Langa, Ekorantt.com – Belasan perempuan migran perantau yang tergabung dalam Komunitas “Ine Ja’o” di Desa Bomari, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada mendapat sosialisasi tentang peningkatan kapasitas gender dan pendampingan psikologi.
Kegiatan yang dilaksanakan di Cafe Diskusi Kopi Isi Langa pada Jumat (31/1/2020) menghadirkan dua pemateri, yaitu Psikolog Lidwina Dhiu dan Koordinator Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Ngada Maria Dolorosa.
Kegiatan peningkatan kapasitas gender ini digelar atas kolaborasi sejumlah komunitas di Kabupaten Ngada, yakni Kelas Inspirasi Bajawa, Komisi Migran dan Perantau Paroki Langa, Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Langa, Langa Trecking Community (LTC), Asosiasi Wartawan Ngada (Aswan), Forum Ekraf Ngada. Kegiatan tersebut didukung dan didanai oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) melalui program Citradaya Nita.
Koordinator Kegiatan Merlyn Idju mengatakan, upaya peningkatan kapasitas gender menyasar para perempuan migran dan perantau. Kegiatan tersebut bertolak dari kenyataan bahwa kelompok ini masih termarginalkan karena ditinggal pergi oleh para suami yang sedang mencari nafkah di luar Flores (Ngada). Di antara mereka, terdapat ibu-ibu yang sudah menjanda.
Menurut Merlyn, pengetahuan tentang kesetaraan gender yang kurang sering membuat para perempuan migran berpasrah pada situasi yang sulit. Hidup mereka bergantung pada suami. Mereka tidak leluasa bekerja dan berkarya. Mereka juga seringkali tidak sadar bahwa mereka sebenarnya berhak mengakses program dan layanan pemerintah. Dengan kegiatan peningkatan kapasitas gender dari sejumlah narasumber ini, mereka diharapkan mendapatkan pemahaman yang jelas tentang gender.
“Kita harapkan para ibu dapat mengubah pola pikir yang dapat mendorong mereka agar berani berinovasi, kreatif, mandiri, dan mampu menyampaikan pikiran atau aspirasi mereka baik lisan maupun tulisan,” ujar Merlyn.
Dalam paparan materinya, Lidwina Dhiu mengatakan, dalam kehidupan sehari-hari, perempuan, khususnya kaum ibu, mempunyai peran penting untuk mencerdaskan anak. Sering dikatakan bahwa ibu adalah guru pertama anak. Menurut dia, dari tangan kasar dan kehangatan dekapan seorang ibu, anak bisa mendapatkan masa depan yang cerah.
“Kehidupan adalah serangkaian masalah sehingga ibu dituntut untuk selalu mempunyai pegangan hidup, kepercayaan diri, dan keyakinan bahwa masalah pasti berlalu,” ujarnya
Lidwina menuturkan, pada tahun 2019, terdapat tiga kasus bunuh diri di Kabupaten Ngada. Sebagian korbannya adalah anak-anak. Dalam kondisi seperti ini, peran seorang ibu untuk mendidik anak sangat penting.
Menurut Lidwina, seorang ibu perantau migran harus mampu mengatur keuangan agar kehidupan tidak menjadi semakin sulit. Para ibu harus bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
“Jangan lihat yang bagus, kita langsung beli. Ini sifat boros,” ujarnya.
Lidwina menegaskan, seorang ibu migran harus bisa mengisi kehidupan dengan hal-hal yang positif seperti menenun kain dan lain-lain.
Sementara itu, Maria Dolorosa Nay mengatakan, dewasa ini, perempuan sering dinomorduakan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan misalnya sulit mengakses dana bantuan dari pemerintah.
“Banyak dana desa hari ini yang sibuk urus pembangunan fisik. Tapi, soal pemberdayaan perempuan dan anak sangat kecil. Lalu, bagaimana kita bisa memberi asupan gizi kepada anak dan ibu,” gugat Maria.
Selain itu, menurut Maria, perempuan sering dinomorduakan dalam hidup perkawinan, politik, dan lain-lain. Perempuan juga mendapatkan upah yang kecil dalam bekerja. Permohonan kredit harus dilakukan atas dasar izin suami. Kesempatan kerja perempuan sangat terbatas.
Menurut Maria, gender adalah konstruksi sosial tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal fungsi, hak, dan tanggung jawab. Menurut dia, Gereja Katolik di Ngada mempunyai peran penting untuk memberi pengetahuan tentang gender, khususnya bagi pasangan muda.
Maria juga menyoroti berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus kekerasan itu misalnya pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, dan lain sebagainya. Dirinya menegaska, mesti ada payung hukum mulai dari tingkat pemerintah paling bawah, misalnya peraturan desa yang melindungi hak-hak perempuan dan anak.
Salah seorang ibu migran yang tidak mau namanya dipublikasikan mengatakan, dirinya sering diperlakukan secara tidak adil. Perlakuan tidak adil itu misalnya tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan bantuan dan lain-lain.
“Apa yang dijelaskan tadi memang benar. Kami (ibu migran) sering merasa diperlakukan tidak adil dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kegiatan ini, kami mendapatkan sebuah inspirasi baru,” ujarnya.
Belmin Radho