Oleh Benny Denar*
Pandemi virus corona yang biasa di sebut Covid-19 kini telah menjadi bencana global yang menyerang seluruh lini kehidupan manusia. Ia seakan meruntuhkan peradaban manusia yang telah ditata kian mapan bagai menara babel yang diprediksi pembuatnya tak akan runtuh. Pandemi ini tidak hanya merusakkan pertahanan manusia dari sisi medis, tetapi juga cukup kuat membuat ambruk perekonomian, memutus, dan memporakporandakan relasi global (globalisasi), membuat berhenti aktivitas belajar mengajar di sekolah, bahkan menghentikan keriuhan berbagai ritual keagamaan di berbagai tempat ibadat yang telah lama kian mapan.
Pandemi ini membuat manusia jatuh ke dalam kepanikan dan kecemasan massal dan mempertanyakan kembali segala pencapaiannya selama ini. Hampir tak pernah dipikirkan sebelumnya bahwa temuan teknologi medis ternyata kalah gesit dengan munculnya penyakit dan pandemi. Hampir tak dipikirkan, ada pandemi yang membuat manusia harus menghentikan aktivitasnya secara massal, mengurung dan mengisolasi diri, memutus relasi yang langsung, menutup dan membuat sepi pusat-pusat keramaian, bahkan mengunci rumah-rumah ibadah dari para pemeluk agama. Pandemi ini mengantar manusia pada kepedihan eksistensial yang ditandai adanya kecemasan, kepanikan, kesepian, keterputusan, keterisolasian, dan keterpisahan secara massal dan mengglobal.
Kepedihan eksistensial tersebut juga dirasakan oleh orang-orang yang mengaku beriman, termasuk dalam Gereja Katolik. Ada banyak umat Katolik yang menangis karena tidak dapat lagi mengikuti perayaan ekaristi dan menerima komuni kudus yang biasa diterima dalam perayaan di gereja. Perayaan Paskah yang menjadi mahkota iman orang Katolik justru tak dapat dirayakan sebagaimana biasanya. Bahkan sempat viral, ada seorang pastor yang menangis karena merayakan Minggu Palma yang seharusnya bernuansa penuh sorak sorai, tetapi karena pandemi Covid-19, perayaan itu justru hanya dirayakan dalam situasi yang mencekam tanpa kehadiran umat. Oleh karena pendemi Covid-19 juga, pemberian Sakramen Perminyakan bagi yang terduga terserang Covid-19 menjadi terhalang dan jika ada yang mati, tidak diberikan pelayanan sakramen yang seharusnya mereka terima. Pembatasan dan penguncian seperti ini tentu menimbulkan kepedihan mendalam. Kepedihan itu menimbulkan pertanyaan tentang relasi orang beriman dengan Tuhan yang mereka imani.
“Teodice”
Pertanyaan tentang status kebaikan Allah sering dikenal dengan nama teodice. Teodice berasal dari dua kata, yaitu Theos bearti Allah dan dike bearti keadilan. Dengan demikan, teodice berarti usaha untuk melakukan pembenaran atau pembelaan atau pertanggungjawaban akan kebaikan atau keadilan Allah. Membela dan mempertanggujawabkan kebaikan Allah yang dimaksudkan adalah pembelaan di tengah situasi penuh derita.
Pembelaan di tengah situasi derita ini penting karena beberapa alasan. Pertama, derita biasanya membawa manusia pada situasi batas, dimana segala kesanggupan duniawi tak lagi dapat memberikan jawaban atau jalan keluar bagi penderitaan yang dialami. Dalam situasi demikian, orang biasanya mencari instansi atau figur lain di luar dirinya untuk mencari jawaban dan jalan keluar. Bagi orang beriman figur itu adalah Allah yang mereka yakini sebagai sandaran terakhir dalam situasi batas. Dengan alasan inilah, maka dapat dipahami manusia biasanya mencari Tuhan tatkala dunia riil menantang hidupnya. Dalam situasi penuh batas dan derita, manusia baru mengakui kerapuhan dan keterbatasannya, serta secara eksistensial mulai mencari pertanggungjawaban Tuhan atas situasi yang dialami.
Kedua, teodice menjadi signifikan dan relevan karena orang beriman mengakui Allah sebagai figur yang Mahakuasa dan Mahabaik. Sebagai figur yang penuh kuasa, secara logis, seharusnya Allah bisa dengan gampang membatasi atau membebaskan manusia dari derita, toh Dia Mahakuasa. Selanjutnya, karena Dia Mahabaik, seharusnya menusia tidak pernah dibiarkan-Nya jatuh dalam penderitaan, termasuk meskipun manusia itu berdosa.
Kalau demikian, mengapa penderitaan tetap terjadi? Pertanyaan lebih terangnya, apakah Allah Yang Mahakuasa dan Mahabaik menghendaki penderitaan manusia? Apakah boleh melakukan gugatan akan kebaikan Allah dalam situasi batas (derita)?
Jawaban Kristiani
Mempertanyakan kebaikan Allah dalam situasi batas dan penuh derita tentu saja sebuah keharusan. Gugatan akan kebaikan Allah tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran intimitas relasi antara seorang beriman dengan Tuhan yang diimaninya. Adalah wajar jika seorang beriman mencari dan mempertanyakan kebaikan Allah atas dirinya dalam situasi penuh batas dan derita.
