif, dan mendapat insentif yang baik. Alhasil, banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan kerja di perkebunan kelapa sawit atau konstruksi bangunan. Banyak pula yang kondisi fisiknya tidak bisa menahan beban kerja yang besar. Akibatnya, banyak yang meninggal di luar negeri, yang jumlahnya meningkat setiap tahun yang mencapai ratusan orang dalam dua tahun terakhir,” pungkas Emil.