Dalam sejarah, kita sering membaca dan mendengar, manusia seringkali teriak dan mencari Tuhannya atas segala penderitaan yang dialami. Bahkan dalam kitab suci Kristen, cerita-cerita tentang kejatuhan manusia dalam derita dan gugatannya terhadap Tuhan dapat ditemukan dengan mudah. Cerita tentang kesengsaraan Ayub yang dikenal saleh dan gugatannya akan Tuhan adalah salah satu contohnya.
Cerita kesengsaraan dan duka Ayub adalah salah satu contoh nyata untuk mengatakan penderitaan tidak dapat dipahami sebagai bentuk hukuman Allah atas dosa manusia. Sebab, Ayub adalah seorang yang dikenal saleh dan tanpa dosa, tetapi justru mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya, kalaupun misalnya Ayub melakukan kesalahan, kesalahannya itu tidak otomatis sebagai gambaran hukuman Allah atas dirinya.
Hal yang sama misalnya jika seorang pelajar atau mahasiswa tidak belajar. Jika dia tidak lulus ujian, maka hal itu bukan merupakan tanda bahwa Tuhan menghukum Dia karena dia tidak belajar, tetapi ketidaklulusannya itu merupakan konsekuensi dari kemalasannya dalam belajar.
Atau contoh lain, seorang yang nekat menembus kerumunan orang-orang berisiko terkena Covid-19, jika dia pada akhirnya terpapar, itu berarti bukan karena Tuhan menghukum dia, tetapi terpaparnya dia hanya merupakan risiko logis dari kenekatannya menembus kerumunan, meski misalnya telah dilarang sebelumnya.
Cerita Ayub dan cerita-cerita sejenisnya memperkuat keyakinan akan kebaikan dan kerahiman Allah. Dengan demikian, kita tak perlu terlalu mendakwa Tuhan sebagai penghukum atau tukang membalas kesalahan dan dosa kita. Sebab, Tuhan pada dasarnya Mahabaik. Dalam Dia hanya ada cinta dan kerahiman. Kalau demikian, dari mana asalnya penderitaan?
Pandangan Leibniz (1646-1716) kiranya menolong kita untuk menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, ada tiga keburukan yang pasti menggerogoti manusia, yaitu keburukan (malum) fisik, keburukan moral, dan keburukan metafisis. Berbeda dengan keburukan fisik dan moral yang relatif dapat dijelaskan, keburukan metafisis jauh lebih mendalam dan lebih bersifat eksistensial. Keburukan metafisis berkaitan dengan sisi ontologis keberadaan manusia, yaitu bahwa manusia itu memang amat terbatas, rapuh, dan tak kekal. Manusia itu rentan, dapat, dan bahkan gampang mati, terbatas, dan fana. Itulah hakikatnya sebagai mahluk tercipta yang amat berbeda dengan pencipta.
Dalam konteks keterbatasan itu, tradisi Kristen melihat derita atau malum hanyalah sebagai “perampasan” atau kekurangan (privatio) dari sesuatu yang seharusnya ada. Metafisika Kristen melihat bahwa segala sesuatu sebenarnya baik dan Allah menciptakan dunia termasuk manusia dalam keadaan baik. Kejahatan, keburukan, dan derita hanyalah kekurangan (privatio) dari kebaikan yang dimaksudkan Allah atas ciptaan. Dunia dibangun atas kebaikan, bukan atas dasar kejahatan, sebab kejahatan hanya bisa menghambat dan merusakkan kebaikan.
Salib dan kebangkitan
Pandangan itu membantu kita untuk melihat penderitaan, salib, dan kebangkitan. Bagi orang Kristen, penderitaan dan salib hanya merupakan kosekuensi dari sebuah keberadaan dan perjuangan, bukan merupakan tujuan. Penderitaan dan salib memang ada sebagai privatio. Bahkan Tuhan Yesus sendiri harus mengalami derita dan salib, menjadi pribadi terhukum yang mengenaskan. Namun, salib dan penderitaan-Nya bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai kosekuensi dari perjuangannya untuk bersolider dengan manusia, sekaligus membawa ciptaan kepada kebangkitan. Dengan demikian, penderitaan dan salib memang patut diterima sebagai keniscayaan. Namun, keniscayaan derita dan salib itu tidak pernah boleh melumpuhkan perjuangan kita menuju perubahan dan kemenangan. Tujuan kita, sekali lagi, adalah perubahan, kebaikan dan kemuliaan kebangkitan, bukan salib dan penderitaan.
Salib dan derita memang tak dapat ditolak, namun kita dapat berjuang bersama Tuhan untuk mengatasinya. Berjuang bersama Tuhan berarti kita ikut bekerja dan berjuang. Tuhan tidak bekerja seperti janji dukun yang menyembuhkan orang dalam sekejap tanpa perjuangan. Dalam penderitaan dan salib apapun, termasuk dalam menghadapi pandemi Covid-19, Tuhan tentu berjuang secara nyata, melalui suara hati dan kehendak kita untuk menatati protokol kesehatan yang dibuat pemerintah. Tuhan juga bekerja melalui aksi-aksi kemanusiaan yang rill dan nyata, melalui tenaga-tenaga medis yang bekerja dengan penuh dedikasi, dan melalui usaha apapun yang nyata bagi pembebasan dunia ini dari derita Covid-19.
Dalam semangat Paskah Kristiani, kita berjuang melawan derita dan salib akibat Covid-19 dengan doa dan aksi-aksi kemanusiaan yang konkret, dengan kerelaan saling membantu dan mengingatkan, dan dengan kemauan membawa sesama yang rentan dan berduka kepada penghiburan dan suka cita.
* Dosen STIPAS St. Sirilus Ruteng